Bersyukur mungkin menjadi hal yang paling sering saya lupakan. Saya sering lupa mengucap syukur ketika terbangun di pagi hari, saya masih bernafas, kedua mata saya masih berfungsi dengan normal, telinga saya masih jelas mendengar kicauan burung gereja yang sering bermain di atap rumah. Tangan saya masih di tempatnya, hidung, badan, masih utuh semua. Kaki masih terpasang dengan rapih, tidak ada yang kurang. Bicara tentang kaki, baru seminggu yang lalu saya menemani ayah saya operasi. Kakinya bermasalah, urat tendon kaki yang sebelah kiri putus. Alhamdulillah operasinya lancar, tetapi untuk saat ini, ayah saya berjalan dengan di bantu tongkat. Lihat, saya yang masih punya kaki yang normal, terus-terusan mengeluh hanya karena udara yang panas. Padahal saya masih bisa berlari, masih bisa berjalan, masih bisa olahraga, oh nikmatnya.
Saya fikir, bersyukur bisa menjadi obat yang mujarab buat saya. Karena disaat saya bersyukur, hati saya langsung menjadi tenteram, nyaman, tenang. Bersyukur mampu meredam emosi jiwa yang terkadang hal tersebutlah yang membuat raga saya menjadi sakit. Tanpa sadar, secara tidak langsung, marah-marah dan terlalu banyak mengeluh membuat otak saya mengerdil. Saya jadi bodoh. Tetapi, disaat saya menerima segala sesuatu dengan ikhlas, jiwa saya menjadi tenang. Tentunya berimbas pada raga yang sehat. Sebuah korelasi yang tak terbantahkan. Memang sulit, sangat sulit. Manusiawi kalau manusia mengeluh, marah dan sebagainya. Tinggal bagaimana cara kita mengendalikannya.
Ah, saya masih malu dengan Tuhan. Ternyata, hidup dengan bersyukur itu memang nikmat. Sama nikmatnya dengan es klapa muda yang saya minum saat ini. Segar...
Selamat bersyukur....