Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

SUARA

14 Agustus 2012   15:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:46 148 0
Sebuah percakapan telepon di satu malam.

"Dengan Dokter Ismawati?" Tanya seorang perempuan.

Terdengar suara lelaki di seberang sana, "Ehmm, di sini adanya Dokter Rivai, spesialis kutu busuk."

"Eh, ma'af, salah sambung rupanya."

"Gak apa-apa. Sekalian kenalan, lumayan dapat kawan baru. Namamu siapa?"
"Widyarini, situ?"

"Rivai. Sering-sering telepon sini ya, Wid? Suaramu menyenangkan."

Widya tersipu. "Emang nomormu berapa? Tadi kan aku salah pencet,"

Riza menyebutkan nomor teleponnya.
Semenjak itu mereka jadi sering ngobrol lewat telepon.

****

Satu malam yang lain, masih lewat udara.

"Eh, Wid. Rasanya aku suka sama kamu."

"Kok bisa? Kita kan belum pernah ketemuan? Aku jelek lho!"

"Kalo aku sih ganteng banget. Pintar, sensitif, romantis, menguasai semua kitab dunia, pernah nulis puisi yang dipuji pengamat sastra dari Jerman. Keluargaku kaya-raya tapi aku lebih suka tidur di jalan ketimbang di rumah. Aku punya semua yang dibutuhkan oleh manusia, dan seterusnya, dan semacamnya..." Rivai mulai melantur.

Widya tersenyum. "Tuh, bayangkan, apa kamu enggak salah pilih? Aku cuma apoteker yang melihara kucing kampung di kontrakanku yang kamar mandinya gabung dengan tetangga."

"Semua yang berwujud, satu waktu bakal hilang. Tapi kita selalu punya kemungkinan, terutama: kemungkinan untuk mencintai."

Widya mengernyit. Duh, ini lelaki serius amat! Dadanya berdesir. "Kok kamu bisa suka sama aku. Padahal, kamu baru tahu suaraku saja?"

"Suara itu datang dari dalam. Menembus semua penampilan luar, menyampaikan apa yang tersembunyi di dalam. Kenyataan yang sebenarnya tanpa kepura-puraan. Seorang ahli jiwa bisa mengetahui kepribadian seseorang dari suaranya. Aku bukan ahli jiwa tapi aku bisa mendengar juga, dan dari yang aku dengar... aku suka."

"Aku manja," Rajuk Widya.
"Aku pelupa," Jawab Rivai.
"Terus gimana dong?"
"Jadian yuk? Sebelum kiamat."
"Iihh, gimana yaa"?"
"Terserah kamu."
"Kamu orangnya perhatian enggak?"

"Aku kutu buku yang keracunan, setiap huruf aku lahap dengan teliti. Tentu saja, aku penuh dengan perhatian."

"Akan selalu siap mendampingi?"

"Aku selalu avontur, mengembara ke berbagai tempat."

Widya merengut, "Yah, gimana doong?"

"Kan ada telpon. Lagian kalo deket-deket terus ngeri juga, nanti ada yang nyetrum!"

Mereka terkikih bersama. Kesetrum kok lucu ya? Dasar anak muda!

"Gimanaaaa"" Gantian Rivai yang merajuk.

Widya tersenyum simpul tali kapal. "Ehmm, aku pikir-pikir dulu ya?"

"Baiklah," Baiklah? Formil betul! Rivai senyum-senyum sendiri.

Klik. Malam ini ada dua orang yang kelimpungan. Yang satu melongo melihat bintang di langit sambil berbaring di bangku terminal, satunya lagi senyum-senyum melihat sepasang cicak berkejaran di langit-langit kamar kontrakan.

****

Sudah tiga minggu ini, tiada kabar dari Rivai. Padahal Widya sudah siap untuk memberi jawaban. Saat menelepon ke rumahnya, Widya mendapat kabar bahwa Rivai sedang mendokumentasikan Pesta Rakyat di Lampung. Tapi kenapa tidak telepon, Vai? Aku ingin juga mendapat kabar kamu dari sana, batin Widya berkeluh-kesah.

Lalu bagaimana juga dengan jawaban yang sudah dia persiapkan? Masak Widya harus meninggalkan pesan pada orangtua Rivai: "Pak, Bu, tolong bilang sama anaknya yang rada sinting itu, saya mau banget jadi pacarnya" Duh, yang benar saja!

Tanpa sadar Widya berteriak di gudang belakang, "Rivai sialaaann! Untuk apa kamu hadir kalo cuma bikin aku gelisah kayak giniiii..!"

Bu Fatma, pemilik apotik, tergopoh lari ke belakang. "Ada apa, Wid? Kok teriak-teriak kayak gitu?"

Widya jadi malu, "Eh, enggak, Bu, anu... saya sedang latihan deklamasi buat ikutan Festival Puisi Citeureup."

"Oohh, begitu... bagus tuh! Anak Ibu pernah juga ikutan lho! Dulu tapi, waktu panitianya masih si Indra. Kemana ya anak itu sekarang? Katanya diculik suku terasing di Papua gara-gara nyolong buku? Kasihan deh, anak itu, padahal dia ditawar-tawari sama perusahaan asing buat buat jadi Staf Manajemen. Ealaahh, kok ya malah ngeransel kesana-kemari ngurusin puisi. Tapi namanya hidup, mesti ada yang beda kayak gitu, supaya enggak monoton dan jadi kacung semua. Kacung negeri waw-waw, negeri wok-wow... iihh, apalagi itu negara tetangga yang suka main cambuk dan setrika, aduuuuhhhh! Eh, bau apa ini ya? Wah, Ibu lupa! Ibu lagi ngejerang penisilin tadi, waahh, toloong... Wid, tolong siniiii...!"

Widya jadi tambah pusing.

****

Suatu malam, Widya sedang asyik membaca kumpulan puisi Indra Afriza yang dia pinjam dari Bu Fatma. Saking asyiknya dia membaca sampai tidak mempedulikan pengunjung yang datang.

"Pemisii... saya mau beli Nytrazepham 700mg," Tanya si pengunjung.

"Wah, obat keras tuh, ada resep dokternya enggak?" Jawab Widya cuek dan tanpa menoleh.

"Ada nih, resep dari dokter spesialis kutu busuk."

Secara refleks Widya berdiri. Dia kenal suara itu, suara yang telah membuatnya gelisah, suara yang dia rindukan! Kini pemilik suaranya telah hadir dengan tatapan tenang tapi meminta jawaban, dan senyum di wajah Widya adalah jawaban terbaik untuknya.................. lho kok titik-titik? Ya, urusan selanjutnya biarlah kita serahkan pada mereka yang sedang dibuai rasa. Khusus untuk kita sebagai pengamat, mari kita cukupkan sampai di sini saja.

*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun