Salon ini memang sudah terkenal di seantero Jogja. Mulai dari pejabat, pegawai negeri, sampai mahasiswa pernah berkunjung ke salon ini. Namun aku lebih memilih melayani pejabat dan pria-pria paruh baya, disamping memiliki banyak uang, biasanya mereka tidak terlalu banyak maunya. Beda dengan mahasiswa, selain selalu menawar dan banyak maunya, aku juga merasa kasihan dengan mereka. Menggunakan sebagian uang makan-nya hanya untuk kenikmatan sesaat.
Pernah sekali waktu aku mendapatkan seorang pelanggan dari kalangan mahasiswa. Orangnya lumayan ganteng, berkulit putih dan terlihat glamor. Sebelum ke tahap berikutnya, biasanya aku melakukan pijatan kepada para pelanggan, karena memang, sesungguhnya pelayanan yang di tawarkan adalah pelayanan pijat. Selanjutnya, pintar-pintar kita untuk merayu pelanggan agar mau mengeluarkan uangnya lagi untuk pelayanan “plus-plus”.
Aku sendiri tak pandai memijat, bahkan tidak bisa memijat sama sekali. Sesungguhnya yang kulakukan itu bukanlah pijatan, melainkan sentuhan-sentuhan halus yang dapat membangkitkan syahwat para pria tersebut. Mulai dari punggung, pantat hingga selangkangan mereka. Bahkan tidak segan-segan aku menyentuh bagian paling sensitif dari tubuh pria, yaitu penisnya. Aku yakin sentuhan-sentuhan itu akan membuat mereka penasaran, sehingga menginginkan yang lebih daripada sekedar pijat.
Mahasiswa itu terlihat sangat menikmati pijatan lembut yang kuberikan. Sesekali, tangannya yang jahil ingin meraba payudaraku, yang memang sengaja agak ku tonjolkan. Tetapi segera kutepis tangannya.
“ Kalau untuk yang itu, ada biaya tambahannya mas..” Ujarku.
“ Kalau main berapa mba? ” Dengan muka penasaran, ia bertanya.
“ 300 ribu mas, sudah ama pijet..”
“ Wah kok mahal mba? Gak bisa kurang po? ” Dia coba menawar.
“ Gak bisa mas, emang segitu harganya. Kalau pijit saja cuma 50ribu mas…”
“ 250 ya mba? Duit saya pas-pasan nih..”
Wah, duit pas-pasan kok kesini, gumamku dalam hati. Tapi akhirnya aku mengalah juga, tak tega kulihat raut mukanya yang menahan hasrat.
Didit namanya. Seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta kenamaan di Jogja. Awalnya aku heran, mengapa orang seganteng dia datang ke tempat seperti ini, logikanya, dia pasti telah memiliki seorang pacar. Dan memang benar, dia telah memiliki seorang pacar, teman sekampusnya. Ketika ku tanyakan mengapa ia tetap datang ke tempat seperti ini, jawabannya sungguh klasik,
“ pacar saya goyangannya kurang hot mba…” aku tersenyum mendengarnya.
Tapi segera kutepis jauh-jauh simpatiku terhadap pria muda ini, yang kubutuhkan adalah uangnya, aku tak terlalu perduli dengan hal lainnya. Namun sejak saat itu, aku menjadi malas melayani pelanggan dari kalangan mahasiswa lagi.
**
Emak terlihat sangat girang, pemandangan yang memang biasa terlihat setiap akhir pekan. Apalagi pada tanggal muda seperti sekarang, dompetnya akan semakin tebal. Dia mendapat bagian 30% dari setiap tamu yang datang. Tapi itu khusus untuk pegawai freelance seperti aku, pegawai yang melayani pijat “plus-plus”. Untuk kapster biasa, emak menerapkan sistem gaji.
Rosalia Dewi, nama yang dia berikan untuk dirinya sendiri. Menurut cerita yang aku dengar, nama aslinya adalah Siti Rohimah. Tidak perlu aku sebutkan alasan mengapa ia mengganti namanya menjadi Rosalia Dewi. Tetapi kami disini memanggilnya dengan sebutan “emak”, di samping sudah agak tua, di salon ini dia memang berperan sebagai ibu dari kami semua. Kalau di tempat prostitusi yang berkelas, sebutannya mungkin mami.Sempat terlintas untuk memanggilnya mami, tapi ia tidak suka, panggil emak saja katanya.
Emak sering bercerita kepadaku, bahwa dulu, sewaktu ia muda, ia sangat di sukai oleh para lelaki hidung belang. Bahkan nona Ros, begitu julukannya dulu, sangat terkenal seantero Jogja. Tidak ada pria yang tidak kenal namanya. Dulu, masih menurut pengakuannya, wajahnya sungguh cantik, tubuhnya begitu indah. Tinggi semampai, proporsional dan montok. Dalam waktu semalam, dia bisa menghasilkan uang jutaan dari melayani para lelaki hidung belang. Duit sejuta pada masa itu sangatlah besar nilainya. Setiap malam, para lelaki hidung belang antri untuk menikmati kenikmatan yang di tawarkan oleh tubuhnya yang elok.
Aku tertunduk diam setiap mendengar dirinya menceritakan masa-masa jayanya dulu sebagai seorang wanita pemuas nafsu. Mengapa dia menceritakan hal itu dengan penuh semangat, sepertinya dia bangga karena dulu tubuhnya sangat ingin di nikmati oleh para lelaki hidung belang. Sangat berbeda jauh dengan diriku, sebisa mungkin aku harus menutup-nutupi pekerjaanku sekarang. Sungguh tak terbayangkan, apabila ibu dan anak-ku yang masih kecil mengetahui profesiku yang sebenarnya. Hati mereka pasti hancur, pun juga hatiku. Ah tapi biarlah, setiap orang memang berbeda-beda dalam menyikapi hidup.
Emak juga pernah cerita, bahwa dulu ia pernah berhenti bekerja sebagai perempuan pemuas nafsu. Hal itu dikarenakan kehadiran seorang pria yang mampu meluluhkan hatinya. Pria itu, dulunya adalah salah seorang pelanggan setia emak. Dalam sebulan, pria itu bisa memakai jasa emak sebanyak 5 kali. Emak jatuh cinta, lalu mau saja ketika pria itu mengajaknya menikah. Pria itu mengaku kepada emak, bahwa dirinya masih bujangan dan berprofesi sebagai seorang pengusaha di bidang tekstil. Pria yang menurut cerita emak berasal dari daerah Kalimantan itu, adalah tipe pria yang di idam-idamkan oleh kebanyakan perempuan. Berparas cakap dan berkulit putih. Apalagi ia mengaku sebagai seorang pengusaha, tentu masa depan akan terjamin.
Mereka-pun akhirnya melangsungkan pernikahan di bawah tangan. Pernikahan siri. Sebenarnya emak menginginkan pernikahan secara resmi, tapi pria itu menjanjikan, suatu saat ia akan menikahi emak secara resmi. Emak-pun percaya. Mereka lalu mengontrak sebuah rumah di pinggiran kota. Sebulan berjalan, pernikahan mereka berlangsung biasa saja, sama seperti pernikahan-pernikahan yang lainnya. Emak berhenti total dari pekerjaannya sebagai seorang perempuan pemuas nafsu. Saat itu, ia hanya fokus untuk memuaskan satu orang pria saja, pria yang telah menjadi suaminya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, emak berjualan baju. Modal ia dapatkan dari tabungannya saat masih menjadi perempuan pemuas nafsu. Bulan berikutnya, pria itu berkata kepada emak, bahwa ia akan pulang ke daerahnya di Kalimantan. Pria itu berkata bahwa ia hanya pergi seminggu saja, ada urusan bisnis, setelah itu ia akan kembali lagi ke Jogja. Seminggu berlalu, sebulan berlalu, setahun berlalu dan pria itu tidak pernah kembali Tiada yang dapat emak lakukan selain menangis. Ia tak tahu kemana hendak mencari suaminya tersebut. Sampai suatu saat, emak iseng mengunjungi lokalisasi tempatnya dulu bekerja. Ketika ia datang ke tempat itu, teman-teman satu profesinya dulu melihatnya dengan sinis. Banyak diantara mereka yang saling berbisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan, pikir emak kala itu. Namun ada salah seorang temannya yang bernama Luna. Ia yang memberitahukan kepada emak, bahwa pria yang menjadi suaminya tersebut masih sering main ke tempat prostitusi itu. Dan dari cerita yang Luna dengar, pria itu berada di Jogja hanya untuk tugas dari kantornya di Kalimantan, bukan sebagai seorang pengusaha tekstil yang selama ini emak tahu. Di Kalimantan, pria itu telah memiliki seorang istri dan dua orang anak. Emak terjatuh, pria yang ia sayangi dan cintai , pria yang telah ia percaya selama ini ternyata telah membohonginya. Ia sudah tak percaya lagi dengan semua pria.
Dirinya pun kembali bergelut di dunia hitam, dunia yang sempat membesarkan namanya. Tapi hanya berlangsung selama 2 tahun. Ia sudah semakin tua, tubuhnya menggemuk dan tidak proporsional lagi. Kulitnya tidak semulus yang dulu. Meski telah beberapa kali operasi plastik, hal tersebut tidak mampu mengembalikan kecantikkannya seperti dulu. Tarifnya turun drastis, ia tak lagi di gilai para lelaki hidung belang. Tak ada lagi pria yang antri hanya untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Diapun berhenti, dia meminjam uang di rentenir dan mendirikan sebuah salon kecantikan, tempatku bekerja saat ini. Dan hingga saat ini, dia tidak pernah menikah lagi.
**
Begitulah emak, kisah hidupnya benar-benar memilukan. Pernah sekali waktu aku bertanya, mengapa ia masih saja mendirikan usaha yang tidak halal, mengapa tidak membangun sebuah usaha yang halal saja.
“Isoku Cuma ini Mir, aku gak iso yang lain…” begitulah jawaban yang aku terima.
Emak Ros, bagaimanapun dia, adalah orang yang berjasa bagiku. Aku masih teringat ketika pertama kali ia menemukanku di sebuah pasar. Dia yang mengajakku untuk bekerja di salonnya. Awalnya aku menolak, tapi karena aku sangat membutuhkan uang, aku-pun menerima tawarannya.
Sebuah masa lalu yang menyakitkan, tapi ia berhasil melaluinya. Lihatlah dirinya sekarang, sepanjang hari ia selalu tersenyum. Wajahnya berbinar-binar, pundi-pundi uang telah menantinya. Sedangkan aku? Aku seperti robot yang terus-terusan di beri pelumas. Hanya libur ketika sedang menstruasi. Hari ini belum selesai, nanti malam, aku masih harus bekerja, bergelut dengan dosa. Demi impianku, demi ibu dan anakku.
sebelumnye..