Pemahamam masyarakat kita dewasa ini cenderung memaknai pendidikan sebagai sebuah hasil akhir bukan merupakan proses yang berkelanjutan. Kecenderungan mengambil kesimpulan instan terhadap adanya hasil dengan melupakan proses yang terjadi sebelum dan sesudahnya. Contoh yang paling nyata adalah tatkala nilai rapot, transkrip, hasil ujian akhir maupun nasional yang jauh dari memuaskan. Jika dulu standart nilai 6 ke atas para pendidik kita memiliki kencenderungan menggunakan tinta hitam dalam penulisannya. Sedangkan nilai 6 ke bawah menggunakan tinta berwarna merah. Sehingga apabila nilai yang dihasilkan oleh peserta didik cenderung kebanyakan angka 6 ke bawah, maka seringkali disebutkan rapot atau nilainya kebakaran oleh sebab terlalu banyaknya angka merah. Jika hal di atas terjadi, dapat dipastikan bahwa orang tua kita akan meninggikan amarahnya dengan berupaya menyalahkan ketidak mampuan kita mendapatkan nilai lebih baik dari peserta didik lainnya.
Pendidikan bukanlah merupakah proses singkat yang akan didapatkan oleh setiap orang yang kemudian akhirnya akan mampu digunakan untuk menaikkan derajat dengan pekerjaan yang membuat diri kita nyaman dan aman dalam mengupayakan penghasilan, Bukan itu ! Pendidikan merupakan sebuah proses yang panjang dan berkesinambungan alias terus menerus. Sebab, sesungguhnya pendidikan itu akan berlangsung sepanjang kehidupan.
Sebagai orang tua, kita cenderung melupakan proses yang terjadi sebelum dan sesudah munculnya hasil atau nilai bagi putra-putri kita. Tindakan menghakimi sepihak dengan menyalahkan anak-anak kita yang menurut kita tidak belajar secara optimal, terlalu banyak bermain, kurang fokus atau terlalu banyak waktunya dihabiskan untuk kegiatan ekstra kurikuler rasanya tidaklah tepat.
Yang seringkali terjadi, ekstrakurikuler disalahkan secara sepihak. “Ini gara-gara terlalu sering ikut kegiatan kepramukaan, Paskibraka, PMR sehingga akhirnya nilai rapot anjlok, …… Sudah, mulai sekarang tidak usah ikut-ikutan ekstrakurikuler,…. Blablabla, …” kata-kata ini seringkali menjadi senjata terampuh orang tua untuk menyalahkan putra-putrinya ketika nilai rapot yang diharapkan jauh dari kenyataan.
Bahkan kita cenderung melupakan proses yang terjadi sebelumnya, bagaimana proses pembelajaran putra-putri kita dirumah, sudahkah kita memperhatikan metode belajarnya, apakah kita juga mentradisikan hal yang sama bagi diri kita dan keluarga tatkala kita memerintahkan anak-anak kita belajar, kita juga ikut belajar hal lain ataukah malah kita sendiri keasikan dengan sinetron, hiburan di televisi, facebook atau kegiatan lainnya yang justru tidak mencerminkan kencenderungan keteladanan. Yang lebih parah lagi, kita cenderung menyalahkan proses diluar yang sesungguhnya memberikan bekal kemampuan dan pengalaman bagi putra-putri kita dimana bekal itu tidak didapatkan pada pembelajaran akademis/pelajaran disekolah sehari-hari.
“Apa sih yang kamu dapatkan dengan ikut Pramuka, Paskibraka, PMR dan ekstrakurikuler yang lain?? … Pertanyaan itu seringkali saya dapatkan dari banyak orang yang hanya memahami bahwa bekal kehidupan itu hanyalah nilai akademis semata. Mereka melupakan jika bekal yang sesungguhnya adalah nilai pengalaman dan kemampuan alias skill. Saya menyebutnya sebagai pertanyaan dangkal dari para akademis alias orang pintar. Sesungguhnya jika nilai rapot anak-anak kita ada kencederungan jauh dari harapan, mestinya kita harus melakukan evaluasi adakah yang salah dengan mereka secara menyeluruh, bukan malah menyalahkan ekstrakurikuler yang juga berperan aktif memberikan bekal pengalaman dan kemampuan untuk peningkatan kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
Pertanyaan diatas seringkali saya jawab dengan pertanyaan balik kepada mereka, yakni :
“Anda pernah minum Jamu ?? … Sampai habis tak tersisa ?? … “, kebanyakan mereka akan menjawab “Iya, sering malahan, .. “, …. “Nah, sama seperti itu, .. “ jawab saya kemudian. Bingung ??, .. sebagian besar begitu. Biasanya saya akan memberikan ulasan setelahnya, bahwa aktifitas kita dikegiatan Pramuka, Paskibraka, PMR atau yang lainnya itu ibarat minum jamu sampai tandas tak tersisa sedikit pun. Pahit memang, tidak enak dilidah rasanya namun setelah itu anda akan mendapatkan kesehatan dan kebugaran yang dapat anda jadikan bekal utama untuk berkarya terbaik dalam kehidupan anda. Minum jamu itu harus tuntas tidak bisa setengah-setengah jika ingin mendapatkan manfaatnya secara totalitas. Begitupun juga dengan manfaat yang didapat mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, keikut sertaan kita haruslah totalitas bukan setengah-setengah jika kita mengharapkan kemanfaatan secara menyeluruh.
Sesungguhnya, mereka yang selain mengupayakan nilai akademis yang terbaik juga masih aktif dikegiatan ekstrakurikuler seperti halnya Pramuka, Paskibraka, PMR dan lain-lain, sedang melakukan penempaan diri secara terus menerus untuk mendapatkan percepatan kemandirian, pola pikir kedewasaan, pembelajaran kepemimpinan, kepatuhan dan kepatutan, kejujuran, proses pembelajaran penyadaran perbedaan, saling menyayangi dan masih banyak nilai utama kehidupan yang sedang mereka pelajari lebih cepat dari teman sebayanya yang tidak mengikuti kegiatan tersebut.
