Ada bisu yang paling senyap mencipta jarak antara kita. Menghadirkan beku. Kau-aku tak lagi mampu menghalau dinginnya sunyi, meski dengan segala benang keriangan yang telah terpintal. Kabut telah terlalu tebal mengukir jeda pada jemari kita yang dulu saling bertaut. Kini, kita berada di persimpangan. Langkah kaki kita tak lagi ingin saling beriringan. Kedua lengan kita pun enggan bertukar peluk.
Hutan kenangan milik kita pelan-pelan meranggas. Tak mampu bertahan di bawah terik pedih yang paling perih. Kita tak butuh hujan, sebab air mata telah menyuburkan luka pada batang-kenang yang pernah ditanam ingatan juga hati kita. Kau telah memelihara luka, aku merawat pilu. Luka karenaku, pilu karenamu.
Jalan yang kita tempuhi baru sepenggalah, di depan masih berliku. Namun, kita memilih berpisah di sini. Pada sebuah simpang dua, kita mengeja selamat tinggal. Sebentar lagi punggung kita akan saling menatap, lalu berjauhan. Meninggalkan lengang yang panjang.
Ada bisu yang paling senyap kala tubuh kita bersisian, lalu telapak kaki kita berjalan menuju arah yang berbeda. Kita telah memilih akhir untukmemulai aku-kamu.