Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dialog Dua Orang Utan

8 Desember 2014   18:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47 97 1
Senja malas bertengger pada langit Desember yang basah. Berita bencana dimana-mana. Ada gempa, ada angin puting beliung. Ada longsor, ada banjir. Duka tumbuh menyaingi jamur yang bersemi di musim penghujan. Manusia selalu ringkih di hadapan kemarahan alam.

Rasionalisme-nya yang angkuh telah memamah buahnya : mesin-mesin resiko yang stabil meminta tumbal.

'Anakku, tahukah kamu apa arti kesia-siaan ?', meluncur tanya.

'Manusia telah begitu terpuruk oleh keyakinan yang berlebih pada akalnya sendiri. Ia telah membuat alam raya sebagai budak yang terus menerus diperkosa untuk memperbesar daya hidupnya sendiri. Ia sangka dengan begitu maka ia akan hidup dalam keabadian. Egois!', ucap seorang itu tanpa memberi jeda untuk bertanya apa maksud pertanyaan tadi.

'Manusia memproduksi kekacauan, lalu mereka menyusun teorinya, lalu menciptakan kekacauan baru. Mereka fikir mereka sedang mengendalikan alam. Mereka hanya sedang menciptakan ilusi kemajuan ke ilusi kemajuan berikutnya!', tuturnya lagi.

'Anakku, kita sudah terlalu banyak kehilangan kemampuan hidup secara arif', ucapnya lagi hampir tanpa terdengar.

' Pa, engkau menceritakan alam yang marah, engkau membenci manusia yang serakah. Tak ada lagikah yang tersisa bagi kita untuk menghargai dan menyelamatkan kehidupan ?', tanya keluar dari mulut yang disebut anakku itu.

'Jangan meneruskan hidup untuk ketakbergunaan. Jangan merawat kerja untuk kesia-siaan',

'Tapi untuk apa jika kita terus saja dianggap makhluk yang tak berguna ?. Hanya sejenis primata yang menjadi obyek penyelidikan rasio manusia ketimbang sebagai saudaranya yang terpisah dalam urusan evolusi ?', tanya yang dipanggil anak itu lagi.

'Jangan abdikan hidupmu untuk meratapi mereka yang tidak pernah tahu apa arti dari tindakanmu. Nilai kebergunaan kita bukan karena tindakan kita disebut-sebut dalam kisah-kisah indah hasil tulisan. Tidak juga bernilai karena jasad kita dimonumenkan dan di setiap musim libur orang-orang datang berkunjung lalu berkisah kepada anak cucu mereka. Juga tidak akan menambah nilai kita karena manusia sibuk mengkampanyekan konservasi dan kita jadi makhluk yang dihargai denda yang mahal jika dibunuh sesama mereka!', berkata datar suara yang disebut Bapa itu.

'Lalu, pada siapa kita mengabdikan hidup Pa ?', tanya si anak lagi.

' Bersaksilah untuk mengabdi pada alam raya dan dirimu sendiri. Kita sudah terikat pada hutan ini, fungsi-fungsi kita memperkuat keberlanjutan kehidupan di ekosistem. Janganlah melampaui fungsi yang mengikatmu ke dalam keseimbangan dan kelestarian. Sekali kau disfungsi atau mal-fungsi, keseimbangan itu akan berubah menjadi chaos tanpa henti. Seperti ulah bodoh dan serakah mereka yang menggantungkan hidup pada akal saja!'.

'Kita adalah penumbuh benih yang baik. Bekerjalah terus seperti itu sebelum kemarau datang dan manusia dnegan perusahaan mereka membakar hutan lagi!', ucapnya meneruskan.

'Bapa, apakah kita akan abadi ?', tanya si anak kemudian.

Diam. Senyap. Hanya ada gerimis yang berdecak.

'Alam-lah yang akan menuliskan keabadian kita. Bukan manusia !. Ayo, jalan lagi, masih panjang jarak yang harus kita tempuh untuk menabur benih', ucapnya menutup percakapan.

Dua orang utan itu menghilang di balik pepohonan yang selamat dari ganasnya api musim kemarau.  Senja telah menjadi malam. Angin Desember yang basah merekam jejak kaki mereka.

Di perkampungan pinggiran hutan, anak-anak berkumpul di depan televisi yang menyala dari tenaga genset. Berita bencana dimana-mana. Tapi anak-anak itu lebih memilih sinetron lalu menyanyikan soundtrack-nya dengan kompak : aku dan kamu satu di dalam kata cinta. aku dan kamu satu.

[Mendawai-Katingan, Pada Gerimis Desember]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun