Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Renungan Kebangsaan: Pengorbanan Gatotkacha bagi Penegakan Dharma

19 Mei 2011   22:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26 229 0

Gatotkacha mendengar Abimanyu, saudara misan sekaligus sahabat dekatnya tewas dikeroyok para panglima Korawa yang meninggalkan norma-norma kekesatriaan. Dia juga mendengar bahwa Arjuna, sang paman yang dihormatinya marah melihat kekejian yang dilakukan para Korawa. Arjuna, sang paman bersumpah bahwa sebelum matahari tenggelam dia akan membunuh Jayadrata, yang membendung pasukan Pandawa yang datang membantu Abimanyu yang telah masuk perangkap dalam formasi Charawyuha. Oleh karena itu, dia mendengar bahwa Jayadrata sedang dilindungi dengan pasukan yang berlapis-lapis.

Arjuna terus merangsek maju dan tetap fokus kepada posisi Jayadrata. Tujuh adik Duryudana yang menahan gerak laju Arjuna dibunuh oleh Bhima. Satyaki yang kelelahan membuka jalan bagi Arjuna, ditantang duel satu per satu oleh Burisrawa. Satyaki memenuhi tantangan tersebut, akan tetapi pada saat Satyaki yang karena terlalu lelah terjatuh, Sri Krishna menyuruh Arjuna untuk memanah Burisrawa dan tangan kanan Burisrawa terpotong. Burisrawa protes atas tindakan Arjuna yang meninggalkan sifat kesatria. Arjuna menjawab, apakah tindakan Burisrawa yang menantang Setyaki yang kelelahan untuk berduel itu tindakan kesatria? apakah tindkan Burisrawa dan para Panglima Korawa mengeroyok Abimanyu itu tindakan kesatria? Burisrawa termenung sejenak, dan Satyaki bangkit dan membunuh Burisrawa. Dalam perang, kondisi yang terjadi adalah pilihan antara hidup dan mati, tata krama dan etika sudah tidak sanggup mengendalikan sebuah perang. Ini patut menjadi renungan kita semua.......

Matahari semakin condong ke arah Barat dan Duryudana memberikan instruksi untuk melindungi Jayadrata semakin rapat. Bila matahari telah tenggelam dan Arjuna tidak berhasil membunuh Jayadrata, maka Arjuna akan malu dan mungkin akan bunuh diri karena frustrasi menahan malu. Beberapa saat kemudian, matahari sudah tidak terlihat dan Jayadrata yang merasa selamat segera menampakkan diri sambil memandang ke langit yang gelap. Pada saat itulah Sri Krishna meminta Arjuna memanah Jayadrata yang nampak lengah dan matilah Jayadrata. Dan, tiba-tiba matahari bersinar lagi karena awan gelap yang menutupinya mulai berlalu..... Alam bergerak sesuai skenario-Nya.....

Duryudana semakin marah, dia mengerahkan seluruh pasukannya mengepung Arjuna walau hari sudah benar-benar gelap. Dalam keadaan gelap mata, semua etika dan tata krama diabaikan, yang penting dendam segera terbalas. Bagi Duryudana inilah kesempatan emas membunuh Arjuna yang tidak menduga Korawa meneruskan peperangan di malam hari. Gatotkacha segera sadar, saat ini adalah saat yang tepat baginya untuk memberikan pengorbanan guna membantu paman yang paling dihormatinya. Gatotkacha menyerang Korawa dengan seluruh pasukannya yang dibawa dari Pringgodani, sebuah daerah di Nusantara. Dia memberi semangat kepada pasukannya, “kita semua akan mati, dan kini terbuka kesempatan mulia, apabila mati, kita akan dikenang sebagai pahlwan pembela kebenaran yang tak akan dilupakan sampai puluhan abad kemudian”.......Semakin malam pasukan raksasa Gatotkacha semakin kuat dan semakin tajam penglihatan mereka dan Korawa dibuat kocar-kacir. Ribuan pasukan Korawa dibunuh pasukan Gatotkacha.

Pada malam sebelum perang Bharatayuda hari keempat belas tersebut, Gatotkacha merenungi seluruh perjalanan hidupnya...... “Ayahandaku, Bhima adalah idola masyarakat Nusantara. Menurut Romo Semar, beliau mendapat ‘wisik’, bisikan gaib, ribuan tahun yang akan datang, ayahandaku akan diabadikan sebagai patung Kuntha Bhima yang diletakkan di bangunan termegah di atas bumi ini. Nantinya pertemuan ayahanda dengan diri sejati bahkan akan diabadikan dalam sebuah sastra “Suluk Dewaruci” yang indah. Menurut Romo Semar akan banyak keyakinan di Nusantara yang menjadikan profil ayahanda sebagai lambang spiritual”. Gatotkaca tiba-tiba tersadarkan, “Romo Semar? Mendapat bisikan? Membisiki? Atau Bisikan itu sendiri? Atau ‘three being one’. Duh Gusti, Romo Semar adalah wujud dari Roh Nusantara.”.........

Gatotkaca ingat bahwa Romo Semar sang “pamomong” pernah menceritakan peristiwa kelahiran dirinya. Seluruh keluarganya berada dalam kerepotan, tali pusar dirinya tidak dapat diputus dengan berbagai macam senjata keris dan panah. Alkisah kedua pamandanya Arjuna dan Karna sedang bertapa di tempat berbeda untuk mendapatkan senjata sakti. Konon, Bathara Narada yang membawa karunia senjata panah Kuntawijayadanu sulit membedakan kedua satria putra Dewi Kunti tersebut. Romo Semar tertawa, “dewa pun bisa melakukan konspirasi, karena itulah para dewa takut denganku.” Bathara Surya sengaja memberi penerangan pada tempat Karna bertapa, sehingga lebih mudah dicapai dan Bathara Narada memberikan senjata tersebut kepada Karna. Akan tetapi karena tersirat semacam ketidak baikan dalam diri Karna, maka Narada hanya memberikan “panah”-nya, sedangkan “sarung”, wadah pusakanya diberikan kepada Arjuna yang bertapa di tempat lain. Dengan berbekal sarung senjata Kuntawijayadanu tersebut, pamanda Arjuna dapat memotong tali pusar bayi Gatotkaca, dan sarung tersebut hilang masuk ke dalam dirinya, sehingga dirinya menjadi sakti.

Gatotkaca juga ingat bahwa sejak kecil dia dikasihi Kalabendana, adik ibunya yang paling kecil. Di Nusantara, paman termuda usianya tidak beda jauh dan sering menjadi kerabat terdekat. Kalabendana yang berwujud raksasa ‘kunthing’, cebol mempunyai karakter sangat jujur, setia, suka berterus terang dan tidak bisa menyimpan rahasia.......

Pada suatu hari, dirinya bepergian bersama Abimanyu ke negeri Wirata, sedangkan Siti Sundari, istri Abimanyu ditinggal bersama Kalabendana. Karena minggu-minggu tidak kembali, Siti Sundari meminta Kalabendana mencari mereka. Dengan membaui keringat Gatotkaca, keponakan tersayangnya, Kalabendana dapat menemukan Abimayu dan Gatotkaca yang sedang berada di kerajaan Wirata. Abimanyu sedang bertemu dengan Dewi Utari, calon istrinya yang merupakan perjodohan kesepakatan antara Pandawa dan Wirata untuk memperkokoh koalisi Pandawa. Kalabendana berteriak, agar dirinya dan Abimanyu segera pulang. Pamannya yang belum tahu pokok permasalahannya, sudah berteriak, maka tanpa sadar dia telah menampar pamannya. Ajian bajramusti di telapak tangannya telah menewaskan pamannya. Dia begitu sedih, tatkala paman Kalabendana menghembuskan napas terakhir. Tak ada rasa dendam di wajah pamannya. Pada waktu itu Gatotkaca ingat bahwa sewaktu dirinya masih kecil, pamannya pernah berkata, “Gatotkacha, aku tidak tahu, tetapi aku begitu mengasihimu sedemikian rupa sehingga ibaratnya kaubunuh pun aku rela.” Gatotkaca menjadi sadar bahwa sejak dulu pamannya telah paham bahwa garis kematiannya adalah oleh dirinya. Dia memperhatikan senyuman pamannya sebelum menghembuskan nafasnya yang seakan berkata, “Gatotkaca kutunggu dirimu, aku ingin meneruskan kehidupan masa mendatang bersamamu.”..........

Kembali Gatotkaca teringat wejangan “Romo Semar”, “Jangan menganggap karma sebagai hukuman di dunia. Jangan bersedih........ Dunia lebih cocok disebut Pusat Rehabilitasi.Programnya disesuaikan agar setiap jiwa menjalani program pembersihan dan pengembangan. Kelahiran di lingkungan tertentu, orangtua, saudara , negara pun bukan tanpa rencana. Sahabat dan musuh juga ada alasannya. Rintangan, tantangan, kesulitan dan persoalan dimaksudkan demi pembersihan dan pengembangan jiwa. Menyalahkan orang lain, mencari kesalahan, mengeluh dan kecewa berlebihan berarti kita belum menyadari program dari Keberadaan, skenario alam semesta. Jalanilah Program Pusat Rehabilitasi sebaik-baiknya sampai kau sembuh dan tidak sakit lagi.”......... “Perhatikan kala tubuhmu sehat, kau merasa dirimu satu, kemudian rasakan ketika gigimu atau organ yang lain sakit. Kau merasa ada bagian tubuhmu yang sakit. Rasa keterpisahan, rasa ketidakbersatuan disebabkan kamu dalam keadaan sakit. Manusia berada di dunia karena sakit. Kalau sudah sembuh dia tidak perlu berada di dunia.”.......

Dalam buku “Menyelami Samudra Kebijaksanaan Sufi”, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 disampaikan....... Yang terbatas dapat diketahui, dapat dijelaskan. Yang Tak Terbatas hanya dapat dialami, dirasakan, diselami. Yang Tidak Terbatas juga tidak dapat dijelaskan. Peningkatan kesadaran berarti merasakan dan menyadari keterbatasan “pengetahuan”. Pencerahan membebaskan diri kita dari “yang dapat diketahui”, dan mengantar kita ke “Yang Melampaui Pengetahuan”. Pencerahan menuntut pengorbanan. “aku” yang kecil ini harus melebur, menyatu dengan “Aku” Semesta. Niat kita, hasrat kita, kesiapan diri kita merupakan modal utama. Apabila Anda siap terjun ke dalam api penyucian, Ia Yang Maha Esa akan mempersiapkan api itu bagi Anda. Apabila Anda siap meleburkan ego Anda, Ia Yang Maha Kuasa pun siap untuk menerima Anda. Allah, Tuhan, Widhi menggunakan berbagai cara untuk menguji kesiapan diri Anda. Semesta ini bagaikan unversitas terbuka, dimana Anda sedang menjalani program, sedang mempelajari seni kehidupan. Bukan hanya mereka yang menyenangkan hati Anda, tetapi juga mereka yang melukai jiwa Anda, yang mencaci Anda, yang memaki Anda, sebenarnya diutus oleh Kebenaran untuk menguji kesiapan diri Anda. Pasangan Anda, istri Anda, suami Anda, orang tua dan anak dan cucu Anda, atasan dan bawahan Anda, mereka semua adalah dosen-dosen pengajar. Mereka yang melacurkan diri demi kepingan emas dan mereka yang melacurkan jiwa demi ketenaran dan kedudukan, mereka semua adalah guru Anda. Anjing jalanan dan cacing-cacing di got, lembah yang dalam, bukit yang tinggi dan lautan yang luas, semuanya sedang mengajarkan sesuatu........

Demikian salah satu pandangan Bapak Anand Krishna tentang kehidupan. Yang beliau sampaikan adalah esensi spiritualitas yang bersifat universal yang dapat diterima semua keyakinan. Lihat http://anandkrishna.org/english/index.php?isi=about%2Findex.lbi

http://www.freeanandkrishna.com/

Gatotkacha, sang kesatria dari Nusantara merenung. “Tanpa menegakkan dharma pun diriku akan mati juga, kodratku, dharmaku, adalah menegakkan kebenaran. Apalagi Sri Krishna telah membuat perang Kurukshetra menjadi Dharmakshetra, medan dharma. Biarlah waktu yang singkat di kehidupan ini kugunakan untukberbhakti pada Hyang Widhi. Sambil menebus hutang-hutang perbuatanku masa lalu, kutegakkan dharma dengan segenap jiwaku. Abhimanyu telah memilih mati dalam medan dharma. Aku ini siapa? Diri sejati melampaui pikiran dan perasaan. Nafsuku bukan diriku. Rasa cintaku juga bukan diriku. Kala mereka tak ada “aku” pun masih ada. Diri sejati adalah Kebenaran. Karena kebodohanku,karena salah pandangan, jiwaku mengalami karma.”

Bhagavad Gita mengingatkan kita bahwa medan laga dengan segala perlengkapannya selalu ada. Dunia inilah medan laga itu. Silakan berlaga, tapi tetap sadar bahwa kita bukanlah medan. Kita juga bukanlah laga, permainan yang sedang kita mainkan. Selama disini kita memang mesti berlaga, maka marilah kita bermain dengan cantik. Pengetahuan inilah moksha. Dan, dapat diraih sekarang dan saat ini juga. Gita 13:1: Badan kasat ini bagaikan lapangan bermain atau Kshetra dan ia yang menyadari hal ini disebut Kshetrajna. Gita 13:2: Ketahuilah bahwa “Sang Aku” itulah sebenarnya yang disebut Kshetrajna. Pengetahuan tentang Kshetra dan Kshetrajna ini kuanggap Pengetahuan Sejati.

“Bagiku dharma-ku sebagai perajurit adalah maju berperang, ‘sangha’-ku adalah Pandawa, persaudaraan pembela kebenaran, Kendra-ku, fokusku adalah Kebenaran, Sri Krishna”. Ada pihak yang menganggap aku membantu pihak keluarga Ayahandaku, Bhima. Ada pula yang menganggap aku membalas budi kebaikan pamandaku, Arjuna, yang telah menolong kelahiranku. Bagiku, aku mewakili kesatria dari Nusantara dalam menegakkan Kebenaran. Pilihanku telah jelas, aku memilih pihak Pandawa daripada Korawa. Gusti itu ‘tan kena kinaya ngapa’, tak dapat disepertikan, diluar pikiran dan rasa manusia. Bagiku Nusantara adalah salah satu wujud-Nya yang dapat kulayani sepenuh hati. Hidup-matiku kupersembahkan bagi Nusantara.”

“Kemenangan perang Bharatayuda nampaknya akan ditentukan oleh perang tanding kedua pamandaku, putra-putra Eyang Kunti. Senjata Kuntawijayadanu milik pamanda Karna sangat berbahaya bagi pamanda Arjuna. Rama Semar menyampaikan bahwa sarung Kuntawijayadanu berada di pusarku. Pemandu Agung Sri Krishna memintaku menghancurkan pasukan Korawa agar Duryudana putus asa dan menyuruh Karna mengeluarkan senjata andalan Kuntawijayadanu.” “Wahai Nusantara, putramu ini mewakili-Mu mengangkat nama-Mu di kancah sejarah penegakan Kebenaran di dunia!”

Saat berhadapan dengan Adipati Karna sebenarnya Gatotkacha sudah tahu datangnya kematian yang menjemputnya. Di angkasa badan Gatotkacha telah dikunci. Senjata Kunta Wijayadanu itu mengejar Gatotkaca bak peluru kendali. Akhirnya senjata itu menembus perut Gatotkacha melalui pusarnya dan masuk ke dalam sarungnya yang menyatu di perut Gatotkacha. Gatotkacha di akhir hayatnya tetap berupaya memusnahkan musuhnya sebanyak mungkin. Ketika jatuh ke bumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh tepat pada tubuh Adipati Karna, tetapi senapati Korawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga kereta perangnya hancur berkeping-keping dan semua senjata yang berada di dalam keretanya meledak dan membunuh ratusan pasukan Korawa.........


Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

http://www.kompasiana.com/triwidodo

http://twitter.com/#!/triwidodo3

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun