Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Balada Bangku Usang

11 Juli 2015   22:37 Diperbarui: 11 Juli 2015   22:37 92 1
Sebuah bangku hitam terlihat usang di pinggir jalan. Terlihat malang, jarang ada yang mau duduk di sana. Semua orang memandangnya jijik. Bangku itu sudah dianggap seperti pelaku asusila saja.

Aku heran. Sebagai pendatang baru, aku bersikap skeptis setengah mati. Bagiku ia tetap bangku pada umumnya. Terbuat dari kayu, dicat hitam gelap. Apa yang salah dari bangku itu? Aku anggap orang-orang di sini sudah berpikir kotor soal keberadaan bangku itu.

"Orang yang duduk di sana akan bersikap aneh. Biasanya cenderung gila dan jadi gelandangan." Kata seorang perempuan muda yang gincu merahnya meleber ke mana-mana.

"Pak Amin yang baru duduk di sana tak lama kemudian mati menabrakkan diri ke kereta."

Skeptisku semakin menjadi-jadi. Kali ini rasa penasaranku sudah mencapai ubun-ubun. Kali ini, aku harus mengeceknya langsung. Tak ada satu hipotesispun di kepalaku. Aku perlu bukti konket dan logis.

Siang ini, kudatangi bangku itu. Kali ini aku harus menyamar. Aku memakai pakaian hangat super lengkap. Ada syal pula yang melingkar di leherku. Dan kacamata hitam untuk menyembunyikan mataku. Mirip kostum drama korea ketika musim dingin. Bodohnya, aku baru sadar, aku tinggal di negara tropis yang panas.

Aku kegerahan. Tapi aku tak mau patah semangat. Bagiku memecahkan mitos itu adalah suatu tantangan. Orang-orang di sini sudah keterlaluan menganggap bangku itu seperti pelaku asusila.

Kupandang dia dari kejauhan. Tak lama ada seorang pemuda yang duduk di sana. Segera kusambangi dia.

"Hei, anak muda, mengapa kamu di sini?" tanyaku

"Apa tanya-tanya? Aku sedang butuh sendiri."

Dia menghardikku. Aku bertanya baik-baik. Mengapa dia harus marah? Tak perlu berpikir panjang, kutinggalkan dia. Beberapa hari kemudian tersiar kabar, pemuda itu masuk rumah sakit jiwa. Depresi akibat putus cinta.

Hari kedua penelitianku, kudatangi bangku itu. Sekarang seorang perempuan paruh baya yang duduk di sana. Kali ini, wajahnya nampak tertekan. Seperti habis mabuk.

"Bu, ngapain duduk di sini."

"Nak, Nak, Nak. Kamu itu dulu pernah terlihat di depan mulut paus."

Perempuan tua aneh. Dia seperti habis menenggak puluhan botol bir. Salah sambung ketika diajak bicara.

Aku termenung. Apakah mungkin orang-orang itu selama ini benar? Aku meremas jemariku sendiri. Aneh, batinku.

Kali ini kuberanikan diriku. Aku tak mau kalah pada mitos yang belum jelas kebenarannya. Senja yang bodoh itu memutuskanku untuk duduk di sana. Aku tak merasakan apapun. Bangku itu tak ubahnya bangku seperti biasa.

Seorang kakek berkacata tebal mendatangiku.
"Cu, ngapain duduk di situ?"

Aku terhenyak. Kupandangi kakek itu penuh keanehan.

"Aku hanya ingin duduk Kek." kataku.

"Kamu masih muda, Nak. Jangan duduk di situ. Masih banyak yang bisa kamu lakukan di luar sana. Cukup kakek saja yang sedang ditimpa kemalangan."

Mendengar pernyataan kakek itu, kini aku mengerti alasan bangku ini menjadi begitu menjijikkan. Pemuda itu, perempuan paruh baya itu, kakek malang itu menjawab semuanya. Bangku usang itu hanya diperuntukkan bagi orang yang depresi. Teramat frustasi hingga hanya butuh tempat untuk sendiri. Aku punya asumsi, semakin banyak orang yang duduk di sana, maka sudah kupastikan, dunia ini sudah menjadi alasan orang-orang phobia menghadapi hidup.

Aku termenung. Baru saja aku duduk di bangku usang itu.

2015.05.29
01.01 pm

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun