Sabtu yang berdarah.
Situasi politik terus memburuk. Kondisi keamanan terus mencekam. Kekuatan-kekuatan konservatif yang didominasi oleh jejaring oligark dan dinasti makin menguasai seluruh level kekuasaan. Di Eksekutif, mereka kuasai penuh. Di Legislatif sama berkuasanya. Di Yudikatif, mereka yang mengatur hukum jenis apa yang diberlakukan. Kekuatan-kekuatan militeristik pun mengambil bagian sebagai unsur dominan yang ikut mengatur kekuasaan. Senjata mereka tak lagi mengarah ke luar, sepenuhnya siaga ke dalam negeri.
Sabtu itu, di tengah gemuruh guntur dan hujan deras yang hebat, kekuatan-kekuatan yang mengendalikan semua kelembagaan negara terus bergerak untuk membersihkan elemen-elemen yang dipandang progresif, yang berani untuk menentang kekuasaan mereka.
'Bersembunyilah kawan-kawan di bawah kolong rumah. Kita tidak tahu tragedi apa yang akan memisahkan hidup dari cita-cita', Â ucap lelaki kurus jangkung dengan pakaian yang lusuh. 'Kekuatan-kekuatan itu terus saja berkembang menjadi aliansi yang dominan dan bengis!', tambahnya pelan.
Tiga orang pemuda yang bersamanya hanya diam menatap tanah yang basah.
***
25 Tahun yang lalu.
Presiden itu baru saja terpilih. Ia memenangkan pemilu yang hanya diikuti dua kontestan. Hanya memang tipis. Namun, aliansi yang mendukungnya kalah di legislatif. Ia tidak bisa banyak berbuat. Selain jumlahnya tidak sampai setengah dalam penguasaan kursi, ikatan ideologis yang mengikat aliansi pendukungnya terus saja renggang. Mereka tidak cukup tangguh untuk tidak masuk angin. Walau menang dalam pemilu presiden, namun tidak cukup kuat mengendalikan jalannya pemerintahan.
Sebaliknya, lawan yang kalah itu terus saja mensolidkan barisan pendukungnya. Tak cukup hanya di pusat pemerintahan, mereka juga mengendalikan kekuasaan hingga ke daerah-daerah. Mereka memiliki kekuatan mayoritas di legislatif daerah dan juga menjadi mayoritas politik di level eksekutif daerah. Pemerintahan nasional lambat laun seperti berjalan di tempat.
Jalan awal dari kesuksesan mereka adalah memenangkan proses voting apakah pemilihan kepala daerah secara langsung akan terus dilakukan atau berhenti di tahun dimana mereka kalah dalam pemilihan presiden. Voting mereka menangkan, syukuran mereka gelarkan.
Belum banyak orang sadar jika voting itu awal dari kemunduran yang terus menerus dari kehidupan politik yang terbuka dan kompetitif. Inti politik makin dikuasai oleh aliansi yang mula-mula menjadi oposisi lalu secara bertahap bermutasi menjadi kekuatan status quo yang terus saja kokoh.
Segala anasir yang dipandang berbeda dihabisi, apalagi jika coba-coba menjadi penentang terbuka. Kebebasan dan kritik adalah ihwal yang haram. Rasionalitas dan diskursus adalah eksistensi yang wajib dimatikan.
***
'Kalau hari Sabtu ini, kita berempat akan menempuh takdir kematian, apa yang akan kau jadikan sebagai prasasti hidupmu kawan?', tanya salah satu di antara mereka berempat yang paling muda usianya.
'Aku tak memiliki apa-apa. Karya sosialku pun tak banyak kawan. Entah apa yang akan aku prasastikan, mungkin hanya monumen duka bagi ayah,ibu dan saudara-saudaraku', jawab sosok yang ditanya itu sambil menerawang.
'Kamu?', tanyanya lagi pada sosok yang dari tadi hanya diam menyimak.
'Aku sejak lahir tak memiliki keluarga kawan. Hidupku menumpang dari satu panti asuhan ke panti yang lain. Aku juga menumpang hidup dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Aku tak memiliki siapa pun yang bisa membaca prasasti kematianku. Lagi pula untuk apa ?!', jawabnya tersenyum mengembang.
'Kekuasaan yang totaliter lagi bengis akan memakan siapa saja yang mencoba berbeda apalagi menentang. Kalian bertiga ini siapa ?. Sepenting apa hidup kalian hingga memikirkan akan meninggalkan prasasti untuk generasi masa depan ?. Dasar lebay !, jawab ketus sosok kurus tinggi yang sepertinya bertindak sebagai pemimpin dari mereka berempat.
'Sisir semua area. Bersihkan !', suara bentakan itu terdengar lagi. Lalu bunyi sepatu bergegas. Kali ini, suara dan langkah sepatu yang bergegas terdengar lebih dekat dengan lokasi bersembunyian mereka berempat.
'Bersiaplah, mungkin kita akan berakhir hari ini', pesan si kurus.
'Oh iya. Kawan, aku tidak memiliki keluarga. Tapi aku punya sesuatu yang terus kubawa', ujar si pemuda yang hidupnya ditulis dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
'Apa itu ?', serempak dua kawannya bertanya.
'Sikat gigi. Merah warnanya kawan !', jawabnya lagi.
'Sssssst, diam', perintah sosok kurus lagi. Langkah-langkah bersepatu itu makin dekat.
'Kenapa sikat gigi ?'. Sejak kapan sikat gigi menjadi barang penting kaum progresif ?. Jangankan menggosok gigi, untuk mandi saja bisa dihitung dengan jari. Apalagi dalam kondisi seperti ini ketika represifitas memenuhi atmosfir politik.
'Aku memperolehnya dari seorang gadis. Aku bertemu dengannya di sebuah warung di pojok kali itu. Entah mengapa ini memberikan ini. Ia hanya berpesan, pakailah, agar senyummu selalu berani merekah dalam kondisi seberat apa pun!. Mungkin dia tahu kalau aku adalah anggota dari organisasi yang menentang pemerintahan hari ini', jelasnya setengah berbisik sambil tersenyum dan menunjukkan sikat gigi merah yang bulu sikatnya hanya tersisa setengah. 3 orang kawannya pun ikut tersenyum haru.
Ada benarnya pesan gadis itu, seberat apa pun kondisinya, senyum tak boleh pergi dari wajah kusut mereka yang sudah kekurangan makan dan istirahat dan dikejar-kejar seperti anjing yang kudis.
'Bersih boss !', lapor salah seorang yang turut dalam rombongan bersenjata lengkap dan bersepatu kepada pria yang bentakkannya bersaing dengan gemuruh guntur.
'Pastikan jika sudah benar-benar bersih. Hari ini harus selesai, besok kita akan berpindah lokasi pembersihan. Orang-orang yang membayar kita sudah gerah dengan manuver-manuver anak-anak muda itu!, perintahnya lagi.
Tak lama kemudian, desing peluru dan bau mesiu memenuhi udara yang basah. Rentetan tembakan dilepas membabi buta pada rumah panggung dan kolongnya. Pecahan kayu dan kaca berhamburan.
4 pemuda kurus itu menampung tajamnya peluru yang datang sebagai pemisah hidup dan cita-cita. 4 jasad tumbang bersimbah darah ke tanah yang becek. Wajah mereka tersenyum mengiringi perpisahan roh dari jasadnya.
Sikat gigi berwana merah itu tetap tergenggam di tangan salah satu diantara mereka. Sikat gigi merah, ia adalah prasasti dari kepergian tiga pemuda itu.
[22:07 | Palangkaraya : untuk jejak bau shampoo,tembakau, dan air mandi]