Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kata Mereka, Pak Harto Lebih Baik

3 Maret 2010   03:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:38 215 0
Tadi malam, saya "nongkrong" di salah satu warung kopi langganan saya. Tempat yang sangat menyenangkan, karena disini kita tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Bebas membicarakan apa saja. Seperti biasa, saya makan nasi "kucing", nasi oseng-oseng tempe dan sambal teri yang isinya hanya segenggam, khas Yogyakarta. Malam itu warung ini lebih rame dari biasanya, mulai dari tukang becak, satpam hingga mahasiswa kelas menengah kebawah seperti saya. Rupa-rupanya, mereka sedang membahas tentang sidang paripurna DPR yang berlangsung siang harinya.

Mereka-mereka ini adalah masyarakat kelas bawah, mayoritas di negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang jujur,yang tidak neko-neko. Walaupun mereka mungkin kurang mengerti pokok permasalahan dari kasus bail out century, tetapi mereka ternyata mengikuti perkembangan kasus tersebut. Sebagian dari mereka terkesan tidak peduli dengan kasus century. "Halah mas, itu urusane wong sugih." Tetapi ketika saya mengatakan bahwa, uang yang di gunakan untuk membiayai rapat pansus tersebut adalah uang rakyat termasuk uang mereka, mereka langsung marah. Apalagi ketika saya sebutkan nominalnya, yang mencapai milliaran.

Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan DPR saat ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kelangsungan hidup mereka. Mereka sudah muak dengan permainan politik partai-partai saat ini. "Dulu waktu kampanye janji terus mas, tapi ndak ada buktinya. Katanya mau ngasi modal usaha, tapi bohong semua. Udah kepilih malah lupa, ngapusi", kata pak Sutris, seorang tukang becak. Saya menanyakan, bagaimana pendapat mereka tentang kerisuhan dan kekacauan yang terjadi pada rapat paripurna DPR siang tadi. "Wes ben mas, biar saling tonjok-tonjokan sekalian, anggota DPR kok koyo bocah cilik.." (biarkan saja, biar saling pukul-pukulan, anggota DPR kok seperti anak kecil) kata mereka.

Saya pun tertawa mendengarnya. Yang menarik, salah seorang dari mereka menggunakan baju salah satu partai politik. "Loh , ini bapak kan pake kaos partai, kok ga percaya dengan partai politik?" saya bertanya. Lalu ia mengatakan bahwa dirumahnya masih banyak lagi kaos-kaos dari partai lain. Ia mengaku, punya 9 kaos dari 9 partai yang berbeda. "Wong di kasi mas, ya saya terima.." (dikasi mas, ya saya terima). Kami pun tertawa.

Lalu mereka mengatakan, kondisi bangsa kita saat ini sungguh sangat hancur. Demonstrasi di mana-mana, kerusuhan, bencana alam, perang saudara. Mereka bilang, merindukan Pak Harto. Pemimpin-pemimpin setelah pak harto, ngakunya mementingkan rakyat, tetapi bohong semua. "Jaman Pak Harto yo penak..", kata mereka. Lalu saya menjelaskan, jaman Pak Harto dulu, kita banyak larangannya, tidak bebas mengeluarkan pendapat, tidak ada demokrasi dan Pak Harto adalah seorang otoriter. Lalu mereka mengatakan bahwa demokrasi itu tidak penting kalau kesejahtraan masyarakat justru menurun. Moral masyarakat makin hancur dan bobrok, korupsi juga tidak pernah hilang. Jaman Pak Harto, kita damai, tenang. Petani makmur, orang-orang kecil di perhatiin. Kalau sekarang, orang-orang kecil sering diinjek-injek, sering di bodoh-bodohi orang partai.

Saya cuma terdiam, tidak berani membantah, apalagi menyalahkan. Sesungguhnya apa yang mereka katakan ada benarnya. Mereka tidak mempunyai kepentingan apa-apa atas kondisi politik Indonesia saat ini. Bagi mereka, yang penting tidak kelaparan, hidup tenang, damai dan sejahtera.
Kata mereka, Pak Harto lebih baik...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun