Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Batas Ruang

31 Oktober 2020   13:41 Diperbarui: 31 Oktober 2020   14:16 87 4
Beberapa kali terlintas bayangan dari depan pintu kamarku yang memang sengaja tak ku tutup dengan rapat. Bayangan sesorang yang tengah berjalan mondar-mandir penuh keraguan. Bukan hanya kali ini saja aku merasakan bayangan tersebut. Namun, sudah dari beberapa hari belakangan ini. Hari-hari lalu memang aku sengaja mengabaikan itu semua dan memilih fokus pada kertas dan pensil yang ada dihadapanku. Tapi rasanya tidak dengan kali ini karena bayangan itu cukup menganggu konstrasiku.

Aku meletakan pensil dan beranjak menuju pintu kamar. Aku membuka pintu kamar perlahan dan benar saja aku mendapati Ibuku yang sedang mondar-mandir tidak jelas.

"Ibu." Ucapku membuat Ibu terkejut lalu menghentikan langkahnya.

"Oh, Naya..." Kata Ibu tersenyum canggung.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, kau harus segera bersiap untuk pameran nanti, bukan?"

Aku masih belum menjawab pertanyaan Ibu karena aku tahu pertanyaan itu sengaja dilontarkan oleh Ibu untuk mencairkan suasana canggung ini.

Ibu berdiri tepat di depan pintu utama gubuk sederhana ini dan gelagat khawatir masih terlihat jelas dari tingkah Ibu. Merasa tidak mengerti dengan situasi ini, aku memilih untuk menghampiri Ibu dan memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Ada apa, Bu?" Tanyaku penasaran.

"Tidak, tidak ada apa-apa. Cepat kau masuk lagi ke kamarmu dan persiapkan semuanya untuk pameran dengan baik. Udah sana." Ucap Ibu sembari mendorongku masuk kembali ke dalam kamar. Namun, merasa ada sesuatu yang mengusik Ibuku aku kembali berbalik arah menuju jendela rumah.

Aku dibuat semakin bingung ketika melihat jendela. Tidak ada pandangan aneh dari luar sana. Hanya ada tukang sayur yang sedang berhenti tidak jauh dari rumahku dan beberapa Ibu-Ibu tetangga yang sedang berbelanja dan saling mengobrol.

Normal. Sungguh sebuah keadaan yang normal dan wajar terjadi di sebuah kampung. Tidak hanya di kampungku, aku yakin kegiatan Ibu-Ibu belanja sayur itu adalah kegiatan sudah biasa terjadi dan tentunya bukan suatu masalah.

Nihil, aku sama sekali tidak menemukan suatu keanehan yang membuat Ibuku terlihat begitu gelisah dan ragu seperti ini. Sekali lagi, aku ingin memastikan sendiri apa yang menjadi musabab Ibuku bertingkah tidak biasanya, seperti ini.

"Bu, ada apa sebenarnya? Tidak biasanya Ibu seperti ini?"

"Sekar, Ibu tidak apa-apa. Lalu, apa maksudmu tidak biasanya Ibu seperti ini? Itu hanya perasaanmu saja. Sudah-sudah, Ibu harus menyiapkan dagangan." Kata Ibu langsung pergi meninggalkan ruang tamu sembari menepuk bahuku.

Baru beberapa langkah, Ibu berbalik arah dan mengatakan sesuatu. "Naya, tak perlu kau hiraukan apa yang terjadi disekitarmu. Kau cukup fokus dengan pameran dan impianmu. Kau tau apapun yang terjadi Ibu akan selalu ada untuk mendukungmu."

Aku masih diam dan hanya bisa melihat punggung Ibuku yang sudah semakin menua berjalan menjauh menuju arah dapur. Meski aku belum memahami betul maksud ucapan Ibu tapi dengan kalimat itu aku merasa lebih tenang dan yakin untuk menghadapi apapun yang akan terjadi nanti. Aku memilih kembali ke kamar dan menyelesaikan beberapa sketsa yang harus aku lukis mulai besok.

Darah seni sudah mengalir jelas dalam tubuhku. Kakekku dulu adalah pemain theater yang aktif berpentas dari satu panggung ke panggung lainnya. Bukan seni memerankan seorang lakon dalam panggung yang diturunkan padaku melainkan sebuah seni yang penuh dengan goresan kuas untuk menyampaikan sebuah pesan kepada khalayak melalui selembar kanvas.

Dengan segala keterbatasan yang kumiliki, sampai pada titik ini bukanlah perjalanan yang mudah untukku. Berbagai penolakan datang silih berganti. Entah sudah beberapa banyak pameran yang aku daftar untuk dapat bekerja sama. Namun, semuanya gagal sia-sia.

Lelah? Sudah pasti. Ingin menyerah? Sedikit terlintas. Namun, hidupku tidak akan berarti jika aku menyerah begitu saja atas impian yang dengan senang hati aku bangun. Selalu ada harapan di kemudian hari meski tidak ada jaminan untuk itu. Ketika aku sudah melepaskan harapan-harapan itu,  aku tetap memilih untuk  berkarya tanpa berharap apapun. Hingga pada akhirnya sepucuk surat datang ke rumahku, memberi sebuah kabar yang tak pernah aku duga sebelumnya.

Surat dari Komunitas Seni Internasional itu, memintaku untuk memamerkan enam lukisan abstrak tentang kecintaan terhadap diri sendiri di acara Festival Seni Internasional yang akan digelar di Singapura. Sungguh, sebuah kesempatakan yang tak ternilai harganya untukku. Selain dapat mengapai impianku, aku juga dapat melihat bagaimana keadaan negeri luar. Ya, ini adalah kali pertama untukku mengunjungi negara tetangga. Menjadi lebih membahagiakan lagi ketika aku ke sana untuk memamerkan karya-karya yang aku buat dengan sepenuh hati.

Hari-hariku menjadi sibuk untuk mempersiapkan semuanya. Namun, malem ini aku putuskan untuk keluar sekejap dari rumah untuk membeli beberapa perlengkapan melukis. Cukup jauh jarak dari rumahku ke pusat pertokoan tapi itu tidak sama sekali membuat semangatku padam.

Langit sudah semakin gelap ketika aku hampir tiba di rumah. Namun, dari kejauhan dapat aku lihat beberapa tetangga sedang berkumpul di salah satu rumah. Awalnya aku ingin lewat jalan setapak yang biasa aku lewati karena lebih cepat untukku sampai ke rumah. Namun, karena melihat kerumunan itu, aku memilih untuk melewati jalan setapak lain untuk sekadar menyapa tetanggaku. Dengan langkah kecil aku berjalan hendak menuju gang jalan setapak. Dan disaat itu pula sayup-sayup kabar burung terdengar jelas dari mulut tetanggaku.

"Oalah, gapapa Bu kalo anaknya milih karir yang penting jelas gitu loh. Keliatan naik pangkat terus berseragam gitu. Toh juga anak laki-laki." Ucap seorang Ibu yang usianya tidak jauh dari Ibuku.

"Iya, Bu. Bagus kalau begitu. Yang penting jangan kaya anaknya Bu Rana, katanya sih anak gadisnya sibuk karir jadi jarang keluar rumah. Tapi nggak kelihatan tuh, hasil karirnya apa." Sambung seorang lainnya.

"Ha..haa...ha..Iya loh Ibu-Ibu. Saya juga suka bingung karir anaknya Bu Rana itu apa ya? Kok kaya nggak ada hasilnya gitu. Haduh, nggak kebayang jadi Bu Rana, anak satu-satunya, perempuan udah 27 tahun belum menikah terus sibuk karir tapi ngga kelihatan hasilnya." Kata wanita setengah baya berpakian daster dengan gelang penuh di kedua lengan tangannya.

"Bu Rana juga udah jarang ya kelihatan belanja sayur bareng."

"Iya, udah beberapa minggu ini kayaknya sudah jarang ketemu Bu Rana di tukang sayur."

"Mungkin malu, Bu sama anaknya yang belum nikah terus lagi sibuk karir. Beda sama anak-anak perempuan kita yang udah menikah terus lepas mandiri."

Seketika, aku langsung menghentikan langkahku sebelum semakin dekat dengan kumpulan Ibu-Ibu itu. Aku segera berbalik arah menuju arah jalan setapak yang biasa aku lewati. Dan sungguh mengejutkan semua realita ini. Ketika anak laki-laki diagungkan dengan begitu bangganya ketika memilih untuk berkarir dan untukku yang perempuan justru diperlakukan seperti ini oleh sesama perempuan.

Ingin rasanya aku berterima kasih kepada Ibuku, sudah berusaha begitu kerasa agar omongan-omongan racun itu tidak sampai ditelingaku. Dan memberiarkan aku fokus pada impiannya. Kini aku mengerti alasan mengapa Ibuku terlihat begitu ragu dan khawatir ketika akan keluar rumah hanya untuk membeli sayur.

Aku tidak akan goyah dengan ucapan mereka. Aku akan tetap berkarya meski hanya ada satu orang yang menyukainya dan orang itu tidak lain adalah aku sendiri. Aku tidak akan menjadi lemah oleh mereka karena aku memiliki batas ruang yang sangat jelas. Meski telah usang pintu rumahku adalah batasan jelas antara kehidupanku dan kehidupan mereka. Meskipun berada dilingkungan sama tidak lantas membuat jalan pikiran kita juga sama. Dan aku tetap pada pilihanku meskipun aku perempuan namun aku berhak untuk memperjuangkan semua mimpi-mimpiku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun