Logika sederhana saja, eksekutif memegang kuasa anggaran sementara DPRD sebagai pengawas berhak mengetahui dan menyetujui mata anggaran yang diajukan. Dengan pengetahuannya, oknum-oknum di DPRD dapat bermain, mengamati setiap mata anggaran, dan dengan alasan pengawasan meminta "lebih" mata anggaran yang diintai untuk kemudian diurus. "Diurus" itu bisa kemudian mata anggaran itu menjadi proyek yang dikerjakan oleh oknum dan "sejawat" atau teman oknum yang pengusaha dengan syarat ada uang komisi.
Memang, Dewan punya hak untuk "cawe-cawe" anggaran eksekutif, dan jika alasan penitipan anggaran dan cawe-cawe itu masuk akal, masuk nalar publik tentu tidak masalah, bagus! Tapi, jika anggaran dan jumlahnya lewat batas nalar dan kepatutan tentu harus dipertanyakan.
Masalahnya, lagi...tidak setiap kepala daerah itu menguasai dan sadar anggaran. Yang kebanyakan terjadi, kepala eksekutif, gubernur dan bupati, memilih untuk "memahami" dan "memaklumi" ulah titip-menitip anggaran dengan pihak DPRD. Jelas, alasannya adalah hitung-hitungan politis, apalagi jika sang kepala daerah hanya mengandalkan populisme dan berniat maju kembali pada perhelatan pilkada berikutnya. Tentu ia akan tanam saham dan investasi politik sejak awal.
E-budgeting ala Pemprov DKI Jakarta layak dicontoh dan diterapkan di setiap pemerintah daerah dimana publik bisa terang benderang melihat proses dan penyusunan anggaran pemerintah daerah. Keberanian gubernur DKI Basuki TP layak diapresiasi dalam membongkar anggaran-anggaran gak jelas kayak siluman dan hantu itu!
Ada yang berani seperti Ahok?
Andai pula ada KPK di daerah, tentu penyelidikan-penyelidikan korupsi yang menyangkut para kepala daerah dan anggota Dewan bisa lebih efektif. Fakta, beberapa kasus korupsi kepala daerah yang digarap oleh Kejaksaan itu terkatung-katung, dan hasil vonis pengadilan pun terhitung ringan.