Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

No Viral No Justice, Ironi Pengawasan Guru Masuk Sekolah

22 Januari 2025   23:01 Diperbarui: 22 Januari 2025   22:10 24 0
Fenomena no viral, no justice mencerminkan ironi dalam sistem sosial dan pemerintahan, termasuk di dunia pendidikan di Indonesia. Prinsip ini menunjukkan bahwa keadilan atau penyelesaian suatu masalah sering kali baru direspons serius setelah mendapat sorotan luas di media sosial. Contohnya adalah kasus guru yang tidak hadir di sekolah di Nias, yang baru mendapat perhatian setelah viral dan memicu tindakan langsung dari Mayor Teddy.

Dalam konteks pendidikan, fenomena ini menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam pengawasan dan manajemen sistem pendidikan, khususnya di wilayah terpencil. Secara teori, masalah absensi guru adalah tanggung jawab pengawas sekolah dan Dinas Pendidikan setempat. Namun, jika kejadian seperti ini terus terjadi hingga memerlukan perhatian figur publik, pertanyaannya adalah: di mana peran pengawas sekolah dan dinas terkait? Mengapa sistem pengawasan yang ada tidak efektif dalam mendeteksi dan menangani masalah ini sebelum sampai ke ranah publik?

Kasus ini juga memperlihatkan adanya kesenjangan antara kebijakan pusat dan pelaksanaan di lapangan. Pemerintah pusat telah menggencarkan program Merdeka Belajar, yang salah satu fokusnya adalah peningkatan kualitas pendidikan di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal). Namun, tanpa pengawasan yang ketat dan kolaborasi antarlembaga, kebijakan baik ini tidak akan mampu berjalan optimal.

Ketika seorang figur seperti Mayor Teddy harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang seharusnya menjadi tanggung jawab struktur pendidikan formal, hal ini menjadi tamparan bagi pemerintah daerah. Apalagi, guru yang absen tanpa alasan jelas mencederai semangat pendidikan sebagai hak dasar anak-anak. Anak-anak di Nias, seperti halnya di daerah lain, berhak mendapatkan layanan pendidikan berkualitas tanpa harus menunggu isu tersebut viral di media sosial.

Fenomena ini juga mencerminkan kekuatan media sosial sebagai alat kontrol publik. Namun, sangat disayangkan jika keadilan atau perubahan hanya bisa dicapai melalui sorotan viral, bukan karena sistem yang responsif dan proaktif. Dalam dunia pendidikan, ini menegaskan perlunya reformasi serius dalam sistem pengawasan, pemberdayaan kepala sekolah, dan akuntabilitas para pemangku kebijakan di daerah.

Ke depannya, kasus seperti ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Pendidikan adalah fondasi utama pembangunan bangsa, dan jika masalah mendasar seperti ketidakhadiran guru tidak bisa ditangani tanpa viralitas, maka ini adalah refleksi bahwa sistem kita membutuhkan perbaikan besar-besaran. Setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa perlu menunggu media sosial menjadi hakimnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun