Yah, kemenangan sejati justru dimiliki orang-orang yang hidup damai tanpa harus grasah-grusuh memperjuangkan hasrat berkuasa. Kasian orang yang terlalu ingin berkuasa, sampai-sampai harus melakukan apa pun, tak peduli melewati batas-batas—jangan dikata etika dan kepantasan, melanggar norma dan hukum pun tak masalah.
"Kok ya enggak takut dosa?" tanya Minan Tunja.
"Hihii... hari gini masih ngomong soal dosa dan pahala," kata Pithagiras.
"Ya tetap aja penting dong! Korupsi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran agama kan karena orang enggak takut dosa," Minan Tunja berkeras.
"Dosa itu abstrak! Jangan tanya dengan politisi. Jawabannya kan selalu, 'Ini pelitik, Bung'," sambar Udien.
"Yah, kayaknya sih kalau masih takut dosa, enggak usah main pelitik-pelitikan," kata Radin Mak Iwoh.
"Ya, itulah politik, menghalalkan segala cara," kata Pithagiras.
"Masalahnya riil politik di Negarabatin hari ini kan berkata lain. Boleh dibilang pemilu dan pilkada sesungguhnya masih jauh dari esensi demokrasi dan penghormatan terhadap hukum. Buktinya setiap kali ada pesta demokrasi, selalu saja muncul gugatan-gugatan kecil."
"Wah, itu kan bukan berarti pilkadanya tidak demokratis?"
"Yah, demokrasi semu... demokrasi seolah-olah. Asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil lebih sering diabaikan. Kecurangan, politik uang, juri (KPU) tidak independen, panitia pengawas yang tak berdaya, intimidasi, pemaksaan kehendak,   gugat-menggugat, serta sikap tidak mengakui kekalahan dan menghormati kemenangan orang lain adalah indikasi dari tidak adanya fair play dalam pelaksanaan pemilu (pilkada)."
"Jangan terlalu idealislah."
"Bukan sebaliknya, jangan terlalu abai dengan hal-hal yang lebih substansiallah. Sebab, kalau tidak, negeri ini tetap tidak bisa keluar dari krisis kepercayaan yang berlarut-larut kepada politik, kepada pemimpin, kepada masa depan..." n