Dalam teori behaviouristik, individu (siswa) dapat dikatakan belajar apabila individu (siswa) tersebut telah menunjukkan perubahan perilaku atas stimuli yang diberikan. Pandangan behavioristikkurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Sedangkan dalam teori koneksionisme, suatu respon dianggap akan menghasilkan stimuli, yang pada gilirannya bisa menghasilkan respon-respon lain. Pembelajaran diinterpretasikan pada koneksi-koneksi stimulus respon yang diperkuat dengan efek penguatan (kekuatan kebiasaan) . Kebiasaan-kebiasaan sederhana akan tertata menjadi keahlian yang kompleks. Penentu keberhasilan pembelajaran individu ialah ketaatannya pada aturan yang ada dari sistem di luar diri individu yang belajar. Sehingga dalam pembelajaran koneksionisme, kontrol belajar masih belum dimiliki individu secara mandiri untuk mengeksplor dan mengembangkan pengetahuannya., koneksi stimulus-respon secara spesifik hanya akan membuat individu mampu menirukan jawaban-jawaban atas masalah yang dimunculkan bukan membelajarkan individu untuk memecahkan masalahnya secara mandiri.