Selama ini oleh sebagian yang berpikiran dangkal istilah "kebenaran" selalu diparalelkan hanya dengan hal "obyektif" dalam artian "empirik-bisa tangkap secara umum oleh indera semua orang" lalu sebagai lawanannya istilah "subyektif" di tempatkan sebagai hal yang tidak paralel dengan kebenaran karena indera umum tidak dapat menangkapnya
Lalu istilah "obyektif-subyektif" dijadikan acuan-parameter untuk menilai sesuatu sebagai kebenaran dan bukan kebenaran. Ini sebenarnya bisa sangat menyesatkan, mengapa ? Mari kita telusuri ..
Karena ada bentuk kebenaran tertentu yang untuk memahaminya perlu pendalaman serta penghayatan sang subyek dimana belum tentu semua orang memiliki kapasitas untuk melakukannya. Maka istilah "subyektif" tak bisa selalu diartikan negatif karena subyektifitas atau pendalaman sang subyek itu adalah cara untuk memahami bentuk kebenaran tertentu yang sudah diluar pengalaman inderawi yang sifatnya umum
Contoh ; pria dan wanita yang berpasangan membentuk rumah tangga adalah hal obyektif dalam artian secara umum itu hal "empirik", tapi APA dibalik bersatunya pria dan wanita sehingga mereka menyatu membentuk suatu rumah tangga maka itu bentuk kebenaran yang musti didalami lebih jauh
Jadi bila obyektif mau atau harus diartikan "empirik" maka dibalik hal hal yang obyektif empirik itu selalu ada hal hal abstrak-non empirik yang untuk memahaminya perlu pendalaman dan penghayatan yang sayangnya tidak semua yang memiliki indera punya kapasitas untuk melakukannya
Contoh lain ; Benda benda yang menjadi infrastruktur kehidupan kita di alam itu hal obyektif-diketahui semua orang tapi bila harus bicara "apa makna dan hakikat dari keberadaan semua itu" maka itu hal yang tidak semua orang memikirkannya-ia hanya dipikirkan oleh subyek yang pikirannya mendalam
Nah bentuk kebenaran yang memerlukan pendalaman dan penghayatan sang subyek itu disini kita istilahkan saja sebagai "kebenaran tertinggi dan terdalam".Karena diatas segala suatu obyek empirik-nampak itu bisa memiliki kebenaran tertinggi dan terdalamnya tersendiri yang adalah bukan hal empirik
Contoh ; kebenaran tertinggi dan terdalam dari bersatunya pria dan wanita dalam rumah tangga adalah ikatan rasa cinta - kasih.Kebenaran tertinggi dan terdalam dari kehidupan adalah bila orang memikirkan hingga ke level hakikat serta maknawiyah nya,Kebenaran tertinggi dan terdalam dari bentuk ibadat ritual agama (yang nampak) adalah penghayatan maknawiyah nya.Nah itu semua adalah contoh bahwa dibalik semua yang nampak yang orang artikan "obyektif" itu selalu ada hal yang untuk memahaminya perlu pendalaman sang subyek alias perlu unsur subyektifitas
Nah artinya,Bukankah perlu peran sang subyek atau subyektifitas untuk memahami bentuk kebenaran tertentu yang kita istilahkan sebagai "kebenaran tertinggi dan terdalam" ? Lalu siapa yang beranggapan subyektifitas-hal subyektif tidak ada kaitannya dengan kebenaran ?
Karena yang namanya "kebenaran" itu bukan sebuah benda yang untuk mengetahui serta memahaminya cukup dengan menggunakan dunia indera.Ada bentuk kebenaran yang untuk mengetahui serta memahaminya memerlukan peran akal budi hingga hati nurani,Agama atau persoalan metafisika adalah contoh sesuatu yang untuk memahaminya tidak cukup peralatan inderawi serta metode empirik
Maka bila ada yang mereduksi persoalan kebenaran pada istilah "obyektif" dan istilah obyektif itu dimaknai sebagai "empirik"-atau diparalelkan dengan sifat empirik-bisa ditangkap oleh indera semua orang maka ia telah mendangkalkan makna kebenaran menjadi "sebatas tangkapan inderawi"
Karena kebenaran sejati-sesungguhnya-menyeluruh itu suatu yang terbentang mulai dari dunia permukaan hingga ke kedalaman,mulai dari dunia fisika hingga metafisika.Maka untuk memahaminya Tuhan memberi manusia akal budi serta hati nurani disamping dunia indera.Bayangkan bila manusia bertumpu serta mengacu semata pada dunia indera dan menjadikan input indera sebagai acuan tunggal kebenaran maka sebatas mana kebenaran yang bisa kita ketahui ?
Maka bila orang telah faham bahwa konstruksi kebenaran itu bukan hanya terkait hal empirik maka seharusnya istilah "obyektif" itupun tak boleh secara kaku melulu harus diartikan empirik atau dikaitkan dengan hal empirik. Seharusnya istilah "obyektif" itu diacukan kepada obyek bahasan atau obyek yang dipikirkan manusia yang disepakati sebagai obyek ilmu pengetahuan
Contoh "logika" serta "hukum logika" itu bukan selalu tentang hal empirik tapi umat manusia menyepakati istilah itu sebagai bahasan ilmu pengetahuan tersendiri hingga lahir ilmu logika.Nah apa yang obyektif ketika kita membahas ilmu logika ? Tentu saja bukan lagi obyek fisik- material-empirik tapi sesuatu yang akal pikiran manusia dapat menyepakatinya sebagai bentuk kebenaran yang logic
Apakah hukum logika obyektif ? Maka yang menilai obyektifitasnya bukan lagi indera tapi akal
Apakah metafisika termasuk agama memiliki obyek (yang jadi acuan, bahasan, bahan untuk didalami) ? Tentu saja memilikinya.Tapi obyek yang dibahas dalam metafisika-agama bukan melulu hal yang bersifat fisik-material tapi hal non fisik-non materi
Lalu bagaimana mengukur obyektifitas dalam ranah metafisika termasuk agama ? Tentu saja parameternya bukan lagi dunia indera,bukan lagi metode empirik tapi sesuatu yang telah disepakati sebagai acuan untuk menilainya
Contoh ; Dalam dimensi ilmu logika bagaimana sesuatu dapat kita nilai sebagai "obyektif" ? Maka acuannya tentu bukan lagi prinsip empirisme tapi kaidah kaidah yang disepakati dan diberlakukan dalam ilmu logika.Sebagai contoh ; kaidah logika non kontradiksi dipakai sebagai acuan untuk menilai kebenaran sebuah pernyataan menurut sudut pandang ilmu logika
Dalam agama wahyu ada konsep ilmu ketuhanan yang disepakati dan kesepakatan itu lahir bukan karena sekedar yakin tapi karena semua fihak telah mendalami dan dapat memahaminya misal secara akali.Nah bagaimana menilai obyektifitas ketika bicara Tuhan agama wahyu ? Maka acuannya tentu bukan metode sains tapi ilmu ketuhanan yang telah disepakati dan difahami bersama oleh yang mendalaminya itu
Pertanyaan lain adalah ; Apakah sains mengajarkan manusia untuk mendalami sesuatu hingga kebenaran tertinggi dan terdalam nya ? Tentu saja sains pun mendalami tapi membatasi sebatas aspek material atau logika logika yang berkaitan dengan aspek fisik-material nya.
Sains misal mendalami hingga level mekanika kuantum.Tapi ranah kuantum bukan pendalaman metafisika,ia tetep masih terkait aspek fisika hanya saja levelnya sudah mikroskopis.Nah efek dari bahasan kuantum misal bila orang sudah membicarakan aspek aspek filosofisnya maka itu pendalaman yang sudah mengarah ke metafisis
Jadi dalam sains sendiri ketika orang lebih fokus mendeskripsikan hal empiris maka konsekuensi konsekuensi filosofis dari obyek yang dibahas dalam sains selalu mungkin terjadi.Bedanya dengan metafisika adalah,dalam metafisika serta agama aspek filosofis itu ditata, direkonstruksi,didalami secara serius dengan memakai metode serta peralatan ilmu pengetahuan tersendiri yang tidak ada dalam sains maka lahir ilmu metafisika atau dalam dunia agama "ilmu agama"