Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Napak Tilas Sang Guru

25 November 2013   16:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 387 16

“Untuk guru-guru Indonesia yang bersungguh-sungguh.Tidak ada pengabdian yang sia-sia.”

Demikian kalimat persembahan karya Frieda Treurini mengawali buku pertamanya – “Driyarkara, Si Jenthu”, mengajak kita mengenal tentang seorang filsuf pendidik yang lahir di bumi Indonesia ini seratus tahun lalu, 13 Juni 1913.

Driyarkara, bagi penghuni di seputaran Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta Pusat lebih dikenal sebagai nama suatu perguruan tinggi filsafat.Jangankan mengenal siapa Driyarkara, mendengar kata ‘filsafat’-nya saja orang awam cenderung mengerutkan kening membayangkan keseriusan bidang ilmu satu ini.Apalagi dengan kondisi masyarakat yang masih lebih memerlukan santapan jasmani daripada santapan rohani melalui buku atau ilmu pengetahuan.

Keengganan atau bisa dikatakan ketidakpedulian terhadap sosok filsuf ini bukan berarti matinya filosofi pendidikan yang diwariskannya.Tanpa disadari sesungguhnya banyak pendidik yang mencerna dan mempraktikkan buah pikiran Driyarkara.Bahkan Mohamad Sobary, seorang budayawan yang biasa dipanggil Kang Sobary, pada bagian belakang buku menyampaikan keprihatinan sekaligus harapannya begini:

“Romo Drijarkara mungkin juga korban ketidakpedulian kita, yang oleh sistem pendidikan tak diajari membaca untuk bertanya tentang sesama manusia dan apa karyanya. Kita tak punya rasa penasaran akademis yang menggoda, untuk bertanya, apa yang dikerjakan orang lain, apa komitmen intelektual utamanya.Maka, filsuf terkemuka ini kita biarkan pergi, tanpa kita ketahui jejaknya.Buku ini berjasa menebus dosa kita.”

Gambar ilustrasi di sampul depan buku ini menghadirkan goresan-goresan wajah seorang guru sederhana tetapi dengan kedalaman pikir yang diiringi ketulusan hati.Pilihan warna hijaunya sederhana pula yang tidak membuat mata lelah, cenderung menenangkan.Menarik juga keterangan mengenai foto sampul: “Goresan pena wajah senyum Driyarkara oleh Peter Gentur.Dengan pena pula Driyarkara ‘melukis’ wajahnya sendiri melalui pengabdian bagi banyak orang.Dengan tinta ia ikut memotret manusia di suatu tempat, pada suatu masa.”

Frieda menyampaikan ucapan terima kasih khusus kepada Romo Frans Danuwinata SJ atau Romo Danu, yang dikatakannya sebagai nyaris satu-satunya narasumber, sumber persiapan penulisan, koreksi sampai finalisasi.Satu bab tersendiri mulai halaman 209, membahas tentang bagaimana karibnya hubungan guru–murid antara Driyarkara dengan Romo Danu pada masanya.

Membuka lembar demi lembar buku ini seolah-olah kita turut berjalan bersama Romo Danu menelusuri jalan-jalan yang pernah dilalui Driyarkara sejak lahir sampai wafatnya.Penuturannya pun dalam bahasa Indonesia yang lugas dan mudah dimengerti. Belum lagi sajian foto-fotonya.Dari segi layout atau tata letaknya buku ini sungguh di luar dugaan.Buku ini berhasil menampilkan diri sebagai buku serius yang renyah dan mengasyikkan, jauh dari menambah kerut-kerut wajah.

Pengantar buku yang disampaikan oleh. Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ menerangkan pula, bahwa pemikiran-pemikiran Driyarkara sudah dikumpulkan dalam “Karya Lengkap Driyarkara – Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya” (disunting oleh A. Sudiarja SJ, G. Budi Subanar SJ, St. Sunardi, T. Sarkim), diterbitkan oleh Kanisius-Kompas-Gramedia pada tahun 2006.

Untuk buku setebal 252 halaman ini, harga yang dibanderol memang memerlukan lebih dari selembar kertas merah bergambarkan Soekarno-Hatta.Setelah membaca isinya, rasanya berapa pun banyaknya lembar-lembar merah itu menjadi tanpa batas angka lagi.Suatu karya yang apik mengenai sosok seorang filsuf pendidik, Driyarkara.

kampung gunung, 25.11.2013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun