Om Jerry tidak menempati janjinya untuk kembali datang. Ia meneleponku dan mengatakan bahwa kesibukkan menghalanginya untuk datang menjemputku dan mengajakku makan seperti biasa. Aku sedikit kecewa, tapi aku tak terlalu memikirkannya. Kejadian yang menimpa Emak sedikit banyak memberiku pelajaran. Aku menjadi bersikap hati-hati terhadap para lelaki yang mencoba merayuku, dan berkata cinta padaku. Om Jerry tentu berbeda dengan pria asal Kalimantan yang telah meninggalkan emak begitu saja. Aku yakin om Jerry adalah seorang yang jujur dan tulus. Atau mungkin saja aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya, sehingga membuatku begitu yakin terhadapnya.
Jarum jam di dinding kamar kecil, tempat aku melayani nafsu pria-pria busuk itu sudah menuju ke angka delapan. Itu artinya aku harus bergegas. Kulangkahkan kakiku menuju lantai atas, tempat menjemur pakaian. Kuambil sebuah handuk berwarna merah muda dengan motif hati. Handuk ini juga merupakan pemberian dari om Jerry. Aku suka menggunakan handuk ini, kainnya sungguh lembut dan tebal. Bukan handuk murahan pastinya.
Sebelum meninggalkan salon, aku selalu mandi agar nanti di tempat kerjaku selanjutnya, badanku kembali segar dan wangi. Aku termasuk tipe perempuan yang suka berlama-lama di kamar mandi, bagiku, mandi adalah sebuah ritual penting. Dimana aku dapat membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel di tubuhku. Daki-daki dari bermacam-macam pria hidung belang yang keringatnya telah bercampur dengan keringatku. Apalagi tadi, ada salah seorang pelanggan yang mungkin sangat terobsesi dengan film porno. Dia menumpahkan spermanya di atas dadaku. Aku sungguh jijik, tapi apa daya, dia telah membayarku dan dia bebas melakukan apapun yang dia mau.
Kugosok bagian dadaku berulang kali dengan sabun, kemudian kubilas dengan air. Jari-jari lentikku bermain-main di antara lekukkan payudaraku yang masih terlihat kencang. Bagian tubuhku yang paling diminati oleh pria-pria hidung belang. Putingku terasa sedikit perih ketika aliran air jatuh di atasnya, sepertinya salah seorang pelangganku tadi menggigit puting payudaraku yang mungil ini. Sialan, orang itu benar-benar maniak.
**
Selesai mandi, kulanjutkan ritual mempercantik diri dengan memberi riasan pada wajahku. Aku memberi warna merah pada bibir tipisku. Kuganti pakaianku dengan yang lebih seksi. Kaos ketat berwarna putih, dengan bra hitam di dalamnya. Sengaja kuperlihatkan belahan dada dan pusarku, agar semakin menggoda nantinya. Kaos ketat berwarna putih itu kupadukan dengan rok mini berwarna hitam dan celana dalam yang tipis. Sempurna sudah aku menjadi badut malam ini. Aku bahkan menggunakan farfum yang wanginya dapat tercium dari jarak 5 meter.
Wajah emak masih ceria, uang yang ia dapat hari ini sangat banyak. Dia sedikit acuh ketika aku pamit untuk pulang. Tangannya yang tak lagi halus terlihat lihai menghitung keuntungan hari ini. Aku tersenyum melihatnya. Wajahnya sungguh berbeda jika dibandingkan dengan hari-hari biasa, ketika salon sedang sepi. Kunyalakan sepeda motor mio berwarna merah muda. Kendaraan yang menemaniku sehari-hari. Kuberi pak Parjo uang secukupnya. Ia menolaknya, tetapi aku memaksa. Ia-pun menerimanya sambil tersenyum.
“Makasi mba, semoga rejekinya makin lancar..” Pak Parjo memberiku do’a.
“Amin, sama-sama pak. Bapak juga ya, semoga rejekinya lancar..” Jawabku.
Sungguh baik orang tua ini, batinku dalam hati. Akupun melaju menuju pusat keramaian kota Jogja. Sepanjang jalan aku mengalami kemacetan, pemandangan yang lazim terlihat ketika malam minggu tiba. Muda-mudi yang kasmaran, anak-anak ABG yang sedang mencari jati dirinya, mahasiswa-mahasiswa kaya dengan dandanan mentereng dan mobil yang mewah, rombongan keluarga yang sedang menikmati liburan akhir pekan, semua berkumpul jadi satu di jalan raya. Banyak pria yang memperhatikanku. Mata mereka tertuju pada payudara dan rok mini-ku yang sesekali terbuka karena tertiup angin sehingga celana dalamku terlihat. Pernah sekali waktu, ada kejadian yang menggelikan. Seorang bapak-bapak tua terjatuh dan menabrak tiang lampu yang terdapat pada trotoar pembatas jalan. Posisi bapak tersebut persis di sebelahku. Sebelumnya, ia memang terus-terusan memperhatikanku, matanya terus tertuju padaku. Mungkin konsentrasinya menjadi hilang, dan secara tidak sadar, sepeda motornya berbelok arah dan menabrak tiang lampu tersebut. Aku selalu tersenyum setiap kali mengingat kejadian tersebut. Aku sedikit merasa berdosa.
**
Perjalananku dari salon menuju tempat kerjaku selanjutnya memakan waktu sekitar 20 menit. Cukup lama, biasanya hanya membutuhkan 10 menit saja. Kuparkir sepeda motorku di tempat parkir stasiun Tugu Yogyakarta yang terkenal itu. Lalu aku berjalan menuju sebuah gang sempit. Gang berlambang kupu-kupu. Disini-lah aku bekerja setiap malam. Disini jua-lah emak dulu menjajakan tubuhnya pada pria-pria hidung belang. Gang berlambang kupu-kupu ini adalah sebuah kawasan lokalisasi prostitusi yang sangat terkenal di Yogyakarta, bahkan di Indonesia. Sarkem namanya. Singkatan dari pasar kembang, nama jalan tempat gang ini berada. Lokasi gang ini tepat di belakang jalan Malioboro yang tersohor itu. Maka tidak heran, setiap akhir pekan, selain Malioboro, Sarkem merupakan salah satu tujuan wisata di kota Jogja. Gang sempit ini sebenarnya adalah pemukiman warga, namun setiap malam rumah-rumah kecil tersebut di sulap menjadi losmen-losmen yang menyediakan penjaja tubuh seperti aku ini. Aku tidak pernah tahu pasti sejak kapan daerah ini berubah menjadi daerah lokalisasi prostitusi. Gang ini berbentuk seperti labirin. Banyak terdapat belokan-belokan kecil yang saling terhubung satu dan lainnya. Di sepanjang jalan, banyak perempuan-perempuan seperti aku berdiri atau sekedar duduk berjajar dan kemudian menggoda setiap pria yang lewat. Mulai dari usia sekolahan, hingga ibu-ibu tua dan keriput ada disini.
Tarif perempuan penjaja tubuh disini bermacam-macam, tergantung usia, wajah dan tubuh mereka masing-masing. Tarif berkisar antara 50 ribu hingga 120 ribu rupiah sekali main. Itu sudah termasuk menyewa kamar losmen yang memang sudah disediakan. Sistimnya mirip dengan salon, namun pemilik losmen hanya mendapatkan bagian 25% setiap transaksi. Berbeda dengan emak Ros yang meminta bagian sebesar 30%. Tarifku adalah 120 ribu untuk satu kali main. Tarif termahal di tempat ini, walaupun sangat murah apabila di bandingkan dengan tarifku di salon emak Ros. Aku adalah primadona tempat ini. Aku adalah perempuan yang paling di minati. Mungkin karena bentuk tubuhku yang proporsional dan di imbangi dengan parasku yang cantik. Tetapi tidak hanya itu, ada yang bilang kalau goyangan-ku di ranjang-lah yang membuat mereka ketagihan. Aku tak begitu peduli dengan semua itu. Yang aku butuhkan hanyalah uang mereka, dan aku memberikan kenikmatan kepada mereka. Pria hidung belang yang berkunjung ke lokalisasi ini jauh lebih banyak di bandingkan dengan salon. Jenisnya-pun lebih beragam. Kalau di salon, pelanggan yang datang biasanya berasal dari kalangan menengah ke atas. Mahasiswa kaya, pejabat, anggota DPRD dan lain-lain. Di Sarkem, pelanggan yang datang lebih banyak berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mahasiswa kere, anak-anak ABG, Satpam dan lain-lain. Tetapi setiap malam minggu dan libur panjang, lokalisasi ini di penuhi pelancong dari luar kota yang kebetulan berlibur ke Malioboro dan mampir ke Sarkem. Untuk itu-lah, setiap malam minggu, aku berdandan jauh lebih seksi di banding malam-malam biasanya. Tarifku-pun naik, setiap malam minggu, tarifku menjadi 150 ribu sekali main.
**
“Wah, kok baru dateng Mir? Udah banyak yang nunggu kamu tuh. Udah banyak yang ngantri..” Mami Sarah menyambutku dengan pertanyaan yang hari ini sudah dua kali kudengar.
“Macet mi..” Jawabku singkat.
Mami Sarah adalah pemilik Losmen Cinta, losmen yang paling terkenal di lokalisasi ini. Losmen yang terkenal dengan perempuan-perempuan muda yang cantik dan seksi. Tarif perempuan-perempuan penjaja tubuh di losmen ini lebih mahal di bandingkan losmen-losmen lainnya yang terdapat di gang sempit, kumuh dan bau ini. Tetapi losmen ini selalu ramai di kunjungi. Dan aku-lah primadona losmen ini.
Benar kata mami Sarah, tak berapa lama, sudah ada pelanggan yang mendekatiku. Kalau di lihat dari gayanya berpakaian, dia adalah seorang mahasiswa, pengunjung terbanyak lokalisasi ini. Aku pura-pura acuh tak acuh. Berbeda dengan perempuan lain penghuni lokalisasi ini, aku tak pernah menggoda pria yang lalu lalang di hadapanku. Aku tak perlu melakukan itu semua, mereka-lah yang mendatangiku.
“Berapa-an mba?..” Ia menanyakan hargaku.
“150 ribu mas, seperti biasa..” Jawabku.
Ia mengangguk, tanda setuju. Tidak menawar sama sekali. Mungkin dia memang telah menantiku, atau sudah terbius dengan kemolekkan tubuhku.
Aku menggandeng tangannya dengan mesra. Kuajak ia menuju kamar tempat aku “praktek”. Kulepas pakaianku satu-persatu hingga tak ada sehelai benang-pun yang menempel di tubuhku. Lalu, kami melakukan hubungan intim.
Lima menit berlalu. Kembali kubersihkan bagian paling sensitif dari tubuhku. Kurapikan bajuku, dan aku menunggu, menunggu malam berlalu…
sebelumnye..