Tampaknya, peristiwa reformasi '98 menimbulkan imej bahwa mahasiswa adalah pembela golongan kecil, yang berani meneriakan kebenaran dan sebagainya. Sayangnya semua itu hanya imej, ya sekedar imej. Karena kini peran mahasiswa sebagai agent of change hanya tinggal sekedar simbolisme belaka.
Masih teringat jelas saat perayaan pentas seni di salah satu fakultas di kampusku, salah satu penampil menampilkan musikalisasi puisi. Dalam musikalisasi puisi tersebut, digambarkan dua orang gelandangan yang tengah kelaparan. Sedang sang pembaca puisi membacakan lirik-lirik menghujat pemerintah dan menggambarkan kemiskinan negeri ini.
Tentu saja tak ada yang salah dengan pentas itu. Namun tiba-tiba saja saya dibuat galau. Kenapa? Disaat yang bersamaan dengan pementasan tentang gelandangan dan kemiskinan itu. Sesosok peminta-minta menyusup diantara kerumunan penonton sambil menengadahkan tangan. Dan yang terjadi? Penonton yang notabene para mahasiswa juga malah asyik merekam musikalisasi puisi tersebut menggunakan camera digital.
Lalu, jika tak ada yang menghiraukan sosok peminta-minta itu, apa tujuan dan manfaat dari musikalisasi puisi yang menggambarkan gelandangan dan kemiskinan tersebut? Apakah itu hanya sekedar simbolisme sebagai mahasiswa yang katanya peduli pada kalangan bawah dan rakyat kecil?