Bayangkan, jika disaat diluaran sana teman-teman putra dan putri kita yang sebaya sedang berhura-hura, santai, bersenang-senang tak karuan, bermalas-malasan. Putra-putri kita sedang melakukan aktifitas penempaan diri dan mental melalui pembelajaran dalam proses yang dibangun dikegiatan ekstrakurikuler Pramuka, Paskibraka, PMR dan lain-lain. Maka bisa dipastikan, siapakah diantara keduanya yang akan mampu mandiri dan memilik pola pikir kedewasaan yang lebih cepat. Sebagai orang tua tentunya kita akan mampu mempertimbangkan hal ini.
Nilai akademis bukanlah hal yang paling utama, kegiatan pembelajaran di ekstrakurikuler bukanlah merupakan penyebab jatuhnya nilai akademis putra-putri kita, kegiatan ini justru akan menjadikan mereka memilik pengalaman dan kemampuan lebih dibanding yang lainnya. Banyak nilai kemanfaatan yang mampu diraih demi peningkatan masa depan.
Tidak sedikit contoh yang telah ada, bahwa nilai akademis bukanlah segalanya. Banyak mereka yang menyalahkan kegiatan ekstrakurikuler tidak menyadari, waktu untuk ekstrakurikuler disekolah hanyalah 1 (satu) minggu sekali. Jika dibandingkan dengan waktu pembelajaran secara akademis/pelajaran di sekolah maupun waktu luang yang dimiliki selama dirumah rasanya jauh dari keabsahan dijadikannya alasan penyebab anjloknya nilai putra-putri kita secara akademis.
Suatu kali HP saya bergetar secara terus menerus, setelah saya angkat dan melihat layar HP muncul nama seorang teman Direktur sebuah Sekolah Tinggi Manajemen Bisnis di Jawa Timur. Singkat kata, ternyata saya diminta untuk menjadi Dosen mengampu salah satu mata kuliah di Perguruan Tinggi yang dia pimpin. Secara pengalaman dan kemampuan / skill saya rasa cukup mumpuni untuk mengampu mata kuliah tersebut. Masalahnya, Ijazah Pendidikan tinggi belum keluar karena harus menunggu beberapa lamanya. Hal ini telah saya sampaikan, namun teman saya tersebut tetap meminta saya untuk mengajar mata kuliah dimaksud. Akhirnya, sampai hari ini saya tetap mengajar di kampusnya dengan pengalaman dan kemampuan yang saya miliki.
Lain waktu, Kakak angkat saya yang kebetulan jebolan ITS yang juga seorang Konsultan Manajemen Mutu ISO yang telah mengantongi Black Belt USA Certificate meminta saya untuk mengisi pelatihan Management Supervisory pada Perusahaan Yamaha wilayah Jawa Timur, Kalimantan Timur dan NTB. Awalnya saya menolak, oleh sebab saya tidak memiliki sertifikasi untuk hal itu. Waktu itu usia saya baru 28 tahun. Namun, beliau tetap saja ngotot meminta saya untuk ikut mengisi pelatihan tersebut. Akhirnya saya beranikan diri untuk terlibat langsung pada pelatihan tersebut. Hasilnya, setiap kali ada pelatihan yang secara pengalaman dan kemampuan saya miliki, saya selalu dilibatkan dengan fee jauh melebihi gaji saya sebagai tenaga IT di Instansi Pemerintahan maupun sebagai seorang Dosen.
Gila, begitu teman-teman saya seringkali bilang tatkala saya bercerita tentang hal itu. Itu hal yang kecil menurut sebagian orang, namun pengalaman dan kemampuan yang mahal bagi saya. Bahkan kakak angkat saya bilang, “Justru, kamu lebih hebat dari saya, saya ketika mengawali menjadi seorang konsultan di Jakarta baru belajar dan bisa berbicara didepan peserta pelatihan usia saya waktu 33 tahun, itu pun jika dinilai dan dievaluasi kemampuan saya dalam memberikan pelatihan tidak ada yang bernilai B atau C, apalagi A. Semuanya D alias jauh dari kelayakan, nah sedangkan kamu ?, usia 28 tahun, kemampuan berbicara dan melatih luar biasa, ….”, kalau sudah begini, saya hanya bisa senyam-senyum saja mendengar pujiannya.
Kemampuan yang membuat saya akhirnya mau menerima tawaran menjadi Dosen, mengisi berbagai pelatihan dan lokakarya ditengah banyaknya kesibukan yang saya miliki, sesungguhnya saya dapatkan BUKAN DARI NILAI AKADEMIS selama saya bersekolah semata. Justru PENGALAMAN DAN KEMAMPUAN/SKILL itu saya dapatkan selama saya menjadi Ketua OSIS semasa SMP dan SMU, Menjadi Ketua OSIS terbaik SMU Se-Kabupaten Sidoarjo, Juara 3 Siswa Teladan tingkat SMP se-Kabupaten Sidoarjo, Juara 2 Lomba Pidato P4 se-Kabupaten Sidoarjo, Sekretaris Umum dan Ketua DKC Pramuka Sidoarjo, Ketua Panitia Perkemahan Wirakarya Pramuka Sidoarjo, Wartawan Kronik Pelajar Surabaya Post, Petugas Paskribaka HUT Proklamasi Kabupaten Sidoarjo, anggota LSM Lingkungan Nasional Klub Tunas Hijau dan banyak pengalaman selama berkecimpung di organisasi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
-----------*****-----------