Berbagai media menyebutkan, Lazuardi tewas dengan kondisi mengenaskan. Jenazahnya ditemukan di Parkir Timur Senayan dengan badannya yang sudah biru dan luka lebam di sana-sini.
Belakangan diketahui korban tinggal di Jalan Menteng Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat. Profesinya tukang ojek, yang menyukai sepak bola, namun tak pernah menyaksikan langsung pertandingan di sebuah stadion.
Seperti halnya Lazuardi, saya pun menyukai sepak bola. Kendati tak mahir bermain, setidaknya saya betah menonton pertandingannya. Terlebih jika permainannya enak ditonton. Tak peduli siapa pun yang bermain.
Lazuardi tidak berada di tempat dan waktu yang salah. Dia datang ke GBK untuk menyaksikan pertandingan Persija-Persib, dua tim besar di negeri ini, yang mempunyai sejarah dan prestasi lumayan panjang. Di tengah kualitas sepak bola dalam negeri yang begini-begini saja, laga tersebut bolehlah untuk ditonton sebagai hiburan. Teman minum kopi di depan TV pada sore hari.
Kesalahan Lazuardi mungkin hanya satu--jika itu memang dianggap sebuah kesalahan: Dia mengenakan kaos berwarna biru di tengah lautan atribut oranye. Sesuatu yang oleh sebagian orang dianggap tindakan nekat. Sesuatu yang dianggap melawan banyak orang. Hanya itu yang dilakukan Lazuardi. Bukan yang lain.
Namun apakah itu kesalahan, sehingga dia pantas untuk dikeroyok? Inilah yang membuat saya geram dan tak habis pikir. Jujur, sedih rasanya membaca kematian Lazuardi. Apalagi sore itu bukan hanya Lazuardi yang berpulang, dua penonton sepak bola lain pun menghembuskan napas terakhirnya dengan penyebab yang sama: dikeroyok hingga biru dan lebam-lebam.
Suporter sepak bola di negeri---seperti halnya pengurus dan pemain, seperti tidak pernah belajar. Senang sekali berkelahi, baik di dalam maupun luar lapangan. Tak pernah terpikir bahwa sepak bola adalah sepak bola. Bukan sesuatu yang harus disikapi secara barbar.
Sampai saat ini, kita masih melihat, bagaimana para suporter tuan rumah menyikapi penampilan tim tamu di lapangan hijau. Jika bukan batu yang dilempar ke lapangan, pasti botol minuman mineral berisi air seni yang melayang. Jika bukan pembatas stadion yang dirusak, pasti bangku penonton yang dibakar.
Jika begini terus, sulit rasanya mewujudkan stadion di sini seperti halnya di Inggris, di mana jarak penonton dan lapangan cukup dekat. Sungguh saya iri melihat penonton Liga Inggris bisa membawa anak-anak mereka dengan nyaman dan aman menyaksikan pertandingan. Ada pula tempat khusus bagi mereka yang menggunakan kursi roda.
Sebelum punya stadion yang bikin iri itu, ada baiknya sekarang ini kita--para suporter sepak bola, sama-sama bebenah. Berjanji untuk tak lagi anarkis. Sepakat untuk tidak lagi melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri. Jangan sampai ada Lazuardi-Lazuardi lain di masa mendatang.
Doa saya untuk Lazuardi dan mereka yang telah berpulang karena sepak bola.