Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Belum Fajar di Senja Utama

4 Juni 2013   01:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 161 0

Roda sepur yang kunaiki bising

Meneriaki telinga

Katanya malam ini dingin

Lembab basah udara cirebon

Tergerus deru rel yang memuai

Waktu itu

Kelas bisnis masih murah

Sekitar empat puluh ribuan

Masih penuh lantak orang berjejalan

Maklum suasana marema[1]

Berdesakan bahkan tak sedikit terinjak

Aku mengambil tempat di pinggir pintu

Gerbong paling akhir

Namanya murah

Pintu pasti terbuka

Sebenarnya hati masih biru

Ingat emak menangis jelang pergi tadi

Pikiran tak tentu , sedang rongga mulut asam

sigaret di tas lalu ku selip diantara bibir

Hisapan demi hisapan tak juga habiskan resah

Masih mengakrabi sepertiga malam

Dengan gundah yang terus terbayang

Ingat keraguan di sinar mata nya

hampir pemalang aku melang[2]

Ingat lagi ketakutan dari keringat dinginnya lepas melangkah lewati pagar

Hantaman angin mulai tak beraturan

Peluit lokomotif berseru mencekam

Emak ada di pelupuk mata

Laju gempuran derit rel menyayat

Oleng sedikit , sedikit oleng

Semarang masih cukup jauh

Sedang Senja Utama[3] sedang sayu layu

Bunyi klakson ada dua

Entah samar karna malam

Atau

Ah jangan..

Jarum speedometer naik lumayan kencang

Penerang terang berlipat nyala

Diesel banyak

Atau

Ah tidak..

Lupa , hari ini tanggal berapa

Derak besi patah tak terduga

Darah tiba-tiba mendesir di belakang tengkuk

Sudut elevasi gerbong ternyata makin meningkat

Kepala ku pening

Tak lagi bisa ku dengar jelas

Hanya saja jerit puluhan sejenis ku menulikan telinga

Seratus delapan puluh

Derajat

Sempat kulirik arloji hitam di lengan

Jam 03.05

Belum sampai fajar

Plat sekat semakin sempit

Aku terjepit

Ah iya ingat

Hari ini tanggal dua oktober tahun dua ribu sepuluh[4]

Wajah khawatir emak di tatap kosong mata

Pemalang

Hembus ku terhenti disini

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun