Matahari kian terik membakar bumi. Rangkaian rumbia yang menutup rumah hampir tak mampu lagi menahan radiasi panas. Hanya alunan nada daun coklat yang bergesekan mampu memberi kesejukan membawa semilir angin beraroma kayu coklat. Buah kemiri di pelataran kian ramai bergemeretak, menguapkan kandungan air dan menjadikan diri siap dipecah sore nanti.
Orang-orang masih terhanyut dalam peluh menatikan bel istirahat saat adzan dzuhr datang menggema. Hening. Hanya suara televisi yang sayup terdengar, bergantian dengan suara alam yang harmonis.
Suara televisi di siang hari?
Oh saya lupa, saya sedang berada di Dusun Awo Kecamatan Tamero’do. 35 km jauhnya dari dusun Rura tempat saya tinggal. Dusun yang sangat berbeda keadaanya, rumah-rumah panggung berbaris rapi berdampingan dengan rumah batu –rumah tembok-, dibatasi pagar-pagar bambu berwarna biru putih yang melindungi bunga-bungaan indah yang hampir mekar. Beberapa rumah terlihat hijau oleh rumput yang menutup halamannya. Masjid berdiri gagah di pusat dusun.
Yang jelas listrik sudah masuk dan menyala 24 jam sehari, bukan pukul 17-22 seperti rata-rata kampung di gunung. Kawan saya yang ditempatkan di Awo tidak perlu repot turun ke dusun bawah untuk sekedar menge-charge laptop dan handphone, kamera bisa terus merekam tiap detik tingkah lucu anak-anak.
Dan dusun berlistrik terlihat lebih hidup. Suara adzan dari toa mampu menyapa telinga bapak-bapak yang ada jauh di dalam hutan. Pelajaran tambahan dan belajar mengaji bisa dilakukan sampai jauh malam. Film tentang binatang dan tata surya favorit anak-anak bisa diputar setiap malam.
Iri aku menyaksikan ini
Tapi kutekad aku harus bersyukur
Berguru pada kenyataan
Pada makhluk Tuhan yang katanya tak berakal
Sepenggal lirik “Kupu-kupu Hitam Putih” milik Iwan Fals langsung terlintas di benak. Saya juga ingin listrik, jerit yang terus menggema dalam hati.
________________________
Langit masih melukiskan biru yang sama, atap rumbia masih berusaha sekuat tenaga menghalau panas matahari. Es mulai mencair, melahirkan butir-butir embun yang perlahan mulai turun membasahi gelas.
Deretan tiang beton perangkai kabel-kabel masih angkuh berdiri menembus hutan. Berusaha menerangi ujung-ujung peradaban sebagai prasyarat agar layak disebut sebagai “keberhasilan pembangunan” atau “adilnya pemerataan”.
Saya ada di dusun bawah, tempat biasa “mencari” listrik ketika handphone dan laptop sudah kedip-kedip minta diisi. Dusun yang ada di jalan poros ini memang sudah lama dianugerahi lsitrik yang melimpah.
Namun diwaktu dzuhur masjid tidak mendendangkan merdunya adzan. Pun begitu ketika ashar. Ba’da maghrib tidak terdengar dengungan anak-anak yang dengan susah payah membedakan bacaan ikhfa dengan idhgam. Buku-buku dan PR tetap tersimpan rapi di dalam tas, tak tersentuh. Ruang belajar kosong, padahal lampu menyala terang.
Keriuhan hanya terlihat di ruang tengah tiap rumah. Ruangan dimana sebuah kotak 21 inch menjadi pusatnya. Ada yang tersenyum, tertawa, mendongak, melongo, bahkan beberapa terlihat membungkus dirinya dengan sarung, menikmati kesendirian di pojok ruang tanpa menggeser bola mata dari televisi. Menikmati sinetron, gosip, tayangan olahraga, dan drama penjual mimpi yang pergi dan datang silih berganti.
Teras-teras bernyawa lampu 10 watt juga tidak kalah ramai dengan pemuda dan bapak-bapak yang asyik bermain domino dan kartu remi. Ada yang tertawa senang, ada pula yang meringis mengikhlaskan wajahnya “dirias” tepung oleh kawan-kawannya.
Ternyata listrik di Dusun bawah memunculkan wajah yang lain.
________________________
Saya sangat terkejut ketika suatu hari sepulang dari kota beberapa warga dusun menarik saya ke kebun belakang rumah.
”Bapak lihat saja nanti”
Dari balik rerimbunan daun kopi terlihat sebuah mesin diesel yang sedang diisi solar. Biru dengan cerobong aluminium mengkilat bermahkota tangki solar berwarna merah. MADE in CHINA, begitu tulisan yang terlihat mencolok dari kejauhan. Kabel-kabel hitam menjulur, membelit, memotong, dan tergantung diantara pohon-pohon terus menerobos masuk ke tiap-tiap rumah tanpa satupun terlewat.
“Sebentar malam akan di uji coba Pak, mulai minggu depan Genset Dusun bisa beroperasi”
Ternyata bantuan genset dusun sudah masuk. Menurut Pak Dusun, genset itu mampu menerangi sekitar 30 rumah di Dusun Rura yang sudah sekian lama ada dalam kegelapan. Cukup patungan seribu rupiah setiap rumah per satu malam, maka listrik akan menyala mulai pukul 17.00 sampai solar hasil patungan habis ditelan mesin genset.
Alhamdulillah, berarti mulai minggu depan keheningan malam akan tergantikan dengan gaduhnya anak-anak yang berebut duduk di dekat monitor laptop. Menantikan tayangan National Geographic diputar. Pak Haji tidak perlu lagi memicingkan mata ketika senter yang menerangi Al-Qur’an santri-santrinya mulai meredup. Perpustakaan gelap yang selalu dianggap setting film horor akan berubah terang benderang dan penuh anak yang berebut buku, kertas gambar, serta pensil warna. Dan yang pasti, tamatlah riwayat kaleng susu kosong bersumbu yang sahabat setia warga Rura selama ini. Mirip suasana di Dusun Awo yang saya datangi tempo hari.
Namun, bagaimana bila yang terjadi justru sebaliknya?
Rumah Pak Haji ditinggalkan, kalah oleh gemerlap dunia yang dipamerkan layar-layar televisi. Suara adzan terabaikan oleh alunan gendang dangdut electon. Rumus dan hafalan pelajaran tergantikan oleh dialog-dialog kosong yang dicontohkan sinetron.
Listrik sudah akan masuk Rura, apa yang akan terjadi?
Rura, 2013.