“Dasharatha adalah Ayahmu! Ia memiliki dasha atau ‘sepuluh’ ratha, atau kereta perang di bawah perintahnya. Yang dimaksud di sini adalah kereta-kereta dari indera serta organ-organ indera Anda sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Inilah potensi Anda. Anda bisa memerintah mereka. Anda bisa mengendalikan mereka. Dengan membiarkan diri Anda terkendalikan oleh mereka, maka sesungguhnya Anda tidak menggunakan potensi Anda sama sekali.” Terjemahan bebas dari (Krishna, Anand. (2010). The Hanuman Factor, Life Lessons from the Most Successful Spiritual CEO. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
“Kramadangsa” pemikiran Ki Ageng Suryomentaram
Sejak masih bayi, kita mencatat apa saja yang berhubungan dengan diri kita. Ki Ageng mengatakan tugas juru catat itu seperti tanaman yang hanya bisa mencatat, tidak bisa bergerak bebas. Di luar diri otak mencatat dengan bantuan panca indera sedangkan di dalam diri otak mencatat dengan rasa (organ-organ panca indera yang berkaitan dengan pikiran). Catatan yang jumlahnya berjuta-juta tersebut seperti hidupnya hewan. Hewan bisa bergerak mencari makan sendiri. Makanan catatan tersebut berupa perhatian, bila diperhatikan catatan berkembang subur, bila tidak dberi perhatian catatan akan mati.
Menurut Ki Ageng, setelah catatan itu cukup banyak maka “Kramadangsa” (nama kita sendiri, misalnya Triwidodo) lahir. Kita menganggap diri kita dilengkapi dengan catatan (1)harta milikku, (2)kehormatanku, (3)kekuasaanku, (4)keluargaku, (5)bangsaku, (6)golonganku, (7)jenisku, (8)pengetahuanku, (9)kebatinanku, (10)keahlianku, (11)rasa hidupku. Kita hidup dalam dimensi ketiga, bisa bergerak bebas mencari makan sendiri dan menggunakan pikiran dan rasa. Catatan-catatan inilah asal mula ego.
Catatan-catatan/informasi itu bersifat seperti hewan, bila diganggu marah. Sedangkan Kramadangsa/diri kita sebagai manusia sebelum bertindak atau marah bisa berpikir dahulu. Itulah bedanya hewan yang “fight or flight”, bertarung atau ngacir, sedangkan manusia berpikir dulu sebelum bertindak. Apabila diri kita terlalu terobsesi tentang kekuasaan/jabatan, maka untuk memperoleh peningkatan ‘catatan jabatan” kita bisa menggunakan segala cara untuk memperoleh jabatan, mengabaikan ‘catatan kehormatan’, ‘rasa hidup’ dan ‘kepentingan bangsa’. Artinya pikiran kita kurang jernih.
Peran seorang ketua partai politik yang ingin menjadi menjadi anggota legislatif, atau kepala daerah atau pun kepala negara bisa menumbuhkan konflik dengan peran’catatan kebatinan’ (hati nurani) dan ‘kepentingan bangsa’. Peran seorang dari jenis lelaki yang sedang mendekati wanita cantik bisa menimbulkan konflik dengan peran catatan kehornatan dan keluarga.