Selain kasus-kasus penculikan anak gadis di bawah umur, ada sebuah kasus yang masih hangat, yaitu tentang penjualan perempuan atau gadis-gadis di bawah umur melalui facebook. Atau mungkin lebih pantas kita sebut sebagai ” pelacuran ” atau ” prostitusi ” online yang kebetulan saja media yang di pergunakan adalah facebook. Kasus yang terjadi di Surabaya itu memang sangat memperihatinkan. Seharusnya kasus-kasus seperti inilah yang menjadi perhatian pemerintah, bukan lalu membuat RUU yang menjadi polemik di masyarakat, seperti RUU rpm konten maupun RUU nikah siri. Sungguh sangat tidak masuk di akal, ketika pemerintah berusaha “mengharamkan” pernikahan siri yang merupakan perbuatan yang sebenarnya tidak haram menurut Agama Islam, namun lalu berusaha melegalkan prostitusi dengan memungut pajak. Ironi memang, tetapi dalam kesempatan ini, saya tidak akan membahas tentang permasalahan tersebut.
Kasus yang terjadi di Surabaya bukan merupakan hal yang baru. Terutama bagi masyarakat Kota Jogja. Mengapa saya berkata demikian? Karena jauh sebelum adanya facebook, kasus yang terjadi di Surabaya tersebut sudah menjadi hal yang biasa terjadi di kota Jogja. Kota Jogja memang mempunyai tempat lokalisasi yang ” resmi ” dan terkenal, yaitu sarkem. Sarkem sesungguhnya merupakan singkatan dari jalan pasar kembang, jalan yang terletak di sebelah utara Jalan Malioboro. Lokalisasi ini merupakan sebuah kompleks perkampungan warga yang di alih fungsikan menjadi losmen-losmen yang berjejer. Lokalisasi ini terletak pada sebuah gang sempit dan berliku-liku, seperti labirin. Sangat kotor dan kumuh. Maka sangat wajar, apabila tarif dari para penjaja seks di sini bisa di bilang murah meriah :p.
Tetapi jangan salah, Sarkem hanya merupakan bagian terkecil dari besar dan maraknya prostitusi terselubung di Kota Jogja. Sebut saja Salon plus-plus. Di sepanjang jalan ringroad utara, dari arah bandara, dapat kita jumpai salon-salon yang menawarkan jasa pemijatan. Tetapi sesungguhnya, salon tersebut bukan melayani pemijatan yang sebenarnya. Salon tersebut juga menyediakan jasa “plus”, sama seperti ketika kita berada di Sarkem. Namun biasanya, tarif untuk penjaja seks di salon lebih mahal apabila di bandingkan dengan lokalisasi Sarkem. Kalau di sarkem tarifnya berkisar antara 70-100 ribu, sedangkan di salon plus tarifnya berkisar antara 100-200 ribu. Salon-salon tersebut menyediakan kamar-kamar khusus. Memang terlihat sangat rapi, karena dari luar hanya terlihat seperti sebuah salon kecantikan biasa.
Selain salon, prostitusi terslubung yang terjadi di Kota Jogja juga biasanya menggunakan iklan pada surat kabar lokal di Jogja. Biasanya terdapat pada iklan pengobatan. Dalam iklan tersebut, mereka menjual jasa pemijitan. Tetapi coba saja anda hubungi nomor telponnya, dan lalu tanyakan berapa tarifnya. Sangat mahal, karena memang, sesungguhnya bukan jasa pemijitan yang di tawarkan, namun jasa “plus” yang tentunya menggiurkan :-p. Prostitusi jenis ini ada dua macam, ada yang bisa di tempat (menyediakan kamar) dan ada yang khusus di panggil (kita menyewa kamar hotel). Tarifnya beragam, mulai dari 200 ribu short time, sampai 400 ribu. Harga di luar tarif menyewa kamar hotel.
Dan yang masih menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat, yaitu melalui media Internet. Jauh sebelum adanya facebook, di Jogja sendiri sudah sangat biasa terjadi transaksi seks melalui media internet. Biasanya para penjaja seks atau bahkan mungkin mami atau germonya chating melalui MiRC, dengan nick yang bermacam-macam sehingga kita akan dengan mudah menemukannya. Lalu ketika ngobrol, mereka biasanya memberikan email friendster atau facebook untuk memperlihatkan poto-poto mereka. Mereka memberikan nomor telepon untuk kemudian kita hubungi. Tarifnya beragam, mulai 200-500 ribu short time tergantung negosiasi diluar biaya penyewaan kamar hotel.
Tetapi akhir-akhir ini, yang menjadi trend adalah seks di warnet. Memang prostitusi jenis ini tidak melayani hubungan badan, mereka biasanya hanya mau melayani oral seks, seperti maaf, menghisap kelamin pria. Prostitusi jenis ini biasanya di lakukan di sebuah warnet, dimana warnet tersebut mempunyai boks yang tinggi dan tertutup. Warnet tersebut terletak di kawasan ramai mahasiswa. Teman saya yang bekerja pada warnet tersebut mengatakan bahwa, pemilik warnet telah membayar sejumlah “uang keamanan” kepada seorang aparat TNI untuk menjamin terhindarnya warnet tersebut dari operasi-operasi yang di lakukan olah institusi yang berwenang. Jadi warnet tersebut merupakan tempat yang benar-benar aman untuk melakukan hal-hal yang berbau prostitusi.
Selain hal-hal tersebut diatas, di Jogja mungkin masih banyak lagi cara-cara yang di pergunakan oleh para pengusaha “esek-esek” untuk memasarkan “daganyannya” kepada konsumen. Inilah realita yang sedang kita hadapi bersama. Baik dan buruk, itu kembali kepada diri kita masing-masing. Atau mungkin, anda mau mencobanya??
BIG RESPECT!!!