Padahal dengan semakin melambungnya harga buzzer, ditambah dengan konsumen yang sudah lebih pintar membedakan mana tweet iklan, dan yang datang dari hati. Relevansi dan efektivitas Twitter Buzzer menurut saya makin lama makin menurun.
Ini bukan berarti saya menentang penggunaan Twitter Buzzer, tapi pengelola brand dan agency harus lebih cermat untuk melihat, efektifkah kampanye tersebut menggunakan Twitter Buzzer? Atau alokasi budgetnya bisa digunakan untuk medium lain yang mungkin lebih efektif mencapai tujuan dan menggapai audiens yang kita harapkan.
Lalu yang relevan saat seperti apa? Ada beberapa syarat penting yang menurut saya akan membuat Twitter Buzzer menjadi relevan dan efektif
Topik Untuk Dibicarakan
Syarat pertama agar penggunaan Twitter Buzzer punya nilai tambah bagi sebuah kampanye adalah, ada topik yang menarik, yang bisa jadi bahan pergunjingan di Twitter. Kalau kampanye brandnya sendiri sesuatu yang biasa-biasa saja, maka akan percuma saja. Karena orang tidak akan perduli dengan hal tersebut, dan gak akan menjadi Word of Mouth (WOM). Kalau tidak akan menjadi WOM, mungkin bisa menggunakan cara lain untuk berkomunikasi di digital, misalnya banner, iklan di mesin pencari, review produk dll.
Topik yang menarik adalah yang punya nilai berita, misalnya sesuatu yang pertama kali, terbesar, unik, cerita tentang David Vs Goliath, hal-hal yang sentimentil. Cerita-cerita seperti ini yang seksi, dan akan membuat fungsi Twitter Buzzer akan berjalan maksimal. Ceritanya akan di Retweet, orang-orang akan menggunjingkan topik tersebut. Dan berakhir dengan jurnalis yang penasaran akan mengangkatnya menjadi topik berita.
Audiens
Hal kedua yang perlu dipahami adalah riset dahulu benarkah target kita berkerumun di Twitter? Twitter mungkin sedang tren, tapi ingat jumlahnya hanya berapa persen dibandingkan dengan jumlah pengguna Facebook di Indonesia. Jangan sampai terperangkap dengan silaunya pesona Twitter saat ini. Twitter bukanlah medium massal, penggunanya sebagian besar kaum urban di kota-kota besar.
Buzzer yang Relevan & Lingkaran Pengaruh
Syarat ketiga adalah hati-hati dalam memilih buzzer. Tidak ada buzzer yang cocok untuk segala macam produk. Buzzer juga seharusnya dipilih bukan hanya berdasarkan jumlah follower, tapi juga tingkat interaksinya, dan pengaruh mereka ketika beropini di bidang tersebut didengar atau tidak. Untuk melihat pengaruh seorang buzzer secara umum, kuat atau tidak , salah satunya bisa diintip dari skor Klout . Blog saling-silang dan Media Ide, membahas dengan lebih komprehensif soal ini.
Buzzer harus dilihat juga relevansinya dengan brand yang akan dipromosikan, dan audiens followernya memang sesuai. Misalnya Raditya Dika yang selengekan, lucu dan followernya notabene ABG mendadak menjadi buzzer mobil BMW misalnya. Jelas sekali orang akan tahu, "arghhhh ini pasti iklan", dan juga audiensnya Radit gak akan ngena ama BMW.
Hal lain yang kadang terlupakan, menggunakan banyak buzzer, tetapi ternyata eh ternyata yang dipakai satu lingkaran itu-itu lagi. Dalam artian follower dari para buzzer tersebut relatif hampir sama. Misalnya buzzer A follower-nya 10.000, buzzer B 20.000. Apabila dalam komunitas yang sama, maka jangkauan kampanyenya tidak bisa dibilang 30.000 audiens, bisa jadi cuman 15.000 atau 20.000, karena banyak yang beririsan.
Tujuan Bisnis
Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah tujuan bisnisnya apa sehingga bisa ditinjau kembali relevan gak dengan memanfaatkan Twitter Buzzer? Secara umum Twitter Buzzer hanya akan menggerakkan hingga level awareness terhadap sebuah produk. Membuat orang akhirnya tahu, dan kemudian tertarik untuk mencari lebih tahu lebih banyak tentang produk tersebut.
Walaupun untuk beberapa kasus tertentu dari Twitter bisa digerakkan untuk melakukan pembelian, misalnya ketika menjual produk yang sudah dikenal publik, dan ada harga khusus selama periode terbatas. Misalnya sale untuk produk fashion, harga khusus untuk pembelian Ipad dll.
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka Twitter Buzzer punya kontribusi yang signifikan pada sebuah brand. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, sepertinya investasi yang telah dikeluarkan akan menjadi sia-sia. Apalagi di era sekarang ketika buzzer harganya melambung, dan iklan begitu banyak berseliweran di Twitter.
Bagaimana menurut Anda, apakah setuju? Atau ada hal lain yang ingin ditambahkan? Mari kita berdiskusi
Tuhu Nugraha Dewanto