Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menyelaraskan Frekuensi Pikiran Kita dengan Kejernihan Pikiran Manusia Sempurna al Insan Kamil

29 Mei 2012   21:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:37 1345 0

Gelombang adalah getaran yang merambat. Gelombang mekanik adalah gelombang yang memerlukan medium dalam perambatannya seperti gelombang air dan gelombang bunyi. Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat tanpa medium (dalam hal ini mediumnya adalah ruang), misalnya gelombang cahaya, gelombang radio termasuk gelombang pikiran manusia. Pada prinsipnya semua benda di alam semesta ini bergetar dan manusia memiliki keterbatasan dalam merasakan getaran tersebut. Telinga manusia hanya dapat mendengar bunyi dari 20 Hz sampai 20 kHz. Suara di atas 20 kHz yang disebut ultrasonik dan di bawah 20 Hz yang disebut infrasonik tidak dapat didengar. Demikian juga manusia hanya dapat melihat frekuensi sinar antara 40.000 – 80.000 GHz. Gelombang radio berada di bawah ambang penglihatan manusia dari beberapa Hz sampai gigahertz (GHz atau 10 pangkat 9) sehingga tidak dapat dilihat manusia. Akan tetapi gelombang radio yang berada di bawah 20 kHz dapat didengar manusia. Frekuensi gelombang mikro dari 3 GHz hingga 300 GHz. Sinar inframerah termasuk dalam gelombang elektromagnetik dan berada dalam rentang frekuensi 300 GHz sampai 40.000 GHz. Kemudian yang berada di atas ambang manusia, frekuensi sinar ultraviolet dari kisaran 80.000 GHz sampai puluhan juta GHz. Sinar-X pada frekuensi 300 juta GHz  dan 50 miliar GHz.

Seluruh elemen alami: ruang, angin/udara, api, cair/air dan padat/tanah semuanya adalah getaran dengan frekuensinya berbeda. Setiap benda merupakan kombinasi dari 5 elemen alami, termasuk tubuh manusia juga merupakan kombinasi dari 5 elemen alami, sehingga tubuh manusia pun bergetar. Setiap anggota tubuh mempunyai frekuensi getaran yang berbeda. Pikiran pun juga merupakan getaran. Dalam buku “Neo Psyhic Awareness”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 disampaikan......... Otak kita "mengerjakan" lebih dari 15 miliar sel dalam seluruh tubuh kita. Kurang lebih itulah jumlah sel dalam tubuh manusia. Setiap sel sesungguhnya adalah sebuah electric impulse, percikan listrik yang dapat berubah menjadi radio waves, gelombang suara. Karena itu, hampir semua agama bicara tentang cahaya sebagai awal kejadian. Yang dimaksud sesungguhnya "kejadian sebagaimana kita memahaminya selama ini". Pemahaman kita dapat berkembang, sehingga kesimpulan-kesimpulan lama pun mesti dikoreksi. Electric impulse, radio waves itu seperti petir: pertama kita melihat cahayanya, kemudian mendengar suaranya. Saat melihat cahaya, kita sudah dapat memastikan sesaat lagi akan mendengar suaranya. Fenomena petir ini berlangsung pula pada manusia. Setiap pikiran yang muncul dalam otak kita juga merupakan sebuah electric impulse. Kemudian, electric impulse itu berubah menjadi radio waves, gelombang suara. Dan, apa yang terpikir pun terucap oleh kita. Namun, ada yang membedakan manusia dari petir. Ini pula yang membedakan manusia dari hewan, dari makhluk-makhluk lain. Cahaya petir yang terlihat dan suaranya yang terdengar "berjarak", persis seperti pikiran dan ucapan atau tindakan manusia, namun, jarak antara cahaya dan suara petir merupakan harga mati. Jarak itu sudah tidak dapat diganggu gugat; tidak dapat diperpanjang; tidak dapat diperpendek. Cahaya maupun suara mengikuti hukum alam dan sampai ke mata atau telinga kita dengan kecepatan yang sudah diatur. Kecepatan itu tidak dapat diubah. Tidak demikian dengan manusia. Jarak antara pikiran dan ucapan atau tindakannya dapat diubah; dapat diperpanjang; dapat dihapus menjadi nihil atau menjadi tak terbatas...........

Tingkat kesadaran manusia menentukan frekuensi pikirannya. Dalam buku “Neo Psyhic Awareness”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 juga disampaikan......... Manusia yang telah berkembang pribadinya secara utuh dapat mengendalikan pikirannya. Kapan harus diterjemahkannya menjadi ucapan, kapan menjadi tindakan, dan kapan dibiarkan sebagai pikiran saja. Tidak setiap "petir pikiran"-nya harus bersuara. Ini yang membedakan dia dari manusia-manusia lain yang belum berkembang seutuhnya. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa jarak antara pikiran dan ucapan atau tindakan dapat digunakan untuk menimbang dan mengevaluasi keadaan, sehingga kita tidak selalu reaktif seperti binatang – dihantam, menghantam kembali. Kita menjadi responsif, bertindak secara sadar. Seorang manusia yang berkembang pribadinya secara utuh menjadi responsif la tidak pernah reaktif........

Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan”, Karya Terakhir Mahaguru Shankara “Saadhanaa Panchakam”, Saduran & Ulasan dalam Bahasa Indonesia oleh Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2006 disampaikan........ Bila bertemu dengan seseorang yang telah berhasil mengendalikan diri, mengendalikan nafsu-nafsu rendahan, senang memberi atau berbagi, dan mengasihi tanpa memandang bulu, ciumlah tangan dia. Bertekuk-lututlah di hadapannya. Ia adalah Insan Kamil, Manusia Sempurna. Ia adalah Vishvamitra, Sahabat Jagat Raya. Bersahabatlah dengannya. Pergaulan dengan orang semacam itulah yang dapat menunjang kesadaran kita.......

Dalam hukum fisika dikenal adanya peristiwa resonansi. Dua benda dapat beresonansi bila mereka bergetar pada frekuensi yang sama atau bergetar pada kelipatan frekuensinya. Bagaimana caranya agar pikiran kita dapat beresonansi dengan manusia yang telah berkembang pribadinya secara utuh, Manusia Sempurna, Insan Kamil sehingga kesadaran kita dapat meningkat dengan terjadinya quantum leap kesadaran? Dalam buku “Neo Psyhic Awareness”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 disampaikan......... Hanya orang-orang yang pribadinya sudah berkembang secara utuh yang dapat membantu kita untuk mengembangkan diri kita secara utuh. Berada dekat orang-orang seperti itu, kadang kita tidak perlu menunggu untuk disapa, untuk diajak bicara atau mendengar. Bila electric impulse dalam diri kita bergetar pada gelombang yang sama dengan manusia utuh itu, tanpa ucapan pun kita dapat menangkap pemikirannya....... Dalam tradisi kuno, ini yang disebut Shaktipaat. DaIam tradisi Zen dikaitkan dengan transmisi-transmisi ajaran, transmisi kesadaran dari sang guru kepada siswa yang siap. Shaktipaat bukanlah sebuah ritual, tetapi suatu "kejadian" yang hanya terjadi bila guru dan siswa berada dalam gelombang yang sama; ketika keduanya sedang bergetar bersama. Kemudian, seorang guru tidak lagi membutuhkan kertas dan pena, atau media tulisan untuk menyampaikan pemikirannya. Sang siswa pun tidak membutuhkan sepasang telinga maupun mata untuk mendengarkan wejangan guru atau membaca tulisannya. Sungguh setajam apa pun pendengaran seorang siswa, sejernih apa pun penglihatannya, secerdas apa pun otaknya, sehebat apa pun pemahaman serta penangkapannya, dan semahir apa pun seorang guru menyampaikan apa yang hendak disampaikannya, ketika pikiran diterjemahkan menjadi ucapan atau tindakan, terjadilah "penurunan" kualitas; penurunan derajat; penurunan intensitas; penurunan kedahsyatan yang hanya ada dalam pikiran yang masih berupa electric impulse.........

Seorang manusia sempurna, Insan Kamil bertindak sesuai dengan Kehendak-Nya, dia selaras dengan Maha Cahaya, Nur Ilahi. Untuk menyelaraskan diri dengan seorang Insan Kamil, untuk beresonansi dengannya, kita harus menyelaraskan pikiran, ucapan dan perbuatan kita dengan pikiran, ucapan dan tindakannya. Dalam Materi dari Bapak Anand Krishna pada Program Neo Interfaith Studies dari One Earth College of Higher Learning (http://interfaith.oneearthcollege.com/) disampaikan.......... Hubungan dengan Allah dan rasulNya berarti hubungan dengan dunia dari sudut pandang yang beda, dimana fokus kita adalah energi, bukan materi, esensi dan bukan lagi fisik. Maka dijelaskan dalam al Mujaadilah ayat 22 bahwa mereka yang beriman tidak bisa lagi mencintai atau berhubungan mesra dengan mereka yang tidak beriman, walau yang tidak beriman itu adalah keluarganya sendiri. Koq sombong banget? Tidak. Urusannya bukan sombong. Urusannya adalah frekuensi dimana kita berada, beda frekuensi kita tidak lagi menerima siaran "keterikatan" dengan keluarga atau siapa saja yang tidak berada di frekuensi yang sama. Kita tidak membenci mereka. Karena untuk membenci pun kita mesti berada di frekuensi yang sama. Perkaranya bukan cinta atau benci, perkaranya "tidak nyambung"  - no signal, beda gelombang. Dengan keluarga terdekat pun demikian, apalagi dengan orang lain, sesungguhnya kalau sudah beda frekuensi, beda fokus – keluarga atau bukan keluarga sama saja.

Lalu bagaimana dengan kita yang mengaku sudah beriman, tapi begitu ketemu dengan orang yang bisa membuat jantung kita berdebar, gelombangnya langsung turun? Tidak, gelombang kita tidak menurun. Sesungguhnya kita memang belum berada pada gelombang iman, baru tahu, belum mengenal Rasul. Jika kita sudah mengenal, sudah menerima siaranNya, maka "turun frekuensi tidak akan terjadi". Sebab itu, jika frekuensi rendah masih menggiurkan, maka lebih baik kita jujur dengan diri sendiri. Selama ini Rasul sudah bekerja keras supaya frekuensi kita naik. Adalah berkahnya sehingga kita masih dekat dengannya, walau sesungguhnya belum pantas. Lagi-lagi pilihan ditangan kita. Iman dan rasul adalah cara pandang, memandang dunia sebagai bayang-bayang. Kekafiran adalah upaya untuk menguasai bayang-bayang. Upaya itu tidak pernah berhasil, tinggal tunggu saat kapan kecewa "lagi" dan berpaling kepadaNya..........

Tubuh manusia pada hakikatnya adalah getaran. Pikiran manusia pun adalah getaran. Pikiran manusia dapat mengalami quantum leap bila dapat beresonansi dengan orang yang sudah berkembang pribadinya secara utuh. Hubungan Allah dengan Rasul-Nya adalah hubungan dunia dari sudat pandang yang beda, dimana fokusnya adalah energi bukan materi, esensi dan bukan lagi fisik. Selama frekuensi kita masih materi dan fisik maka frekuensi kita belum dapat beresonansi dengan orang yang sudah berkembang pribadinya secara utuh. Iman dan Rasul berkiblat pada Dia Yang Maha Memiliki Dunia, sedangkan kafir berkiblat pada Dunia.......

Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah Neo Interfaith  Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Kemudian ada program Ancient  Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Dan ada lagi program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based sehingga kita dapat bekerja tanpa pamrih pribadi.

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.org/ind/

http://triwidodo.com

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

http://blog.oneearthcollege.com/

Mei 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun