I really mean it when i say “Berjemur”. Mulai dari Awal perjalanan, selama tinggal, hingga perjalanan saat meninggalkan Riung, sang surya tidak kenal lelah memancar membara. Saya, Biru dan tiga teman baru kami, JJ, Andro dan Niuk sudah berada di dalam bus Gemini (IDR 20k), bus yang akan membawa kami ke Riung, kampung halaman Niuk (kisah tentang bagaimana saya bisa mengenal Niuk bisa dibaca di
Strangers + Traveling = Keluarga Baru?). Perjalanan akan kami tempuh selama kurang lebih 3 jam (kabarnya bisa kurang dari itu apabila jalanannya mulus dan tidak rusak). Begitu duduk di dalam bus, saya langsung mengatur posisi duduk yang ‘pewe’ tepat di samping jendela dan tidur, berhubung saya kekenyangan setelah menandas habis dua mangkuk mie ayam di samping masjid di Bajawa sebelum berangkat (Mie nya memang enak banget dan murah. Dan konon kata yang jual, dialah satu-satunya penjual mie ayam di Bajawa). Awalnya saya masih merasakan sejuknya sepoi-sepoi angin Bajawa yang membuat saya perlahan terlelap. Namun tak lama, saya terbangun dan menyadari sekujur tubuh saya sudah banjir oleh keringat. Saya tolehkan kepala saya ke jendela dan mendapati di luar sana menghampar sabana yang kering kecoklatan. Terik matahari membuat sekeliling terlihat silau dan gersang. Benar saja, jalan berbatu yang tidak mulus membuat laju bus melambat. Beberapa kali, bus berhenti untuk tidak hanya menaik-turunkan penumpang, tetapi juga menaik-turunkan paket barang titipan hingga surat. Kata Niuk, bis ini memang multi fungsi. Sempat saya lihat ada ibu-ibu yang menitipkan sehelai amplop pada om sopir untuk diantarkan ke kerabatnya. Atau ada bapak-bapak yang menitipkan seperangkat alat berat untuk diantarkan ke sebuah bengkel yang letaknya sekitar 10km dari tempat ia berada. Kalau kata Niuk, bukan hal mustahil bila ada juga yang menitipkan ternak seperti babi, sapi atau kambing (biasanya diikatkan di atas bis). Speaking of “di atas bis”, saya, JJ dan Andro mendapat kesempatan untuk mencicipi rasanya naik bis di atas bis (literally diatas bis). Ketika tiba di suatu daerah (entah daerah apa) sang kondektur menawarkan beberapa orang yang ada di dalam bus untuk naik ke atap bis (entah karena alasan apa). Saat itu hanya saya, JJ dan Andro yang antusias keluar dari bis dan memanjat tangga di belakang. Bagi orang yang belum pernah duduk di atas bus seperti saya, dibutuhkan kewaspadaan, keseimbangan dan pegangan erat yang ekstra. Apalagi dengan kondisi jalan berbatu dan berlubang, saya harus mengikuti irama gerak bis agar tubuh saya tidak terbanting kesana-kemari. Namun, di luar itu semua, duduk di atas bis memang sebuah pengalaman seru yang tidak tergantikan. Saya bisa menikmati pemandangan di sekitar saya tanpa harus menunduk dan mengintip-ngintip dari kaca jendela. Sekitar setengah jam saya dan yang lainnya duduk terguncang-guncang di atap bis. Bis berhenti kembali dan kondektur meminta kami agar turun lagi. Kata pak kondektur, kalau sudah hampir memasuki jalan utama pemukiman, biasanya suka berkeliaran para polisi. Dan apabila ketahuan oleh polisi, siapa saja yang masih nekad nongkrong di atap bis akan dihukum (meski hukumannya terbilang ringan, mulai dari disuruh push up sampai ditampar-tampar). Kembali, duduk di dalam bis, saya mengobrol panjang-lebar dengan Niuk yang kebetulan sekarang duduk di samping saya. Niuk banyak bercerita tentang dirinya yang berkuliah di Solo bersama JJ dan Andro. Ia juga bercerita tentang perjalanannya pulang dari Solo ke Riung dengan jalur darat. Petualangan “pulang” yang saya dengar dari Niuk membuat saya iri karena memang salah satu mimpi saya adalah melakukan perjalanan darat yang jauh melintasi pulau-pulau. Asyik mendengarkan cerita Niuk, tidak terasa sampailah kami di Riung, sebuah kecamatan yang sangat tenang dan asri. Bus berhenti di depan rumah Niuk dan kami turun semua, bersama dengan ransel-ransel kami. Bapak dan ibu Niuk sudah menyambut kami dengan senyuman hangat di dalam rumah. Saya dan yang lainnya meletakkan tas kami di kamar Niuk. Sambil bergantian ke kamar mandi untuk bersih-bersih, kami duduk melingkar di sebuah meja bundar. Bapak Niuk dengan ramah mengajak kami mengobrol. Seperti bukan sedang berhadapan dengan orang asing, obrolan kami dengan bapak dan ibu Niuk mengalir begitu saja. Ketika senja menjelang, kami berpamitan menuju dermaga untuk berburu matahari tenggelam. Langkah kaki kami berderap berirama menyapu debu-debu tipis di jalanan beraspal mulus. Sesekali tentunya saya mengambil gambar suasana kecamatan Riung yang sederhana dan tenang.
KEMBALI KE ARTIKEL