Kamu tiba di hadapan dirimu yang sepi,
tak saling bicara, menatap dalam kosong
siapa yang memulai telah menjadi doa
yang tidak pernah terkabulkan.
Entah kamu atau dirimu yang sepi itu
tersedak gumpalan-gumpalan
kalah dan derita, mendesak-desak
sebagai timbunan marah kepada nasib.
Nasib?
Nasib adalah layar sentuh bagi telunjuk kekuasan
pada sejenis grafik kemelaratan---
kamu menjelma angka-angka
tanpa nada. Partitur bagi pertunjukan tumbal-tumbal.
Dan, nasib sudah tumbuh menjadi darah, daging,
darah daging pula.
Kini kata-kata hanyalah ibukota yang sombong
begitu dingin, enggan disentuh, dan terus-terusan
lelah tapi jijik terhadap keluhan dan airmata;
terhadap dirimu sendiri.
Kamu & dirimu yang lirih itu,
sekadar ingin dipisahkan oleh mati,
dalam satu tikaman saja belati
atau kemelaratan berkali-kali.
Hiiiiih...