Banyak kisah dalam Srimad Bhagavatam dan Ramayana memberikan contoh tentang kesalahan manusia dalam mengambil keputusan. Akan tetapi dalam kisah-kisah tersebut mereka yang telah salah mengambil langkah, kemudian memperbaiki arah hidupnya dan kembali ke jalan yang benar. Memandang sebuah kisah dari satu sisi, tentu saja akan ditentang oleh mereka yang memandang dari sisi yang lain. Sebuah kisah memang selalu terbuka untuk diungkapkan sesuai tujuan sang pemberi cerita. Bapak Anand Krishna menyampaikan versi kisah Sati istri Shiva dan Sita istri Rama sebagai contoh dari mereka yang sudah berada dekat sekali dengan keilahian dalam diri akan tetapi karena sisa-sisa pola pikiran lama masih belum terbuang sepenuhnya, maka mereka tergelincir, walaupun pada akhirnya mereka kembali menyadari kesalahannya dan kembali pada jalan keilahian. Di bawah ini adalah pemahaman kami terhadap kisah tersebut.
Dikisahkan Sati adalah putri dari Prajapati Daksha yang menikah dengan Shiva. Sati sangat mencintai dan menghormati suaminya yang sekaligus adalah gurunya. Pada suatu kesempatan Daksha sebagai seorang prajapati, pimpinan pamongprajanya dewa mengadakan upacara ritual, dimana semua dewa diundang untuk hadir. Dalam acara tersebut semua dewa memberikan penghormatan dengan berdiri kala Daksha masuk ruangan upacara, dan hanya Brahma ayahanda Daksha dan Shiva yang tidak berdiri. Daksha tersinggung kepada Shiva, seorang menantu yang menurut anggapannya tidak mau menghormati mertuanya. Kekesalan Daksha tersebut selalu dibawa dalam pikirannya sehingga sewaktu dia mengadakan upacara yang lebih besar, Shiva tidak diundangnya. Sati sangat mencintai Shiva, tetapi dia ingin datang ke upacara yang diadakan ayahandanya, sehingga minta izin kepada Shiva untuk menghadiri upacara yang diadakan oleh ayahandanya. Shiva berkata bahwa Daksha tersinggung dengannya karena dia tidak berdiri kala Daksha masuk ruangan upacara. Shiva berkata bahwa Sati harus tahu bahwa dia menghormati Daksha sebagai mertua, akan tetapi dia tidak akan menghormati keangkuhannya. Seorang prajapati tidak boleh angkuh dan merasa bahwa keberhasilannya adalah karena dirinya pribadi. Prajapati hanya menjalankan amanah dari Narayana, keberhasilannya bukan hanya karena dirinya sendiri, tetapi karena karunia dari Narayana.
Shiva menyampaikan kepada Sati bahwa karena tidak senang dengan Shiva, maka Sati pun sudah tidak dihormati lagi olehnya. Sati bimbang, suaminya benar tetapi pola pikir lama Sati menguasainya, bukankah tidak salah mendatangi acara yang dilakukan oleh ayahandanya. Sati datang ke upacara dan dia tidak dipedulikan oleh Daksha. Sati sadar, bahwa Daksha, ayahandanya sudah semakin angkuh dan merasa benar sendiri. Karena dirinya sudah menjadi istri Shiva, dan ayahandanya tidak senang dengan Shiva, maka dia pun tidak dipedulikan lagi. Sati sadar, bahwa selama ini dia mendampingi Shiva dan mendapatkan pelajaran dan panduan tentang kebenaran. Akan tetapi masih ada pola pikiran lama yang ketika diikutinya yang membawanya ke arah penderitaan. Sati kemudian sadar bahwa dia telah berbuat salah. Sati langsung bermeditasi di depan upacara dan mengaku salah besar atas tindakannya yang tidak mengikuti nasehat Shiva. Yang ada pada pikirannya hanya Shiva dan dirinya merasa tubuh yang dipakainya sudah kotor dan dia ingin mendapatkan tubuh baru yang bisa digunakan hanya untuk berbakti kepada Shiva. Tubuh Sati kemudian terbakar dan setelah jangka waktu lama dia lahir kembali sebagai Parvati. Kisah tersebut mengungkapkan bahwa seseorang yang sudah sangat dekat dengan keilahian, karena menuruti pola pikiran lamanya akhirnya mengalami penderitaan. Akan tetapi dia sadar kembali, dan dalam kehidupan selanjutnya dia kembali kepada keilahiannya. Silakan baca kisah Daksha http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/27/renungan-bhagavatam-daksha-putra-brahma-keangkuhan-seorang-prajapati/
Sita adalah putri raja Janaka yang kawin dengan Sri Rama yang merupakan putra mahkota dari kerajaan Ayodya dengan rajanya bernama Dasaratha. Dalam kemelut persaingan antar istri Dasaratha, akhirnya Sri Rama pergi meninggalkan istana selama 14 tahun. Sita rela meninggalkan kemewahan istana untuk mendampingi Rama hidup di hutan. Sita adalah teladan seorang istri yang setia dengan suami. Seorang yang memilih keilahian daripada kemewahan duniawi. Rama juga dapat dimaknai sebagai keilahian, Dia Yang Berada di Mana-mana. Sudah lebih dari 12 tahun Sita mendampingi Sri Rama dalam pengasingan sampai suatu kali dia melihat kijang kencana. Dewi Sita terpesona kepada kijang kencana sehingga minta Sri Rama mengejar dan mendapatkan kijang tersebut sebagai perintang waktu kala hidup di tengah hutan.
