Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Dr. Ayu Dimata Auditor Kematian

27 November 2013   21:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:36 382 0
kejadian ini membuat saya perlu menulis, yang saya tulis adalah ide dalam pikiran saya, yang adalah sebagai mantan mahasiswa magister rumah sakit dan pejabat ketua akreditasi rumah sakit, juga sebagai dosen di prodi kesmas stikes merangin.

dalam UU RS penjelasan bagaimana hak pasien dan hak rumah sakit diterakan dengan gamblang, demikian juga kewajiban pasien dan kewajiban rumah sakit. dalam UU PERLINDUNGAN KONSUMEN juga dijelaskan hak dan kewajiban penyedia pelayanan (produsen) dan juga konsumen. UU Praktek Kedokteran juga lebih dijelaskan Hak dan Kewajiban Dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan.

berbicara hak dan kewajiban lebih terketuk adalah hati nurani, bicara hati nurani adalah keikhlasan (bukan bahasan).

Definisi pelayanan adalah suatu proses manajemen pelayanan, sebagai suatu proses berlaku didalamnya sistem-sistem pelayanan dari sisi input, proses dan out put. Sisi input: banyak hal menjadi penyebab bagaimana kualitas dan kuantitas sumber daya kesehatan, seperti kualitas SDM, kualitas kebijakan pelayanan kesehatan, kualitas peralatan pelayanan kesehatan dan lain sebagainya.  kita bicarakan satu saja: kualitas SDM, perkembangan tekhnologi kedokteran jika tidak diikuti oleh para dokter maka upaya-upayanya adalah tidak evidence base medicine. dokter harus update dan upgrade. kualitas SDM dipengaruhi juga oleh kemapanan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran, banyak kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan ini yang tidak bersinergi dengan pemberian izin oleh dikti dan atau kopertis. PT ini tumbuh seperti jamur. calon mahasiswa FK seharusnya berlatar IPA saat di SMAnya, sekarang IPS, Bahasa dan bahkan SMK bisa jadi mahasiswa kedokteran jika mampu membayar. Apa yang terjadi adalah dokter yang lulus karena membayar dan pasti dengan kompetensi yang diragukan, (dosen saya saja saat di magister pernah menyatakannya). Ini menjadi juga penyebab munculnya Bidan-bidan mediator tingginya angka kematian. Saran untuk ini, tutup saja PT-PT itu. Indonesia butuh dokter, tapi bukan dokter yang rendah kemampuan diagnosanya, terbatas kemampuan terapinya dan terbatas komunikasinya. Berikutnya dari SDM ini adalah Peran organisasi yang jarang dilibatkan dalam orientasi dokter baru di pemerintah Provinsi dan atau Kabupaten, padahal organisasi profesi ini diberikan hak untuk merekomendasi dokter baru dengan KREDENTIALnya sebelum diterbitkan STRnya. ke hulu lagi adalah kekuatan politik dan kebijakan desentralisasi yang jelas kebablasan dapat menjadi penyebab sistem input SDM kesehatan tidak mumpuni apalagi ajeg.

Dokter bekerja di institusi milik pemerintah baik itu Puskesmas atau Rumah Sakit yang kepadanya seharusnya berlaku kebijakan ISO dan Akreditasi demi keselamatan pasien, demi keselamatan SDM Kesehatan, dari sekian RS dan sekian Puskesmas baru beberapa yang terakreditasi. Terakreditasi berarti terstandar dan mendapatkan pengakuan legas melayani. Peran regulasi mengaburkan kewajiban ini, SDM dengan kompetensi tertentu tergangguu dengan upaya-upaya ini (maksudnya ISO dan Akreditasi. Permasalahannya Dokumen Akreditasi dan ISO beres tetapi budaya standar bukan atau belum diaplikasikan dalam proses pelayanan kesehatan. Kita ambil contoh ada Standar Prosedur Penegakkan Diagnosa Pasien tersusun, tetapi yang tertulis dalam dokumen SOP ini belum atau tidak maksimal menjadi acuan dalam pelaksanaan proses pelayanan. Faktor lain adalah perlengkapan pendukung tegaknya diagnosa di beberapa RS daerah masih minimal (ingat kasus korupsi ALKES). Dokter di RS seharusnya punya SIK dan SIP dan lain sebagainya, kenyataannya SIP milik mereka adalah SIP untuk berpraktek di rumah atau di ruko diluar institusi. Penyusunan RKA untuk menjadi DPA berddasarkan kemampuan daerah dan keberpihakan PEMDA terhadap kesehatan, mari kita pelajari kesepakatan persentase anggaran untuk kesehatan adalah 15% dari APBD, belum ada di indonesia yang begini. Kabijakan ini pula yang melahirkan upaya pemerintah untuk menswastanisasikan RSD dengan kebijakan BLU. (pelanggaran UUD 45 sebenarnya).

Dalam proses pelayanan kesehatan yang jika SDMnya melaksanakan yang seharusnya (sepatutnya) dilaksanakan maka hal-hal terburuk diharapkan tidak terjadi, apalagi kematian. Bicara kematian pasien di RS atau di sarana pelayanan kesehatan dikenal kematian di bawah 48 jam dan di atas 48 jam. Teorinya, kematian dibawah 48 jam lebih dominan disebabkan oleh faktor pasien dengan alasan pemamfaatan sumber daya kesehatan belum maksimal (reaksi beberapa obat saja terjadi pada 4 jam kemudian). Semua pemeriksaan barangkali belum dilakukan dengan benar dan cukup (karena diagnosa kerja dokter untuk memberikan asuhan medis secara baik adalah keputusan dengan pembelajaran berupa diskusi diantara mereka); apalagi kesiapan fasilitas RSD yang bukan RS Pendidikan.

Kematian di atas 48 jam yang terjadi di RS atau di Puskesmas masih diklasifikasikan lagi sebagai kematian yang dibenarkan dan kematian yang tidak dibenarkan (terakhir membutuhkan investigasi lebih lanjut). Saya coba menjelaskan satu-satu seperti apa yang diajarkan dosen saya. I. Kematian yang dibenarkan salah satunya adalah apabila diagnosa pasien telah ditegakkan sebelum 48 jam pertama dan diagnosa merupakan kasus terminal yang tidak dapat kembali baik, maka kematian pasien dibenarkan. Penentuan kasus terminal yang tidak dapat kembali baik dibuktikan oleh perkembangan terkini ilmu kedokteran. II. Kematian yang tidak dibenarkan adalah apabila diagnosa terlambat di tegakkan, penyebab penyakit pasien tidak diketahui, pencegahan terhadap kematian (memburuknya keadaan pasien) tidak dilakukan dengan adekuat dan penanganan atau penatalaksanaan asuhan tidak adekuat maka kematian pasien membutuhkan investigasi lebih lanjut.

kematian pasien membutuhkan investigasi lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara audit kematian yang metodologi serta alat penelitiannya ada di tesis saya atas bimbingan PMPK FK UGM. upaya investigasi ini dilaksanakan dengan TRIANGGULASI pelaksana pelayanan kesehatan sebagai suatu proses, Analisis lebih lanjut dari Trianggulasi ini adalah ROOT CAUSE ANALYSIS yang nantinya mengarahkan kita kepada manajemen organisasi rumah sakit atau puskesmas. (RS yang mengganti rugi Rp 500.000.000 dalam UU RS). Mengapa bukan si pemberi palayanan, saya coba jelaskan sebagaimana berikut:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun