Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Permaisuri yang Ambisius Pemantik Kisah Perang Bharatayudha

6 Agustus 2013   04:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:35 1123 0

Gambar Dewi Setyawati dirayu Raja Santanu sumber Wikipedia

Ambisi Seorang Permaisuri

“Keinginan berlebihan akan selalu mengecewakan, karena tidak setiap keinginan akan terpenuhi. Matematika alam tidak bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Hukum Alam bekerja sesuai dengan Kehendak-Nya. Janganlah kita diperbudak oleh keterikatan serta keinginan kita.” (Krishna, Anand. (2002). Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)

Kisah seorang istri yang ambisius, yang suami dan anak-anaknya suka atau tidak suka terpaksa menuruti kemauannya adalah kisah yang masih up to date sampai kini. Dewi Setyawati, dalam versi India bernama Satyavati mempunyai ambisi kuat agar keturunannya menjadi Raja Hastina. Dewi Setyawati adalah seorang janda cantik dengan satu putra, dan Raja Hastina, Prabu Santanu ingin mempersuntingnya. Dewi Setyawati telah berputra Abhyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Resi Parasara. Dewi Setyawati bersedia menjadi istri Prabu Santanu, apabila anak-anaknya kelak menjadi Raja Hastina.

Dikisahkan Prabu Santanu senantiasa dalam kesedihan akibat istrinya yang telah memberikan seorang putra bernama Dewabrata kembali ke Kahyangan karena kesalahannya. Kisah Prabu Santanu dan istrinya, Dewi Gangga dapat dilihat di Kisah-Kisah Srimad Bhagavatam pada kategori Srimad bhagavatam dari blog http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/.

Setelah sang putra yang menginjak remaja, Prabu Santanu sering menyerahkan kerajaan kepada sang putra pada saat dia berburu ke hutan untuk menghilangkan kesedihan. Dalam kesedihan itulah dia bertemu dengan Dewi Setyawati dan jatuh cinta. Permintaan Setyawati agar anaknya menjadi raja Hastina, menambah kepusingan sang raja. Sang Prabu Santanu sangat bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Dewabrata yang nantinya dikenal sebagai Bhisma, kalaupun Bhisma bersedia mengalah, maka anak keturunan Bhisma pasti tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada wangsa Kuru, dinastinya.

Merepotkan Kehidupan Bhisma

Dewi Setyawati yang begitu terikat pada ambisi mempunyai anak kandung Raja Hastina, telah merepotkan sang suami dan anak tirinya. Setyawati lupa bahwa ambisi agar anak keturunannya menjadi Raja Hastina itu adalah Maya, Keinginan Duniawi yang tidak abadi. Mencari kebahagiaan pada yang tidak abadi tidak akan menghasilkan kebahagiaan abadi.

“Tantangan Terberat bagi Kaum Perempuan adalah keterikatannya pada Maya. Maya berarti ‘ilusi’. Sebelum melanjutkan pendapat Paramhansa Yogananda, saya mesti menegaskan bahwa virus penyakit ini tidak hanya menyerang kaum perempuan saja. Kaum pria pun diserangnya. Kita semua, tanpa kecuali, terpengaruh oleh maya. Ada yang cepat tersadarkan, ada yang lamban, dan ada yang seumur hidup tidak pernah tersadarkan. Pengaruh maya menciptakan ilusi seolah materi itu langgeng. Kemudian ilusi tersebut menciptakan keterikatan.” (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Demi  kecintaan Bhisma terhadap negara Hastina, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, Bhisma bersumpah tidak akan kawin. Pengorbanan Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritual Bhisma, sehingga dia mendapat anugerah Hyang Widhi untuk bisa menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari. Bagi Bhisma pengabdian dan bhaktinya hanya untuk Ibu Pertiwi, untuk Hastina. Bhisma tidak melarikan diri ke puncak gunung sebagai pertapa. Dharma bhaktinya adalah mempersatukan negara. Kita melihat perbedaan nyata antara kecintaan Bhisma terhadap tanah tumpah darah dan kecintaan Dewi Setyawati terhadap ambisi pribadi.

Perkawinan Dewi Setyawati dengan Prabu Santanu melahirkan dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya mati sebelum kawin. Sedangkan Wicitrawirya adalah seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan pasangan seorang putri raja. Dewi Setyawati sangat sedih melihat nasib putra-putranya, tetapi dia tidak mau menyerah, dia membujuk Bhisma untuk mencarikan jodoh bagi Wicitrawirya.

Pengorbanan Abhyasa

Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdiannya kepada kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak, Dewi Amba hanya mau kawin dengan Bhisma. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin demi keutuhan Hastina. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina tanpa sengaja dia telah membunuh seorang wanita, Bhisma sadar dia pun nantinya harus terbunuh oleh seorang wanita.

Pengabdian Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum memberikan putra. Dewi Setyawati juga tidak mau menyerah, dan meminta Abhyasa putera Setyawati dengan Resi Parasara untuk menikahi Dewi Ambalika dan Dewi Ambika. Abhyasa patuh terhadap ibunya walau sebenarnya tidak sreg memperistri mereka. Hidupnya sudah dipersembahkan kepada Hyang Widhi, dia mengumpulkan kitab-kitab Veda, dia ingin catatan-catatannya nantinya dapat mencerahkan umat manusia. Akan tetapi karena Kehendak Hyang Widhi, Abhyasa melakukan kehendak ibunya.

Kelahiran Destarastra, Pandu dan Widura serta Embryo Perang Bharatayudha

Alkisah, untuk menguji ketabahan Dewi Ambalika dan Ambika, konon Abhyasa membuat dirinya berwajah mengerikan. Ketika berhubungan suami istri dengan Abhyasa yang berwajah mengerikan, Dewi Ambalika menutup mata, dan lahirlah Destarastra yang buta. Sedangkan Dewi Amba melengoskan leher dan pucat pasi melihat wajah Abhyasa yang mengerikan, sehingga lahirlah Pandu yang ‘tengeng’, lehernya miring dan pucat. Mereka berdua takut berhubungan suami istri dengan Abhyasa dan kemudian minta seorang pelayan melayani Abhyasa dalam kegelapan dan lahirlah Widura. Setelah memenuhi keinginan ibunya, Abhyasa meneruskan pekerjaan mulianya di luar istana.

Ambisi Dewi Setyawati untuk membuat anak keturunannya menjadi raja dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan, bahkan akhirnya telah mengakibatkan anak cucunya, putra-putra Destarastra dan putra-putra Pandu melakukan perang saudara dalam perang Bharatayuda yang menghancurkan dunia. Pandawa dan keturunannya, RajaParikesit pun sebetulnya merupakan anak keturunan Dewi Kunti yang menggunakan mantra pembuat keturunan dari Resi Durwasa tanpa hubungan suami istri dengan Pandu, cucu Dewi Setyawati. Anak keturunan Dewi Setyawati lewat Destarastra punah akibat perang Bharatayuda. Sedangkan yang meneruskan tahta adalah keturunan Dewi Kunti. Kisah tersebut terjadi atas kehendak Hyang Widhi agar kita semua dapat mengambil hikmahnya.

Di dalam diri kita pun terdapat potensi Dewi Setyawati yang tidak kenal lelah dalam merealisasikan gelora ambisi kita. Apabila di depan kita tersedia peluang, bukan tidak mungkin kita pun akan bertindak sama seperti Dewi Setyawati. Perkawinan awal Dewi Setyawati dengan Parasara, yang tanpa nafsu duniawi dan penuh kasih telah melahirkan Bhagawan Abhyasa yang akan dikenang sepanjang masa sebagai penulis kitab Mahabharata dan kitab Veda. Dulu keinginan Setyawati kawin dengan Resi Parasara hanya untuk menyembuhkan penyakitnya yang berupa bau tubuh yang “amis, bacin” sehingga mengganggu semua orang yang dekat dengan dirinya. Sedangkan perkawinan dengan Prabu Santanu ingin mempunyai putra seorang raja. Dewi Setyawati yang berbahagia sebagai istri seorang resi yang sederhana berubah karakternya melihat kegemerlapan seorang raja.

Mengapa menjadi ambisius? Renungan Shri Chaitanya.

Wahai Hyang Mahamenawan! Selama ini aku menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginanku, Aku telah jatuh dalam lumpur hawa nafsu pancaindra. Gusti, aku tak mampu menggapaiMu, namun Kau dapat menemukanku. Aku tak berdaya, Engkau Mahadaya. Aku hanyalah debu dibawah kaki suciMu, angkatlah diriku dan berkahilah daku dengan kasihMu! Mengapa? Mengapa selama ini kita menjadi budak ambisi dan keinginan-keinginan kita sendiri. Karena kita terpesona oleh dunia benda, oleh bayangan Hyang Mahamenawan. Memang, bayanganNya saja sudah penuh pesona. Tapi alangkah tidak beruntungnya kita jika kita berhenti pada bayangan. Betapa meruginya kita jika kita tidak menatap Ia Hyang Terbayang lewat dunia benda ini. Ambisi dan keinginan kita sungguh tidak berarti, karena semuanya terkait dengan bayang-bayang. Kita mengejar bayangan keluarga, kekuasaan, kekayaan, kedudukan, ketenaran, dan sebagainya. Keinginan kita sungguh sangat miskin. Ambisi kita adalah ambisi para pengemis. Hyang Mahamenawan adalah raja segala raja. Ia adalah Hyang Terdekat, kerabat yang tak pernah berpisah, sementara kita masih menempatkan keluarga sejajar denganNya. Sungguh sangat tidak masuk akal. Silakan melayani keluarga. Silakan mencintai kawan dan kerabat. Tapi jangan mengharapkan sesuatu dari mereka semua, karena dinding kekeluargaan pun bisa retak. Persahabatan dapat berakhir. Kemudian, kau akan kecewa sendiri. Kekuasaan apa, kekayaan apa, kedudukan apa, dan ketenaran apa pula yang menjadi ambisimu? Jika kau menyadari hubunganmu dengan Ia Hyang Mahakuasa, dan Mahatenar adanya, saat itu pula derajadmu terangkat dengan sendirinya dari seorang fakir miskin, hina, dan dina menjadi seorang putra raja, seorang raja ! (Krishna, Anand. (2010). The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Situs artikel terkait

http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/

http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun