Seperti sudah saya bahas sebelum nya dalam semua institusi baik sains,filsafat maupun agama itu ada obyek dan subyek
Obyek yang dibahas-digali- didalami- dikelola dan subyek yang mendalami hingga yang meyakininya.Yang mana obyek yang didalami dalam ketiganya itu adalah berbeda baik hakikat maupun karakteristiknya
Maka makna "obyektif" atau "obyektifitas" menurut sains,filsafat serta agama itu akan berbeda karena karakter obyek yang didalami serta dikelolanya berbeda.Ini juga berlaku untuk berbagai bidang kajian lain misal pdikologi,sosiologi, hukum, budaya,seni dlsb.Artinya semua disiplin keilmuan tersebut memiliki obyektifitas serta subyektifitas nya tersendiri yang tidak akan sama
Untuk agar dalam memahami segala suatu kita tak terjatuh pada subyektifitas atau pemahaman subyektif atau prasangka berdasar subyektifitas maka hal pertama yang harus diketahui adalah OBYEK DAN KRITERIA OBYEK yang telah ditetapkan dan disepakati di semua bidang kajian keilmuan mau fisika, metafisika,psikologi,sosiologi,hukum,dlsb
Bila semua bidang kajian keilmuan di polarisasi pada pemahaman berdasar proposisi obyek-subyek mak kita akan melihat dualisme yang karakteristiknya tidak akan sama pada semua bidang kajian tsb.Maka sangat dangkal kalau makna "obyek" dan "obyektif" misal hanya terkait atau dikaitkan dengan obyek fisik-materi-empirik
Maka makna "obyektif" yang ilmiah dan pengertiannya universal adalah "berdasar atau paralel atau selaras dengan obyek  kajian" dan bukan "dapat ditangkap secara umum oleh semua fihak'"
Dalam sains makna "obyektif" tentu paralel-koheren-identik dengan karakter obyek yang dibahasnya yaitu obyek fisik-materi yang dapat diobservasi secara empiris.Tapi apakah makna "obyektif" versi sains atau dimensi fisika tersebut harus diberlakukan sama juga untuk bahasan metafisika semisal filsafat dan agama ?
Tentu saja sangat keliru kalau makna "obyektif" atau obyektifitas dalam kajian metafisika harus sama atau sederajat dengan yang diberlakukan dalam sains karena karakter obyek yang dibahas dalam metafisika sudah berbeda dengan dalam ilmu fisika
Ada orang yang berkata bahwa kajian atau  disiplin metafisika termasuk agama itu "subyektif" alias "tidak obyektif",itu karena ia menggunakan makna "obyektif" atau obyektifitas versi sains di dunia metafisika.Atau ia menganggap obyek ilmu itu hanya wujud fisik-empirik (maka yang obyektif pun dianggapnya harus bersifat empirik).Ini adalah tumpang tindih yang tidak disadari dan sering terjadi utamanya bagi orang orang yang biasa menggunakan sains sebagai satu satunya acuan-parameter kebenaran
Metafisika seperti filsafat maupun agama tentu saja memiliki obyektifitasnya sendiri sendiri yaitu ketika masing masimg membahas suatu obyek tertentu
Contoh ; Ada disiplin ilmu logika yang lahir dari kajian filsafat.Nah dalam ilmu logika telah ditetapkan prinsip-kaidah dasar ilmu logika,ditetapkan hukum logika terus ada deskripsi tentang logical fallacy (cacat logika) yaitu bentuk penalaran yang cacat dalam sebuah argumen.
Nah sebab itu yang obyektif dalam ilmu logika adalah "yang sesuai dengan prinsip-kaidah dasar ilmu logika" dan bukan yang empiris yang umum dapat menangkapnya
Demikian pula dalam bidang hukum ada prinsip-kaidah kaidah dasar hukum yang telah ditetapkan dan disepakati,maka yang obyektif dalam bidang hukum adalah  "yang sesuai dengan kaidah hukum yang disepakati"
Dalam ranah agama wahyu ada ilmu teologi,lebih spesifik dalam agama islam ada ilmu tauhid,semua spesifik membahas soal ketuhanan berdasar panduan kitab suci tentunya.Maka yang obyektif ketika membahas soal ketuhanan dalam ranah agama wahyu adalah yang mengacu pada penjelasan kitab.(Jadi pemahaman terhadap masalah ketuhanan tidak menurut suka suka sang subyek tapi ada standar pemahaman yang menjadi acuan-parameter bagi subyek yang mendalami soal ketuhanan menurut.agama wahyu)
Jadi dalam sains,filsafat serta agama untuk menentukan standar obyektifitas atau menentukan sesuatu sebagai obyektif atau tidak itu harus menentukan terlebih dahulu kriteria dari obyek yang akan menjadi bahan kajian.Kalau tak ada kriteria dari obyek kajian sulit bagi kita menentukan obyektifitas dari sesuatu karena kelak pemahaman terhadap sesuatu tidak akan mengacu pada obyek tapi pada suka suka atau mau nya sang subyek dalam membuat gambaran atau pemahaman.
Dengan kata lain,dalam bidang kajian apapun mau dimensi fisika atau metafisika tanpa ada obyek yang jelas dan ditetapkan kriterianya maka sulit bagi kita mengukur nilai obyektifitasnya
KRITERIA OBYEK YANG KUAT ADALAH YANG BUKAN CIPTAAN MANUSIA
Nah inipun hal fundamental yang harus difahami karena bila ada pemahaman bahwa obyek dari sesuatu itu adalah ciptaan subyek manusia maka yang akan lebih mengemuka adalah hanya subyektifitas-bukan obyektifitas,Atau semua pada akhirnya akan bermuara pada subyektifitas
Contoh dalam dunia filsafat,Karena dalam filsafat tak selalu ada obyek tetap yang ditentukan dan disepakati bersama maka filsafat juga dapat bermuara pada subyektifitas para pemikirnya sendiri,ini tercermin dari lahirnya beragam mazhab filsafat yang berbeda pandangan dalam banyak hal.Ini bukan berarti tak ada obyek pasti-baku dalam filsafat tapi antara obyek baku yang disepakati dengan persoalan filsafati yang sangat kompleks selalu tidak seimbang.Dalam filsafat selalu lebih banyak pandangan sang subyek ketimbang obyek baku yang ditetapkan dan disepakati
Nah dalam ranah agama wahyu untuk mencegah agar agama tidak bergantung atau bermuara pada subyektifitas sang subyek yang mendalami maka tentu dalam agama harus ada kitab pedoman yang adalah mesti difahami sebagai bukan ciptaan manusia
Kitab pedoman itu tuntunan dalam memahami agama agar obyektif-sesuai acuan-parameter yang ditetapkan Tuhan.Dengan kata lain,dalam agama wahyu obyek obyek yang jadi bahan kajian itu telah ditetapkan kriterianya oleh Tuhan itu agar pemahaman terhadap agama tidak bermuara atau berpusat pada subyektifitas subyek yang mendalami
Maka obyek dalam bidang kajian apapun untuk memiliki posisi yang kuat sebagai obyek dasarnya mesti diusahakan diambil dari sesuatu yang substansinya harus diluar manusia atau bukan ciptaan manusia.Karena kalau obyeknya ciptaan manusia maka sangat mudah jatuh pada subyektifitas karena manusia lain dapat menciptakan hal serupa
Contoh ; obyek sains yaitu benda benda alam itu bukan ciptaan manusia.Termasuk rasa manis dari gula walaupun perlu pengalaman sang subyek itu bukan ciptaan manusia.Posisi obyek dalam sains sangat kuat karena semua orang dapat menangkap serta menerimanya secara sama
Nah ketika kita bicara obyek metafisika pun untuk mencari obyek yang kuat yang mudah untuk diterima semua fihak kita harus mencari pada yang substansinya diluar atau bukan ciptaan manusia
Contoh obyek dalam ilmu logika adalah akal dan cara berpikir akal,Dan keduanya harus disepakati sebagai bukan ciptaan manusia atau bukan hasil ide-gagasan dari pemikir tertentu.Tiap manusia yang lahir mesti memiliki akal dan karakter cara berpikir akal pada semua manusia itu pada dasarnya sama-alami ciptaan Tuhan.Dengan menetapkan akal dan karakter akal sebagai bukan ciptaan manusia maka posisi obyek ilmu logika akan lebih kuat karena memiliki sandaran pada sesuatu yang bukan hasil ide manusia
Beda misal kalau obyeknya hasil dari ide-gagasan-pemikiran filsuf tertentu maka orang bisa mengacu atau mengambil pada ide dari pemikir lain atau membandingkan dengan ide pemikir lain.Maka mencari yang obyektif atau obyektifitas pada obyek obyek buatan manusia itu rentan-tidak kuat posisinya dan mudah larut kedalam subyektifitas atau pandangan pribadi,karena orang dapat memilih mana ide yang ia mau untuk dipedomani.