Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Dangdut Politik untuk Negeri

8 Mei 2015   10:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 66 2
Jumat pagi, waktu Mendawai dan sekitarnya.

Lagu dangdut itu berdentamdentum menembus dinding papan rumah ini. Ia keluar dari jendela, mengikuti angin, dan menelikungi hangat sinar matahari. Lantas masuk, menggoyangkan dinding papan,menusuk hingga berdarah. Menusuk hingga berdarah apa yang terrindui sebagai ketenangan. Persisnya, kerinduan akan pagi yang tenang.

Beberapa jam yang lewat, ketika PLN belum mengaliri listrik sesudah digilir pemadaman hari kemarin, saya terjaga oleh dua hal, rasa keram dan dingin. Feeling cuaca saya spontan berujar, "hari ini bakal panas". Dan, benar adanya.

Di luar sana, matahari bersinar terang lagi hangat, seolah hendak membalas hari kemarin, yang hujan dan memelihara enggan.

Tetangga sebelah rumah lalu memutar dangdut, sepintas terdengar Rita Sugiarto, Erie Susan dan entah siapa lagi, berganti-ganti bernyanyi. Entah kenapa, suara mereka terdengar miring, tersimak sedih. Beberapa lagu terdengar menghentak dengan syair sakit hati. Saya takjub, perkembangan teknologi musik sukses menyembunyikan kesedihan dalam irama yang menghentak.

Syair sedih itu lalu kehilangan daya hunusnya dan musik menghentak itu hanya menyisakan rayuan untuk bergoyang tanpa makna.

***

Saya terus teringat, beberapa pekan terakhir, beberapa peristiwa di negeri ini.

Yangpertama, adalah tentang pelaksanaan Konferensi Asia Afrika serta pelaksanaan hukuman mati untuk terhukum kasus narkoba. Dua peristiwa dengan intensi internasional yang sangat kuat. Yang pertama, pertemuan negara-negara dunia ketiga yang diharapkan dapat membangun konsolidasi Selatan-Selatan dan bukan semata-mata ramantisme nan heroik. Sedang, pada yang kedua, pelaksanaan hukuman mati itu bukan saja diharapkan tak akan teraborsi karena tekanan internasional, tetapi juga secara efektif memberi efek ketakutan bagi jejaringnya yang masih susah disentuh.

Bangsa-bangsa dunia ketiga, dalam kekuatan politik dan ekonomi yang masih tidak setara, diharapkan dapat merancang jalan nyata menuju kebangkitan yang belum sepenuhnya terwujud sejak digelorakan tahun 1955. Juga, bangsa-bangsa di dunia ketiga agar tidak membiarkan dirinya sebagai pasar bagi penghancuran generasi ke dalam cengkeraman pemasok narkotik dan obat-obat terlarang.

Semoga saja dua peristiwa dengan intensi internasional ini benar-benar menjadi momentum untuk kesungguhan dari sebuah bangsa untuk memimpin kebangkitan solidaritas Selatan-Selatan dan juga perang global melawan bandar narkoba internasional.

Selanjutnya, peristiwakedua, adalah isu pergantian personil kabinet kerja dan juga pertemuan politik dua blok yang berseteru sejak pelaksanaan Pemilu setahun yang lewat. Selama kurang lebih enam bulan berjalan ini, rezim pengusaha-politisi ini terus melakukan percepatan-percepatan kerja. Khususnya di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur. Walau begitu, kata para ahli, ekonomi sedang lesu, tumbuh di bawah 5%.

Saya tidak mengerti hitung-hitungan ekonomi itu, yang justru sedang ditunggu orang banyak adalah daya dobrak kepemimpinan untuk segera melahirkan keseharian yang nyaman dan penuh pengharapan, paska kenaikan BBM dan rentetan efek dominonya itu. Bagi orang awam, serupa saya, yang diharapkan bukan klarifikasi dari satu paradigma ekonomi terhadap paradigma yang lain dalam urusan apakah benar mewarisi ekonomi yang lesu atau tidak. Singkat kata, kerja nyata yang dimintakan.

Lalu, pada pertemuan politik antara dua blok berseteru tadi. Dari berita-berita, tampaknya perkembangan yang perlu digarisbawahi bukanlah karena ketegangan sudah mulai mencair dan "mulai saling merangkul". Yang perlu digarisbawahi adalah seruan untuk tidak lagi menciptakan kegaduhan politik yang tidak relevan. Ya, sejenis kegaduhan politik yang kekanak-kanakan.

Seruan politik sepeti ini, sejauh diletakkan untuk mendorong terwujudnya kerja politik yang mengabdi dan melayani rakyat banyak, harus disambut secara positif. Dengan maksud lain, ini adalah sebuah era untuk bekerja nyata dan bekerja bersama, bukan lagi era untuk mendaur ulang citra-citra palsu alias bukan sebuah era membangun "politik simulakra".

Mungkinkah ini semua terwujud ?.

Kita masih memiliki cukup waktu untuk melihat sejauhmana kerja nyata itu terwujud dimana negara menjadi pendorong utamanya, sebuah negara yang memimpin pembangunan (state-led development) tanpa harus men-copy pastestruktur teknokratis otoritarian.

Karena jikalau sampai tidak terlihat peristiwa rentetan yang menandakan adanya kerja internasional yang memberi pesan kuat dan tanda-tanda nyata akan kebangkitan, sementara di dalam rumah persoalan pergantian kabinet dan kegaduhan itu berhenti karena negoisasi dagang sapi semata-mata, maka rezim politik berikut elit-elit yang dilahirkan oleh rahim pemilu kemarin, pada hari ini tidak lebih dari musik "dangdut yang terteknologisasi".

Seperti musik dangdut yang diputar tetangga rumah tadi.

Yakni kelakuan elit politik yang coba menghilangkan nyanyi sedih dengan irama musik menghentak-hentak, menawarkan kesenangan dalam goyangan tapi isinya hanyalah kepalsuan. Dan, ketika alunannya berhenti, kita tersadarkan,oleh kenyataan bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing, seperti puisi Chairil Anwar.

Maka, jangan main-main dengan alunan musik dangdut, apalagi ketika ia berbaur dengan kepentingan politik !.

***

Saya kira ini sedikit catatan peristiwa dari dua bulan berjalan. Dua bulan yang diabadikan untuk mengenang kebangkitan kaum perempuan, pendidikan, dan kebangkitan bangsa. Semoga tidak sarat seremoni dan pidato-pidato politik tanpapassionsemata.

Selamat pagi. Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun