Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Mirna dan Dosa (bayu dan masa lalu)

27 Februari 2011   06:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:14 1007 1
Entah mengapa, malam ini aku tak begitu semangat melayani nafsu para pria hidung belang. Padahal, pada akhir pekan seperti ini, kesempatanku untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin sangatlah besar.

Badanku sungguh letih, sepertinya besok aku akan berlibur sejenak dari aktifitas busuk  ini. Aku menelepon ibuku dan memintanya untuk menghubungi Mbah Karti, tukang pijat urat langgananku. Pijatan Mbah Karti sangat nyaman, tidak terasa sakit. Tangannya yang sudah terlihat keriput masih lihai dan bertenaga. Pijatannya mampu membuat badanku terasa segar dan menghilangkan stres dan penat di kepalaku.

Tetapi sesungguhnya, bukan itu alasan utamaku ingin segera pulang dan menyudahi pekerjaanku malam ini. Perasaanku tidak enak, entahlah. Seperti ada sesuatu yang buruk yang hendak menimpaku. Aku tak ingin terlalu lama berandai-andai. Untuk itu, malam ini aku hanya melayani lima orang saja. Biasanya, ketika akhir pekan seperti sekarang, aku sanggup melayani sepuluh orang pria dan membawa pulang uang dalam jumlah yang banyak. Apalagi jika ada yang memintaku untuk menemani tidur di hotel. Long time service. Tarifku bisa jauh lebih mahal lagi. Untuk menemani tidur, aku meminta bayaran satu juta rupiah. Tidak termasuk biaya hotel. Tapi khusus malam ini, lima orang saja sudah cukup. Memang, banyak yang kecewa, terutama bagi yang memintaku untuk menemani mereka tidur di hotel. Aku menolaknya dengan alasan tidak enak badan.

**

Aku masuk kedalam kamar setelah sebelumnya duduk di teras depan losmen. Kututup pintu kamarku, kubersihkan riasan tebal di mukaku. Aku tidak mandi, nanti saja di rumah pikirku. Segera ku bereskan barang-barang bawaanku, tissue, kondom dan alat-alat make up yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi.

“Mir, Mirna. Kamu lagi ngapain? Kok pintu kamar di tutup. Ini ada yang nyariin kamu, cowok ganteng lho. Ayo, buruan keluar…!” Terdengar suara mami Sarah memanggilku dari luar kamar. Ia tidak tahu kalau aku akan pulang lebih cepat dari biasanya. Dia pasti akan bertanya-tanya.

“Sebentar mi, aku lagi beres-beres. Aku mau pulang mi, gak nerima tamu lagi. Mas-nya suruh balik besok lagi aja. Aku gak enak badan..!” Aku menjawab panggilan mami Sarah dengan setengah berteriak.

“Loh, koe ngopo kok pengen pulang? Iki isih ono sing ngantri mir. Piye to koe nduk?” Benar dugaanku, mami pasti akan bertanya-tanya. Dia pasti akan kecewa, karena malam ini begitu ramai, dan aku adalah anak kesayangannya, karena aku-lah yang akan memberinya pemasukan paling banyak dibandingkan anak-anaknya yang lain.

“Aku ga enak badan mi, sepertinya mau sakit.”

Tidak ada jawaban lagi dari mami Sarah. Mungkin dia telah menyuruh pria tadi untuk mencari perempuan yang lain. Aku sedikit tidak enak dengan mami Sarah. Ah, tapi sudahlah, tak perlu aku memikirkannya. Aku lalu melanjutkan pekerjaan membereskan barang-barang bawaanku yang tadi sempat tertunda karena mami Sarah memanggilku. Baru saja hendak memasukkan barang yang terakhir ke dalam tas, mami Sarah kembali mengetuk pintu kamarku.

“Mir, coba kamu keluar dulu, ini liat cowoknya dulu. Kamu pasti suka. Aku udah di kasih duit Mir..” Mami sarah mencoba merayuku.

Aku kesal, aku jengkel. Aku tak suka di paksa-paksa. Mami Sarah seharusnya sudah tahu hal itu. Ia sudah mengenalku cukup lama. Kalau aku sudah bilang tidak, itu artinya aku tidak mau. Apapun alasannya aku tak akan pernah mau. Begitulah aku. Tapi, mami Sarah terus menerus menggedor kamarku. Dengan sangat terpaksa, ku buka pintu kamar.

“Mamiiii…Aku kan udah bilang aku gak ma…” Suaraku terhenti oleh sesosok pria yang berdiri di hadapanku. Mami Sarah tersenyum, dan kemudian berlalu.

Pria ini sangat ganteng, wajahnya hampir mirip dengan Tora Sudiro, hanya saja badannya tidak sekekar Aktor film yang badannya penuh dengan tatto tersebut. Kulitnya putih, badannya tinggi. Penampilannya sungguh rapi, penampilan khas eksekutif muda. Memakai kemeja lengan panjang yang di padukan dengan celana hitam berbahan kain. Sepatunya terbuat dari kulit dan bermerek. Di lengan kirinya terdapat sebuah jam berwarna silver dengan motif emas buatan Swiss. Tangan kanannya memegang sebuah ponsel terbaru dan canggih. Ponsel berlambang buah apel. Badannya sungguh wangi, bukan farfum murahan pastinya. Aku sungguh yakin, tidak ada satu perempuanpun yang mampu menolaknya. Setiap perempuan pasti akan bertekuk lutut di hadapannya. Dia tersenyum melihatku. Senyuman yang sangat indah, senyuman yang selama ini aku rindukan. Senyuman yang selama ini telah hilang dari hidupku.

“Aku sudah tidak terima tamu lagi, aku mau pulang. Aku sedang tidak enak badan.” Aku berkata kepada pria itu. Suaraku menjadi parau, berat dan bergetar. Ada air mata yang sedang berlomba untuk segera keluar dari pelupuk mataku. Tapi aku menahannya.

“Aku hanya ingin bicara Mir…” Jawab pria itu sambil tersenyum.

“Mau bicara apa? Aku tak punya waktu..” Jawabku ketus.

“Sebentar saja Mir, 10 menit saja. Aku mau bicara tentang kita Mir..”

Aku terdiam sejenak, dadaku langsung terasa sesak. Inikah hal yang aku takutkan terjadi? Inikah yang sejak tadi membuat perasaanku tidak enak? Air mata yang sedari tadi memang memaksa ingin keluar, semakin mendesak mataku untuk memberi jalan keluar. Tapi otakku masih memerintahkan untuk tidak memberikan jalan dahulu. Aku harus bisa menahannya.

“Masuk..!” kataku. Kupersilakan pria itu untuk masuk ke dalam kamarku yang sempit dan kotor. Hanya ada kipas angin kecil, sebuah cermin yang kacanya sudah retak dan kasur kecil berbahan kapuk yang sangat jauh dari nyaman.

Pria itupun masuk kedalam kamar yang di sekat menggunakan triplex. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, matanya memperhatikan kondisi kamar tempat para pria hidung belang melampiaskan nafsunya padaku. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak pernah memasuki tempat seperti ini. Aku maklum, aku sungguh maklum. Bagi pria seperti dia, masuk ke tempat seperti ini mungkin menjadi hal yang sangat tabu dan menjijikkan.

“Ada apa? Gak suka ya sama kamarnya? Kalau gak suka ya silakan pergi..!” Ujarku.

“Enggak kok..” Jawabnya.

Kuperhatikan jam tanganku, kuperlihatkan padanya.

“Ini udah jam 1.30. Berarti waktumu untuk bicara hanya sampai jam 1.40..” Dia hanya meminta 10 menit, dan aku memberinya 10 menit.

Dia terdiam dan tersenyum. Matanya fokus melihat wajahku. Tidak berpaling sedetikpun. Tatapan matanya sunguh tajam, namun menyejukkan. Hanya dengan menatap saja, perempuan manapun pasti akan terlena, takjub dengan kegantengannya. Begitu pula aku, tatapan mata ini yang pernah membuatku merasa bahwa Tuhan hanya menciptakan satu orang pria saja. Dan itu adalah dia, Pria yang sekarang sedang berada di hadapanku.

“Ayo buruan ngomong..! Jangan diem aja. waktumu jalan terus, tinggal 8 menit!!” Aku memaksanya untuk berbicara, tak tahan rasanya melihat tatapannya. Jantung ini berdegup kencang. Air mata ini sudah tak terbendung lagi. Tapi aku harus kuat, setidaknya harus terlihat kuat di hadapan pria ini.

