Oleh: Try Gunawan Zebua
Gunungsitoli, Sabtu, 29 April 2023
Dalam kehidupan kita sehari-hari, di sekeliling kita dan kita dengar suatu kata, yaitu: kaku, baku dan pasti. Tiga kata tersebut pada intinya bisa disamakan, maupun juga bisa dibedakan. Dibedakan karena kaku kadang lebih diarahkan kepada sesuatu hal berupa ngomong dan sistem yang tidak dapat lagi di otak-atik. Kata pasti lebih digunakan untuk ilmu matematika dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jika pasti, harus ada bukti dan diikat, terikat atau mengikatkan.
Baku, lebih diarahkan seperti sebuah es yang adalah beku. Pada intinya baku adalah tidak ada kemungkinan B, C, D, dan lain-lain sebagainya, melainkan hanya A saja. Itu dalam konteks yang seolah-olah beda, padahal seharusnya bisa sama. Kaku, baku dan pasti sama-sama dalam hal tidak ada kemungkinan beda atau tidak ada alternatif pilihan yang lain. Jika ya, maka ya saja, tetapi jika tidak, maka tidak saja. Ya atau tidak, bukan ya dan tidak, apalagi ada kemungkinan selain ya atau tidak. Kalau ya, ya saja, kalau tidak, sekaligus tidak saja. Jangan suam-suam kuku, apalagi masih bingung dan ragu.
Kenapa bisa ada yang disebut sebagai kaku, baku dan pasti? Itu karena ada pembatasan. Jika dibatasi ayam misalnya adalah kaki dua, maka jika ada ayam kaki tiga maka bukan ayam. Tapi, apakah mungkin ada ayam kaki tiga? Ya, mungkin saja jika tersesat, disesatkan atau bahasa lainnya yang lebih halus adalah kelainan genetika. Seolah-olah halus, padahal semestinya adalah kasar.
Karena dibatasi seperti itulah sehingga tidak mungkin ada yang lain dan hanya ada satu hal yang akan terjadi, sehingga tidak heran akan muncullah istilah kaku, baku dan pasti. Apakah batasan itu perlu? Kenapa? Perlu supaya terarah atau terfokus. Lantas, apakah harus itu dan mesti kaku? Kenapa? Tidak juga, karena harus fleksibel, dimana harus dewasa dan bijaksana, dalam artian tahu maksud dan tujuan sebenarnya. Sehingga jika dibilang ini dan itu salah, atau malah ini dan itu adalah suatu kebenaran, maka yang bimbang dan ragu (suam-suam kuku) akan tersesat. Pada intinya tahu maksud dan tujuan sebenarnya.
Sebenarnya ini bukan ilmu pengetahuan dari saya, bukan hal yang baru, tetapi yang saya dapatkan dari Yesus. Saya hanya disuruh menuliskan dan saya pun tulis saja. Karena semua pengetahuan dari Yesus berasal. Bukan sok merendah, apalagi bukan sok suci, tapi itulah kenyataan yang benar dan sesungguh-sungguhnya. Kalau perlu dan dirasa perlu boleh diambil, apalagi dinikmati, tetapi jika tidak, silahkan dilewatkan bagai kecepatan angin yang hanya datang dan pergi sekejap saja, apalagi sesuka hati yang penting mendinginkan suasana.
Kembali lagi pada pembatasan, seperti apakah pembatasan itu? Kapan pembatasan dikatakan sesuai dengan maksud dan tujuan sebenarnya?
Misalnya dalam hal darah, dimana darah adalah kehidupan yang membuat orang hidup, tapi tidak bisa hidup selamanya karena Yesus lah sebenarnya sang pemberi hidup itu sendiri, apalagi yang mengaturnya, serta yang diberikan kepercayaan menguasai bumi dan sekaligus surga. Darah disesatkan dan seolah-olah sesat, padahal seharusnya darah adalah kehidupan, bahkan orang yang kekurangan darah merah, memerlukan pendonor darah merah, tetapi sesuai dengan golongan darah atau rhesus juga katanya kalau tidak salah. Perjuangan seolah-olah sama dengan darah, sampai-sampai dikatakan perjuangan karena ada pertumpahan darah, maka darah dan perjuangan adalah satu hal yang sama, memang sama tapi seolah-olah menghilangkan makna sesungguhnya darah adalah kehidupan, tetapi sang pemberi kehidupan dan berkuasa atas hidup adalah Yesus.
Sampai-sampai, lagi-lagi tentang darah yaitu dilarang memakan hewan berdarah panas katanya. Seperti babi dan anjing, yang katanya darahnya panas, sehingga tidak bisa dimakan, padahal kita manusia juga memiliki darah. Darah panas sehingga tidak bisa makan babi dan anjing, karena darah itu jika dikaitkan dengan babi dan anjing adalah darah panas. Itu karena babi dan anjing katanya dan terlihat seolah-olah ganas sekali, terlihat dari suka menggonggong dan babi suka menyeruduk orang. Apakah itu semuanya benar? Tidak juga, toh ada anjing tidak menggonggong, kendatipun anjing yang suka menggonggong itu yang penting kita tidak terlihat takut, maka dia akan tenang sendiri dan tidak akan menerkam kita. Kecuali dan hanya kecuali, jika anjingnya kena rabies (anjing gila).
Sebenarnya anjing yang sesungguhnya galak dan membahayakan itu, tidak menggonggong, kalaupun menggongong hanya sebentar saja atau hanya sekali saja, langsung dia menerkam kita. Terlihat seperti suci atau kudus, dan terlihat seperti seolah-olah buruk, sehingga kita binggung suci atau buruk, karena dia sebenarnya termasuk suci karena dia bagian dari yang suci, tapi pada intinya dia bukan suci, melainkan buruk dan jahat, atau dengan kata lain adalah pendusta atau penyesat, dan penipu.
Anjing darah panas, karena panasnya bukan gonggongannya, melainkan dapat menaikkan darah bagi yang sedang mengalami kekurangan darah atau darah rendah. Itu sebenarnya arti darah panasnya, bukan menggingit dan membunuh manusia. Begitu juga babi yang katanya adalah darah panas, tetapi sebenarnya babi itu darahnya panas karena dia dapat menaikkan tekanan darah, tetapi itupun jika keseringan saja, bukan hanya satu cubitan daging langsung darah tinggi, tidak sama sekali. Apalagi sampai dikait-kaitkan lemak babi bahaya, apakah benar? Tidak juga, toh kita manusia juga punya lemak. Kenapa lemak hanya babi yang berbahaya, sedangkan kita manusia pun punya lemak juga toh. Kemudian ada lagi yang membakar, lemak itu bahaya, atau gendut dan gembul, atau luas sekali itu salah. Ya, memang salah toh, tapi bukan hanya gara-gara satu tetesan lemak dari babi langsung kita gemuk sekali. Tidak juga, hanya kalau lebih itu lah gemuk. Kurang pun juga tidak baik karena kita tidak ada energi, dimana lemak diolah menjadi energi. Kurang itu tidak baik, lebih apalagi tidak baik, melainkan yang baik adalah saat kondisi normal, sesuai dengan maksud dan tujuan sebenarnya.
Jadi pada intinya tidak ada salahnya makan babi dan anjing, bukan masalah mana yang benar apalagi salah, bukan itu sebenarnya masalahnya. Apalagi sampai-sampai dikatakan darah panas dan lemak, segala macam istilah lain. Tetapi pada intinya semua bisa di makan (daging) dan minum (air), Â tetapi pada kondisi yang baik, sesuai dengan maksud dan tujuan sebenarnya. Mana mungkin juga kita makan babi dan anjing masih hidup, nanti kita malah diseruduk dan diterkam, melainkan ya memang harus mati dulu dan dimasak dulu sampai matang.
Apalagi saking menyesatkan, ada lagi yang mengatakan karena ada cacing ini dan itu. Padahal di hewan lain yang makan sayur pun ada, apalagi di tubuh kita manusia pasti ada. Begitu juga bukan hanya di hewan saja ada, melainkan pada tumbuhan pun ada. Kok malah di kait-kaitkan cacing sebagai yang menakutkan, padahal ada cacing yang memakan tanah, tumbuhan, atau apapun yang kemudian dia keluarkan untuk menyuburkan tanah. Kok cacing yang jadi korban, kasihannya lah si cacing itu.
Apalagi dikaitkan sama si ular, yang sampai di logika kan tengok tuh ular gesit, lincah dan mematikan. Ya ampun, astaga, kok ular lagi di salahkan jadi korban si pendusta dan penyesat itu. Sampai-sampai tidak berani meminum darah ular karena katanya darah panas, padahal bermanfaat bagi yang berdarah rendah. Ada lagi sampai-sampai bisa tidak boleh digunakan, karena dari ular dan mematikan jika terkena. Padahal untuk menyembuhkan dan mengendalikan bisa, dapat kita gunakan bisa ular itu sendiri toh. Jadi, kenapa coba ular dan selalu ular saja yang disalahkan, bukan apa yang ada di baliknya itu. Bukan dilihat yang sebenarnya dan sesungguhnya benar. Bukan dilihat maksud dan tujuan sebenarnya, tetapi lagi dan lagi ular, ular, dan ular lah si pendosa dan pendusta itu. Padahal ular belum tentu tahu mana dosa dan bukan dosa loh.
Apalagi dan lagi-lagi disesatkan buah di tengah hutan, buah yang memberikan pengetahuan mana yang baik dan buruk disesatkan lagi. Seolah-olah jangan berada dan mengkonsumsi sesuatu yang ditengah, apalagi kalau sampai kita tahu mana yang benar dan salah, disesatkan lagi dan lagi hanya gara-gara si pendusta dan penyesat itu. Pada intinya bukan buah, apalagi buah ditengah, melainkan jika kita tahu suatu kebenaran, maka itulah yang salah itu. Kita tahu mana yang baik dan jahat, dalam artian tahu maksud dan tujuan sebenarnya, maka kita akan tergiring dan terarah pada satu hal, berupa si pendusta dan penipu, apalagi penyesat. Siapakah itu? Eng, ing, eng, dialah si pendusta dan penyesat sebenarnya. Yang mau setara dan sama kedudukannya dengan Yesus, apalagi Allah.