Yang sempat saya baca reaksi pedasnya hanyalah komentar terhadap puisi untuk Jokowi yang berjudul
Doa Seorang Tua, yang juga di
headline admin. Satu saja komentar yang terbaca menyebut
saya penjilat tahi tuannya (ampuun, melihat langsung Jokowi saja saya belum pernah, apalagi makan siang satu meja). Sesudah membaca ini, saya lalu menutup laman facebook Kompasiana, mengambil nafas. Darah rasanya mendidih, hawa tetiba menjadi gerah. Padahal sedang duduk di kursi empuk di bawah langit Desember yang mendung dan bukan sedang merapal ajian Sinar Matahari-nya Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng yang kini entah masih jomblo atau sudah menikah dan beranakpinak.
KEMBALI KE ARTIKEL