**
Hal yang pertama harus dicatat adalah tidak semua universitas berhak menyandang hak untuk otonom, entah itu otonom keuangan, operasional, kemahasiswaan, ketenagakerjaan, dan lain lain. Hanya universitas yang “mampu” saja harus diberikan hak untuk mandiri. Universitas yang masih belum, jangan.
Analogi: Kerangka Konseptual & Filosofis
Misalkan BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa UI) adalah UI. Direktorat kemahasiswaan adalah Dirjen Dikti. Begitu juga dengan BEM-“ fakultas lain, adalah PTN lain di Indonesia.
BEM UI memiliki sistem internal yang mandiri dan telah terbentuk. Dimulai dari dasar organisasi, keanggotaan, kendali keuangan, standar operasional baku, dan lain lain. Hanya saja dalam mengelola internal organisasi, BEM UI sering kali tekendala dengan proses koordinasi dengan Direktorat kemahasiswaan yang membuat proses menjadi terlambat, malah terkadang rencana BEM UI untuk melakukan langkah stratejik sering dimentahkan oleh Direktorat Kemahasiswaan.
Contoh: BEM UI ingin mengadakan acara grand-teambuld untuk internal fungsionaris organisasi, agar menjadi api semangat bagi fungsionaris dalam untuk awal periode. Sesuai dengan aturan pengelolaan keuangan oleh Dirmawa, setiap pengeluaran di diatas 5 juta harus mendapat izin dari Kepala pusat kegiatan kemahasiswaan, Dirmawa. JIka tidak dapat izin, maka artinya rencana/program mahasiswa tidak diizinkan untuk dilaksanakan
.Untuk pengeluaran diatas 10 juta, ketentuannya adalah diharuskan mendapat izin dari Kepala Pusgiwa dengan tembusan langsung kepada Direktur Kemahasiswaan UI. Begitupun birokrasinya meningkat seiring nominal pengeluaran yang dikeluarkan semakin besar.
BEM UI adalah UI. Direktorat kemahasiswaan adalah Dirjen Dikti. Proker grandtimbil adalah program stratejik UI. Aturan izin untuk 5 juta, 10 juta, kurang lebih adalah contoh aturan antara Pemerintah dan UI. Dengan asumsi BEM UI adalah organisasi yang sudah settle, bukankah bukankah sudah sepantasnya BEM UI wajar untuk mengelola urusan internalnya dengan mandiri? Bukankah proses proses diatas membuat urusan domestik BEM UI menjadi lebih birokratis dan bergerak lambat? Bukankah sekelumit proses ini akan membuat BEM UI menjadi sulit untuk merangkak menggapai kualitas? Bukankah dengan proses yang rumit ini akan membuat BEM UI menjadi sulit meningkatkan daya saing?
Ya sama, UI menurut saya adalah PTN yang telah mampu untuk mandiri. UI sudah punya sistem pengelolaan yang akuntabel dan bertanggung jawab. Dengan peran pemerintah masih terus bercampur pada urusan keuangan dan operasional UI, jelas akan membuat UI sulit untuk meningkatkan daya tawar dan saing, akhirnya sulit untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Pemerintah tetap punya tanggung jawab dalam “penyelenggaraan” pendidikan tinggi, namun “pengelolaan” silahkan ada baiknya diberikan bagi PTN yang “mampu” untuk mandiri.
PTN yang capable, jelas tahu kemana arah PTN nya untuk berdiri. Visi misi apa yang akan dicapai, program kerja apa yang menunjang, struktur rektorasi apa yang dibutuhkan, serta sistem kendali yang diperlukan.
Jika PTN telah mampu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, lantas mengapa kita mengizinkan partisipasi pihak eksternal (pemerintah) untuk mengelola urusan dalam negeri kita? Jika provinsi Jawa timur sudah mampu mengatur urusan dirinya, lantas mengapa harus ada peran besar pemerintah pusat? Mengapa kita izinkan Direktorat kemahasiwaan untuk mengelola BEM UI jika kita tahu dan sadar BEM UI adalah organisasi yang sudah mampu untuk mandiri? Mengapa anak yang telah berpendidikan, mapan secara ekonomi, telah menikah, namun keuangannya masih terus diatur-atur orang tuanya?
Otonomi itu keharusan, jika entitas termaksud sudah layaknya untuk mandiri.
UI itu Nirlaba
Meskipun UI adalah universitas negeri, total dana pemerintah di anggaran UI hanya sekitar 20-25%. Sisanya UI menggunakan dana masyarakat atau nama lain pendapatan operasional. SPP mahasiswa S1, S2, dan S3 adalah salah satu pos penerimaan. Saya tidak setuju kalau UI dikatakan mandiri kalau pos penerimaan Ventura (danus) UI lebih dari 30%, yang saya sepakati adalah UI mengelola seluruh pos penerimaannya baik dari operasional, pemerintah, ventura dan danus UI secara akutanbel dan bertanggung jawab. Laporan keuangan UI audited yang dipublikasi adalah contoh UI bertanggung jawab atas pengelolaan aset kasnya.
Dalam tweet-tweet pribadi saya, seringkali saya berucap bahwa UI dari struktur anggaran dan pengelolaannya memiliki orientasi bukan untuk kepentingan laba. UI mengalami rugi operasional pada tahun 2011, rugi operasional adalah rugi akibat penerimaan operasional lebih kecil dibanding pengeuaran operasional. Operasional artinya pelayanan pendidikan tinggi.
Apa yang dibutuhkan satu orang mahasiswa untuk belajar/kuliah dengan kondusif? Harus ada dosen yang mengajari (biaya gaji dosen), ada ruangan (biaya gedung), Papan tulis, alat tulis untuk papan tulis, Komputer dan LCD jika nantinya ada pembelajaran dalam bentuk presentasi (biaya fasilitas pendidikan), listrik untuk pencahayaan ruangan, air (Overhead cost), dan biaya lain lain termasuk pekerja tidak langsung (petugas keamanan, cleaning service,dll). Semua biaya yang barusan saya sebutkan, adalah Biaya Operasional.
Tahun 2011, biaya operasional bengkak. ”Bengkak” untuk perguruan tinggi negeri itu adalah sesuatu yang bagus, artinya PTN terkait memiliki fokus untuk pelayanan pendidikan yang berkualitas. Tahun tahun beikutnya menunjukkan trend yang sama, UI selalu boros di biaya operasional. Nah kalau begitu, UI itu nirlaba bukan?
Menyiasati Mahalnya Biaya Kuliah
Kita beli smartphone iPhone 6s pastinya tidak sedikit biaya yang kita keluarkan, semua dibayar untuk kualitas smartphone yang akan kita gunakan. Menyewa satu kamar di Hotel berbintang 5 jelas juga beda kualitas yang diterima dengan menyewa satu kamar di penginapan biasa, jelas dengan harga yang juga jauh berbeda.
Sama, kuliah di universitas yang diajari oleh Dosen bertitel professor dan S3, ruangan full AC, dilengkapi fasilitas LCD dan Komputer, keamanan dan kebersihan terjamin, serta fasilitas lainnya yang juga pastinya kita bayar mahal, semua untuk kualitas. Disini jelas, antara harga dan kualitas, itu sebuah trade-off.
Realita biaya kuliah mahal adalah sesuatu keniscayaan, namun PTN dapat merancang sistem agar dapat tetap mengakomodir mereka yang kurang mampu untuk tetap kuliah. Sistem ini kemudian akan menempatkan siapa saja mahasiswa yang bayar penuh, yang biayanya disubsidi, dan yang digratiskan. Subsidi silang, untuk menghindari anak menteri dan anak petugas keamanan membayar biaya yang sama, jelas itu adil. Studi kasus UI, hipotesis saya UI menggunakan 3 jenis subsidi silang:
1. Fasilitas pembayaran BOPB (Bantuan Operasional Pendidikan Berkeadilan), dengan batas 0-5.1 juta. Mereka yang membayar 4-5 juta jelas akan memberikan subsidi silang kepada yang bayar kurang dari 1 juta. Penelitian mahasiswa membuktikan 5 juta batas maksimal yang diberikan UI adalah batasan termurah jika dibandingkan dengan batasan yang diberikan Universitas lain di Indonesia. Untuk PTN sekelas UI, membayar 5 juta dan sebagai imbalan mendapatkan seubret fasilitas yang diberikan adalah hal yang tidak sebanding, price