Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Seni dan Islam di era Postmodernisme

7 Desember 2012   17:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:02 307 1

Ada banyak nama untuk menyebut era yang kemudian dikenal dengan postmodernisme. Apapun namanya, salah satu ciri penting era ini adalah pencitraan. Dalam konteks ini, yang terpenting bukan orisinalitas, melainkan performa, bukan kedalaman melainkan kedangkalan, selain percampuran kode, ironi, semangat bermain-main dan ambruknya hirarkhi antara kebudayaan populer dan kebudayaan elit (Sarup, 2011: 202). Setiap orang berlomba-lomba untuk meningkatkan performa hingga batas maksimal, bahkan yang tidak rasional sekalipun. Hal ini mempengaruhi tidak hanya mentalitas masyarakat, melainkan juga prilaku mereka. Fenomena ini dapat disimak dari gejala-gejala berikut; mudah tersinggung, meredupnya rasa kasih sayang, hilangnya etika, tercerubutnya semangat altruisme, lahirnya egoisme, memudarnya kolektifisme, munculnya individualisme, layunya semangat produktifitas, merebaknya budaya konsumerisme (Callinicos, 2008: 261), munculnya plagiarisme dan hilangnya orisinalitas. Semua itu bermuara pada tumpulnya rasa, gersangnya jiwa, menipisnya solidaritas dan toleransi, tolong- menolong, serta semangat kolektivitas. Di samping itu, postmodernisme juga membidani lahirnya kekacauan bahasa secara hakiki maupun maknawi.  Ia tidak lagi representasi dari sesuatu, melainkan menjadi bentuk pencitraan dari sesuatu. Akibatnya, bahasa terpuruk bukan hanya ketidakmampuannya mewakili orisinalitas pikiran dan perasaan, melainkan juga terdesak untuk mengekspresikan kepalsuan dan pencitraan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun