Seingat saya, sedari kecil saya barangkali paling susah menentukan apa yang saya inginkan, apa yang saya harapkan, apa saya impikan, apa yang saya cita-citakan...
"Sekula mak haga, ngaji mak haga, mau jadi apa coba?"
Entahlah, sampai usia 16 tahun saya masih menulis begini:
bejuta hanipi ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu ngedok reti
jama niku, ulun tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"
Ada banyak hal -- keluarga, adat, agama, sekolah, perguruan tinggi, buku-buku, sastra, filsafat, televisi, termasuk Mario Teguh (?)... -- yang sebenarnya bisa membantu bikin pernyataan tentang tujuan hidup.
Ingin bahagia, dunia akhirat. Itu cita-cita tertinggi, tetapi selalu saja ada kalanya saya dilanda rasa sedih, frustasi, merasa sendirian, dan seterusnya.... Kali aja masih takut masuk neraka.
Ingin memberi arti, bermakna buat orang lain. Ah, saya merasa tidak selalu niat baik itu menjadi baik untuk orang lain. Enggak, enggak pula saya hendak menuduh orang SMOS (senang melihat orang sengsara dan sengsara melihat orang senang). Toh, curiga-mencurigai memang adalah sesuatu yang lumrah saja. Jadi, ya biasa aja.
Ingin bikin sesuatu yang abadi, yang menyejarah, yang patut dikenang orang banyak. Ahai, ngeri kali. Saya hanya melakukan hal-hal biasa saja, kadang cuma iseng-iseng tanpa tahu apa guna dan apa maksud yang saya kerjakan.
Paling-paling cuma ingin agar hidup tak terlalu sia-sia. Tapi, kalau begini ntar dituduh fatalis pula. Berbuat, bekerja seadanya. Itu lebih buruk dari realistis, pragmatis, dan serbapraktis.
Ah, hidup... Terlalu berbahaya kalau terlalu serius. Tapi, lebih bahaya lagi kalau nggak pernah serius.