Seperti yang kamu katakan, hidup tidak selamanya datar, aku percaya. Tanpa keraguan, aku tetap melangkah pada jalan yang kamu tunjukkan. Disana, aku merasa baik-baik saja. Aku tidak peduli kepada mereka yang berkata "jangan" atau "tidak semestinya", aku tidak mau peduli. Aku sudah menyerahkan rasa percaya itu tanpa kamu memintanya terlebih dulu. Karena, sebab, adanya keyakinan atas kepercayaan itu
Namun, apa yang aku takutkan terjadi. Ada gelombang yang entah darimana datangnya, perjalanan kita harus terombang-ambing di permukaan. Aku tidak tahu, kalau ternyata seseorang disana juga sama mengalami hal yang kita alami. Dan anehnya, itu dengan orang yang sama. Dia tertawa, aku juga. Dia menangis, aku sama. Dia... dia cemburu, aku juga merasa. Seperti, ketika aku membaca namanya, dia juga pernah membaca namaku. Dan semuanya, sama aku rasa, dia juga rasa.
Sekarang dari persamaan itu, aku merasa adalah bagian dari dirinya. Aku menjadi kagum, menjadi ingin seperti dia. Terlebih saat dia merelakan apa yang juga dia harapkan. Sedangkan aku, aku yang dengan egoku membuatnya semakin terluka. Aku merasa, bahwa aku sedang dalam sebuah jeruji yang gemboknya tidak punya kunci. Meski, apa yang aku inginkan telah dia berikan, namun rasanya aku tidak rela jika dia pergi begitu saja. Aku tahu, aku salah jika memenangkan egoku terlalu tinggi, aku juga berpikir hingga saat ini bagaimana aku bisa hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah terlebih seperti ini.
Disisi lain, kamu mengatakan bahwa aku tidak boleh menyerah, Â karena jika aku melakukannya semua yang dia korbankan akan sia-sia, dan betapa kecewanya dia, terhadap aku yang menyia-nyiakannya. Maka aku akan mencoba hidup seperti ini, meski dengan kisah yang rumit yang masih belum kumengerti.