Masih tersisa dalam pola pikiran Dewi Sita tentang kesenangan duniawi, sehingga lupa bahwa tidak mungkin ada kijang kencana kecuali wujud kijang jadi-jadian. Kala mendengar teriakan dari jauh, dia mulai khawatir bahwa Sri Rama mendapatkan masalah sehingga dia meminta Laksmana mengejar Sri Rama. Laksmana kemudian membuat pagar pengaman agar Sita tidak keluar dari pagar pengaman tersebut. Rahvana mewujud sebagai pengemis tua yang dapat mengetuk Sita untuk memberikan makanan kepadanya. Begitu tangan Sita keluar dari pagar pengaman, maka dia ditarik Rahwana dan dibawa lari ke Alengka. Sita adalah manusia yang sudah dekat dengankeilahian. Akan tetapi karena masih memiliki pola pikiran lama tentang kesenangan panca indra, maka dia akhirnya tersandera oleh Rahvana yang mewakili ego manusia. Dalam sandera ego, Sita tetap menjaga kesuciannya dan selalu berbhakti kepada Ilahi. Hanuman adalah wujud bhakti seorang manusia kepada ilahi. Dengan berbhakti kepada ilahi, maka Sita akhirnya diselamatkan Dia Yang Berada di Mana-Mana lepas dari cengkeraman ego. Silakan baca kisah Sita pada http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/30/keselamatan-planet-dalam-orbitnya-dan-kisah-keluarnya-dewi-sita-dari-pagar-pengaman-laksmana/
dan
http://triwidodo.wordpress.com/2009/02/03/kisah-dewi-sinta-perjalanan-spiritual-seorang-wanita/
Sati dan Sita adalah contoh seorang manusia yang sangat dekat dengan keilahian dalam diri mereka. kedua-duanya tergelincir karena masih memiliki pola lama dan belum sepenuhnya menyatu dalam keilahian. Sati masih terikat dengan kebesaran ayahandanya, Sita masih terpesona dengan kijang kencana duniawi sehingga melupakan kebahagiaan berada dekat dengan Dia Yang Berada di Mana-Mana. Dunia ini adalah milik Dia Yang Maha Memiliki, tapi kita kita tertarik kepada ciptaan-Nya dan bukan Pemiliknya.
Dalam buku “Shri Sai Satcharita, Kisah Keajaiban Dan Wejangan Shirdi Sai Baba”,Sai das, Anand Krishna Global Co-Operation Indonesia, 2010 disampaikan.......... Seorang panembah tak pernah kekurangan sesuatu. Aku memenuhi segala kebutuhan para panembah yang telah berserah diri kepada-Ku. Demikian pula janji Sri Krishna dalam Bahagavad Geeta. Maka, sesungguhnya kau tidak perlu khawatir tentang kebutuhanmu sehari-hari. Jika kekurangan sesuatu, mintalah kepadaKu. Mintalah kepada Tuhan Hyang Maha Memiliki. Untuk apa mengharapkan sesuatu dari dunia, berharaplah kepada Hyang Memiliki dunia. Untuk apa mengharapkan penghargaan dan pengakuan dari dunia, lebih baik mengharapkan berkah dan karunia Ilahi. Janganlah terperangkap dalam permainan dunia. Pujian yang kau terima dari dunia tidak berarti apa pun jua. Jalani hidupmu dengan kesadaranmu sepenuhnya terpusatkan kepada Tuhan. Ketertarikan kepada dunia sungguh tak berarti. Tuhan adalah Hyang Maha Menarik! Ingatlah Aku setiap saat, sehingga dunia benda tidak menggodamu. Hanyalah dengan cara ini kau dapat merasakan kedamaian, dan ketenangan sejati. Inilah cara untuk hidup tanpa beban apapun...........
Sati dan Sita akhirnya sadar dan kembali ke pangkuan ilahi. Akan tetapi bagaimanakah diri kita? Dalam diri kita ada keiilahian dalam diri, kadang kita dekat dengan ilahi, akan tetapi pesona dunia sering melupakan keilahian dalam diri. Dan, kita terjebak dalam kesenangan dunia yang bersifat sementara, kesenangan dunia yang selalu bersifat dualitas, ada suka dan ada duka. Dunia ini tidak abadi, fokus ke dunia, ke luar diri menyebabkan kita masuk dalam dunia materi. Materi juga penting, karena dengan materi kita dapat berbuat kebaikan. Akan tetapi materi adalah alat, sarana dan bukan tujuan. Bila fokus kita ke dalam diri, kita bertanggung jawab kepada diri sendiri, tidak menyalahkan keadaan di luar, apa pun yang terjadi pada diri mita adalah akibat dari perbuatan kita sendiri di masa lalu, maka kita masuk ke dalam spiritual. Materi penting tetapi digunakan sebagai alat menuju spiritual. Karena yang abadi hanyalah Dia Hyang Berada di Mana-Mana termasuk berada dalam diri. Adalah tidak mungkin kita mengalami kebahagiaaan abadi dengan hal yang bersifat sementara, yang bersifat dualitas. Kesenangan disebabkan materi selalu mempunyai pasangannya yaitu ketidaksenangan yang selalu setia mendampingi. Dimana ada suka karena hal di luar diri selalu saja ada tidak suka yang menunggu giliran muncul. Hanya Dia Hyang Abadi yang dapat memberi kebahagiaan abadi...........
Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah Neo Interfaith Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Kemudian ada program Ancient Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Dan ada lagi program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based sehingga kita dapat bekerja tanpa pamrih pribadi.
Situs artikel terkait
http://www.oneearthmedia.org/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
http://blog.oneearthcollege.com/