“Aku mau minta maaf Mir..”

“Minta maaf buat apa?”

“Buat semuanya. Aku salah Mir, aku salah karena telah membuatmu jadi seperti ini.”

“Heh!!! Jangan salah ya, aku jadi seperti ini bukan karena kamu!!! Aku jadi seperti ini karena mungkin takdirku memang seperti ini!” Aku tak mampu menahan emosiku. Sungguh, aku tak ingin terlihat rapuh di hadapan pria ini.

“Maafkan aku dan keluargaku ya Mir. Aku masih sayang kamu. Perasaanku masih seperti dulu..” Dia meraih tanganku dan menggenggamnya.

“Pergi kamu!!! Keluar, aku gak butuh kamu..!!!” Kulepas genggaman tangannya. Air mata yang telah lama menunggu untuk keluar akhirnya berhasil keluar beramai-ramai. Aku tak tahan lagi. Aku tak bisa berpura-pura.

“Tapi Mir…”

“Pergi!!!!” Ku bukakan pintu kamar, kutarik tangannya dan kusuruh ia untuk segera pergi dari kamarku.

Dia terlihat enggan, wajahnya seperti ingin mengatakan bahwa ia masih ingin berbicara denganku. Ia mencoba menahan tanganku dan hendak memeluk tubuhku. Tapi segera kutepis tangannya dan ku dorong tubuhnya keluar.

“Aku sayang kamu Mir…” Suranya masih terdengar.

Kututup pintu kamarku dengan kencang. Aku jongkok di sudut kamar. Air mataku tak henti-hentinya membasahi pipi. Aku tak percaya, aku tak percaya dia datang lagi. Aku sedih, aku terpukul. Aku malu karena dia menemukanku dengan kondisi yang sangat menjijikkan. Aku malu karena sekarang aku bukanlah Mirna yang dulu. Aku yang sekarang adalah seorang pelacur. Perempuan murahan yang merelakan tubuhnya untuk di tukar dengan uang. Aku adalah perempuan najis. Perempuan yang berlumur dosa. Tubuhku penuh dengan cairan kotor dari puluhan pria bangsat. Aku tak henti-hentinya menangis sampai mami Sarah membuka pintu kamar yang memang tidak ku kunci. Ia memelukku dengan erat. Aku-pun menangis di pelukannya. Jemari tangannya membelai rambutku dengan lembut. Aku menjadi sedikit tenang dan nyaman. Mami Sarah memang tempatku menyurahkan segala isi hati. Dia adalah seorang pendengar yang baik. Dia juga sering memberikan nasihat, walaupun terkadang nasihat yang ia berikan berbeda jauh dengan yang ia lakukan sendiri dalam kehidupannya.

**

Aku sudah sedikit tenang. Air mataku sudah tidak menetes seperti tadi lagi. Mami Sarah merangkulku dan mengajakku duduk di atas kasur . Ia memberiku segelas air putih yang memang telah ia siapkan untuk diriku sejak tadi.

“Minum dulu Mir..” ujarnya.

Kuambil gelas yang berisi air putih dari genggamannya. Kuminum perlahan. Aku masih terdiam, aku masih syok dengan kejadian tadi. Mami Sarah seperti mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Dia memang telah mengetahui segalanya tentang aku. Termasuk masa laluku.

“Itu yang namanya Bayu Mir?” Mami Sarah bertanya padaku.

“Iya mi..” jawabku singkat.

“Ya sudah. Kamu sekarang pulang saja. Istirahat Mir. Tenangin pikiranmu dulu. Nanti kamu sakit lagi. Mau mami anter gak?”

“Gak usah mi, aku pulang sendiri aja. Makasi ya mi..” Kupeluk tubuh mami Sarah..

Mami Sarah memang bijaksana. Dia memang seorang mucikari, namun pada saat-saat seperti ini, dia menjadi sosok ibu bagiku. Dia sungguh perhatian padaku. Dan itu tulus, aku bisa melihat dari matanya. Aku berjalan meninggalkan gang kupu-kupu menuju ke tempat parkir stasiun tugu. Tempatku menitipkan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, pikiranku terganggu oleh sosok Bayu. Sesampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Aku tidak menyempatkan diri untuk menengok Njas seperti biasanya. Maaf Njas, untuk malam ini,  Ibu tidak memberikan kecupan selamat tidur di keningmu. Ibu takut air mata ibu akan menetes di pipimu, dan membuatmu terbangun.

**

Kurebahkan tubuhku di atas kasur, tetapi bukan untuk tidur. Padahal aku sangat ingin tertidur dan melupakan kejadian malam ini. Tapi pikiranku menolaknya. Bayu, sudah hampir 7 tahun aku tak melihatnya. Bayu adalah mantan pacarku. Pria yang sangat kucintai. Dia adalah anak seorang anggota DPR. Anak dari keluarga kaya. Kami berpacaran selama hampir 2 tahun. Orang tuanya tidak setuju dengan hubungan yang kami jalani. Seperti kisah sinetron klasik. Tapi memang seperti itulah keadaannya. Aku hanyalah seorang anak penjual nasi pecel keliling yang sangat miskin. Berbeda dengan keluarganya, yang merupakan keluarga terpandang. Ayah Bayu adalah seorang pengusaha pertambangan dan merupakan seorang tokoh politik nasional yang populer. Sudah tiga periode menjadi anggota DPR, hingga saat ini.

Aku dan Bayu memang menjalani hubungan secara “backstreet”. Pernah suatu saat Bayu mengajakku kerumahnya untuk di kenalkan dengan orang tuanya. Tetapi sambutan orang tuanya kepadaku sungguh tidak seperti yang aku harapkan. Ibunya mengusirku dan memaki-maki aku. Aku di sebutnya perempuan murahan, perempuan miskin yang tidak tahu diri. Aku hanya perempuan yang ingin menguasai harta keluarga mereka. Aku tak pantas untuk Bayu, anak satu-satunya dan merupakan pewaris tunggal dari kekayaan orang tuanya. Aku di usir dengan kasar, dan sejak saat itu, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana. Benar-benar mirip kisah sinetron.

Aku sungguh terpukul dengan perkataan orang tua Bayu. Aku sama sekali tidak mengincar harta Bayu. Aku tulus mencintainya. Bayu-pun tahu hal tersebut. Setelah kejadian itu, aku meminta Bayu untuk mengakhiri hubungan kami. Benar kata orang tua Bayu. Aku tak pantas untuknya. Aku hanya perempuan miskin anak seorang penjual nasi pecel keliling. Aku hanya orang kampung yang hina. Tetapi pada saat itu, Bayu meyakinkanku bahwa suatu saat orang tuanya akan menerimaku. Bayu tak ingin berpisah denganku, dia sangat mencintaiku. Dan sejak saat itulah kami menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi. Sungguh sangat menyakitkan. Apalagi orang tua Bayu menyewa orang untuk mengawasiku. Aku seperti seorang penjahat yang segala gerak-geriknya di awasi. Tapi kecintaanku dan janji yang pernah di ucapkan Bayu bahwa ia tak akan meninggalkankulah yang membuatku bertahan. Sampai suatu saat, kejadian buruk itu menimpaku.

**

Ah, aku jadi teringat pristiwa busuk itu lagi. Pristiwa yang membuatku sempat membenci dan tidak menerima kehadiran Njas, buah hatiku. Malam itu, aku di mintai pertolongan oleh ibu untuk meminjam uang dari yu’ Sinem. Salah seorang teman ibuku. Ibu saat itu sedang sakit, dan tidak mempunyai uang sepeserpun untuk membeli obat. Yu’ Sinem adalah orang yang sangat baik. Ia selalu memberikan ibuku pinjaman apabila ibuku sedang membutuhkan uang. Bahkan ia tak pernah menagihnya sama sekali. Tetapi ketika telah mempunyai uang, ibuku selalu membayarnya.

“Utang itu harus di bayar, jangan di bawa sampai mati..” Kata ibuku suatu saat.

Akupun segera pergi menuju rumah Yu’ Sinem dengan menggunakan sepeda tua, satu-satunya harta peninggalan dari ayahku. Rumah Yu’ Sinem dengan rumahku cukup jauh jaraknya. Beda kampung. Kampungku berada persis di belakang kompleks perumahan mewah tempat Bayu dan keluarganya tinggal. Jalan yang di lalui pun sangat sepi dan rawan, apalagi ketika malam. Ibuku sebenarnya menyuruhku untuk meminta tolong kang Juned untuk mengantarkanku. Kang Juned adalah tetangga kami, seorang tukang ojek. Tetapi aku menolaknya, aku tak ingin merepotkan orang lain. Dan berangkatlah aku menuju rumah Yu’ Sinem dengan mengendarai sepeda. Sepanjang perjalanan, yang terlihat hanya bentangan sawah. Sangat jarang kendaraan melewati jalan ini, bisa di hitung dengan jari saja. Kukayuh sepedaku dengan kencang, berharap aku segera sampai kerumah Yu’ Sinem. Apalagi pada waktu itu, perasaanku sungguh tidak enak. Ada sebuah mobil yang sepertinya seperti sedang mengikutiku dari belakang. Semakin kencang ku kayuh sepedaku, semakin kencang pula mobil itu mendekatiku. Dan terjadilah peristiwa itu. Mobil itu menyerempetku hingga aku terjatuh. Setelah itu, turunlah 6 orang pria berbadan kekar dan berambut cepak. Mereka memukul wajahku. Aku di angkut ke dalam mobil mereka. Mulutku di sumpal dengan kain dan tanganku diikat. Aku sungguh tak berdaya ketika mereka melucuti satu persatu pakaian yang menempel di tubuhku. Aku mencoba berontak, namun mereka kembali menghajarku dengan keras. Mataku di tutup agar aku tak melihat wajah mereka. Mereka lalu menggagahiku satu persatu secara bergantian. Sakit sekali rasanya, aku merasa ada darah yang mengalir dari kemaluanku. Perawan yang aku jaga selama ini harus terenggut paksa oleh 6 orang pria biadab.Setelah puas melampiaskan nafsu bejad mereka, aku lalu di keluarkan dari mobil begitu saja. Badanku sungguh lemas tak berdaya. Akupun tak sadarkan diri.

**

Ketika sadar, aku sudah berada di sebuah rumah sakit. Entah siapa yang mengantarku malam itu. Aku sungguh ingin bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih, atau mungkin mencacinya. Karena pada saat itu, aku lebih memilih untuk mati saja. Kabar tentang pristiwa kelam itu sangat cepat menyebar di kampungkudan terdengar oleh Bayu dan keluarganya. Keluarga Bayu pun mempunyai alasan baru untuk semakin menghinaku. Mereka semakin bersemangat untuk memisahkan Bayu dariku. Mereka sepertinya sudah tahu bahwa aku dan Bayu masih sering bertemu secara sembunyi-sembunyi. Mungkin mereka mengetahui hal tersebut dari orang-orang yang mereka sewa untuk mengawasiku. Sejak kejadian itu, Bayu tak pernah menemuiku lagi. Ia mengingkari janjinya untuk tidak meninggalkanku apapun yang terjadi. Aku menjadi depresi dan terluka. Begitu pula ibuku. Ia sungguh tak tahan dengan omongan para tetangga di kampungku yang sering mencibir kami. Ibu-pun memutuskan untuk pindah dari kampung tersebut. Ibu menjual rumah kecil harta warisan dari orang tua ibuku. Uang hasil menjual rumah sebagian digunakan untuk membayar rumah sakit. Sebagian lagi di tabung dan di gunakan untuk sewa rumah kontrakan kami yang baru, tempat tinggal kami sekarang. Rumah kontrakan kami yang sekarang, jaraknya sangat jauh dari kampungku dulu. Ibu memang sengaja memilih daerah yang jauh dari tempat tinggal kami yang dulu. Sempat terpikir untuk meninggalkan Jogjakarta, tapi Ibu tak tahu hendak kemana. Tidak ada keluarga yang sudi menampung kami.

**

Dan disinilah aku sekarang, dan beginilah aku sekarang. Tujuh tahun sudah Bayu, kemana saja kamu? Disaat aku butuh seseorang untuk melindungiku, di saat aku membutuhkan seseorang untuk mencintaiku, kamu menghilang begitu saja. Kamu mengingkari janjimu Bayu, kamu meninggalkanku justru di saat aku benar-benar membutuhkanmu. Dan sekarang kamu kembali, begitu mudah kata maaf keluar dari mulutmu. Begitu mudahnya kau buka pintu luka yang telah lama kututup rapat-rapat.

sebelumnye..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun