Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Dalam konteks politik, ini berarti sekelompok orang yang bersatu bukan karena ideologi atau visi-misi, melainkan karena darah yang sama mengalir di nadi mereka. Sangat familier, bukan? Sistem ini begitu mirip dengan pola kerajaan zaman dulu, ketika takhta diwariskan dari ayah ke anak tanpa pernah melibatkan suara rakyat.
Tujuan Mulia: Kekuasaan Tetap di Keluarga Tercinta
Dalam iklim politik Indonesia yang konon demokratis, dinasti politik menemukan tempat istimewanya. Tujuan dari politik dinasti tampaknya begitu sederhana: menjaga agar kekuasaan tetap berada di tangan keluarga. Di balik janji-janji kampanye yang terdengar akrab---kesejahteraan, kemakmuran, dan stabilitas---tersimpan agenda yang lebih personal: memastikan bahwa kursi kekuasaan tidak pernah kosong dari anggota keluarga tercinta. Karena siapa lagi yang lebih bisa dipercaya untuk memegang kendali jika bukan saudara sendiri?
Di atas panggung demokrasi yang besar, dinasti politik memainkan lakon utamanya. Di setiap pilkada, pilgub, atau bahkan pilpres, nama-nama yang muncul sering kali sama: keluarga yang itu-itu lagi. Demokrasi menjadi sekadar formalitas, di mana rakyat hanya diperankan sebagai penonton yang duduk di tribun, menyaksikan babak demi babak yang sudah diatur skenarionya.
Dampak Negatif: Ketika Demokrasi Menjadi Eksklusif
Namun, apakah politik dinasti tidak membawa dampak? Nyatanya, ada konsekuensi besar yang harus ditanggung oleh sistem demokrasi kita. Pertama, politik dinasti membuat partai politik (parpol) lebih mirip mesin kekuasaan daripada wadah perjuangan aspirasi rakyat. Parpol berubah menjadi pabrik kandidat instan, di mana kriteria utamanya adalah popularitas dan kekayaan, bukan kapabilitas.
KEMBALI KE ARTIKEL