Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Rinai Kabut Singgalang hingga Palembang

24 April 2011   03:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:28 258 1
Judul: Rinai Kabut Singgalang Penulis: Muhammad Subhan Penerbit: Rahima Intermedia Yogyakarta Tahun Terbit: Cetakan I, Januari 2011 Halaman: 396 hal Harga: Rp. 48.000,- RKS tak lebih menceritakan luka, lebih tepatnya maha luka, luka beranak luka yang dirasakan oleh Fikri, tokoh utama dalam cerita ini. Alkisah, Maimunah--ibu Fikri, perempuan yang berasal dari Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya karena nekat menikah dengan Munaf yang tak lain tak bukan adalah ayah Fikri. Munaf adalah laki-laki asal Aceh yang mencoba mengadu peruntungan ke Pasaman. Munaf dianggap sebagai 'orang datang, orang yang tak berurat tak berakar, orang di pinggang'. Di ranah minang menurut adatnya, menerima 'orang datang' sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, nasib Maimunah tak sebaik yang dia harapkan. Hidup berkalang malu, sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Yusuf, sahabat Fikri dalam buku ini menceritakan kisah luka yang beruntun, seakan tak ada hentinya dialami oleh Fikri. Berawal dari kehidupan di kampung pesisir Aceh, ayah Fikri meninggal dunia. Sejak ayah Fikri meninggal, ibu Fikri juga mulai sakit-sakitan. Dari sini Fikri mulai merencanakan untuk merantau ke Padang. Sebelum ke Padang Fikri singgah dahulu di nagari Kajai, kampung halaman ibundanya. Karena sebelum berangkat merantau, Fikri dipesankan oleh ibunya untuk mencari mamaknya--kakak laki-laki Maimunah. Maimunah menceritakan bahwa mamak Fikri bernama Safri, adalah satu-satunya anggota keluarganya yang begitu menyayangi Maimunah. Oleh karena itu, dia ingin sekali Fikri untuk menemui Mak Safri untuk mengabarkan bahwa adiknya baik-baik saja. Dengan kebulatan tekad, Fikri memulai kisah merantaunya. Menempuh perjalanan dengan bus, menuju nagari Kajai. Di dalam bus inilah Fikri pertama kali bertemu dengan Bu Aisyah, ibu dari Rahima yang merupakan kekasih tak sampai Fikri. Sesampainya Fikri di Kajai, kisah luka kembali ditampilkan. Mak Safri ternyata mengalami gangguan jiwa karena menanggung malu akibat perbuatan Maimunah. Di negeri beradat, perbuatan Maimunah sangatlah menjadi aib yang tak tertanggungkan bagi Mak Safri. Selama di Kajai, Fikri mengabdikan diri untuk merawat mamaknya yang selama ini hidup terpasung dalam sebuah gubuk di tengah kebun Manggis. Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Setelah memutuskan meninggalkan Kajai, Fikri merantau ke Padang. Ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Dalam prolog buku ini, Damhuri Muhammad seorang cerpenis menguraikan bahwa di titik inilah ada perubahan paradigmatik dalam konsep merantau. Bila masa lalu, merantau adalah pergi menuju sesuatu, tapi perantauan Fikri adalah sebuah ikhtiar meninggalkan sesuatu: luka. Riwayat perjalanan Fikri dimanfaatkan penulis untuk merekam jejak luka sepanjang hidup Fikri. Semasa perantauan Fikri di Padang, kisah percintaan Fikri pun bermulai. Ia bertemu dengan Rahima yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, kisah cintanya juga berbuah luka. Cinta Fikri bertepuk sebelah tangan, kakak Rahima bernama Ningsih tidak menyetujui hubungan mereka. Rahima tak mampu berbuat apa-apa karena selama masa sekolahnya Ningsihlah yang membiayai hidup Rahima. Terkesan berhutang budi, Rahima terpaksa menerima permintaan kakaknya untuk menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan Ningsih. Pinangan Fikri ditolak mentah-mentah oleh Ningsih, lagi-lagi alasan status Fikri sebagai 'orang datang' menjadi alasan. Namun, dibalik itu, ternyata Rahima dipersiapkan Ningsih untuk menikah dengan laki-laki pencariannya hanya karena Ningsih terlilit hutang kepada laki-laki itu. Pedihnya kisah percintaan Fikri sama halnya dengan kisah percintaan Zainuddin dengan Hayati yang diceritakan Hamka dalam 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk'. Juga, hampir sama dengan kesuksesan Zainuddin sebagai penulis sukses, dalam RKS Fikri juga mempunyai pengalaman yang sama. Ia dipertemukan kembali dengan Rahima ketika kisah yang ia tuangkan dalam novel difilmkan dan dipentaskan di Jakarta. Kembali kita diingatkan dengan kisah perjumpaan Zanuddin dengan Hayati setelah terpisahkan oleh nasib malang percintaan mereka. Penggunaan latar, yaitu adat di ranah minang agaknya adalah salah satu faktor yang sangat mendukung dalam novel RKS. Hal inilah yang membuat setiap pembaca dapat terpancing sehingga larut dalam setiap bagian novel ini. Penggunaan bahasa yang halus, bebas dan terkesan apa adanya pun menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk membacanya hingga akhir dari karya ini. Rangkaian peristiwa dan konflik yang disusun sedemikian rupa juga penokohan yang kuat dari setiap karakter, penggambaran latar yang tepat hingga alur cerita yang mengalun indah tak bisa dipungkiri menjadi kelebihan dari karya ini. Dibalik keindahan karya Muhammad Subhan ini, bukan berarti tanpa cela. RKS Ibarat produk lama yang dikemas dengan kemasan baru, kisah-kisah yang disuguhkan sepertinya dibayang-bayangi oleh kisah pada 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.' Kenapa tidak? Karena ketika saya mengikuti kisah demi kisah RKS ingatan saya tak terlepas dari kisah serupa yang ada pada "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk." Terlepas dari itu, saya mengapresiasi karya Muhammad Subhan. Karangan laki-laki berdarah Aceh-Minang ini mampu membawa saya hanyut ke dalam kisahnya dan saya merasa sangat dekat dengan kisah tersebut. Rinai kabut dari Singgalang akhirnya singgah juga di Palembang.  Semoga novel pertama MS ini turut menuai kesuksesan layaknya kesuksesan 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.' *** sumber: http://tutihandriani.blogspot.com/2011/03/rinai-kabut-singgalang-hingga-palembang.html

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun