Sebab, seperti diperlihatkan Latif Nasser dalam episode 2 seri dokumenter "Connected" di Netflix yang sangat bagus, soal-soal sederhana tadi bisa memberi kita gambaran tentang kehidupan kita secara lengkap, sejak asal muasal Sapiens sampai masa depan dunia!
Sungguh mati, saya tidak bermaksud memberi Anda spoiler seri dokumenter itu. Tetapi beberapa bagian darinya sungguh menggelitik dan membangkitkan imajinasi saya untuk merenungkan soal-soal yang selama ini tidak masuk dalam perhatian banyak orang.
Misalnya penelitian Ainara, pakar arkeologi molekuler, yang meneliti temuan taik tertua di dunia yang sudah berusia 50.000 tahun lalu. Lewat penelitiannya, Ainara menemukan bahwa leluhur kita ternyata hidup lebih sehat. Makanan mereka jelas lebih beragam, seperti tampak pada sisa-sisa yang masih dapat dicermati lewat peninggalan taik mereka.
Dewasa ini, setelah pola makan dan gaya hidup Barat makin tersebar di seluruh dunia lewat globalisasi, kata Ainara, taik yang diteliti memperlihatkan makin menurunnya unsur-unsur keragaman hayati yang dikonsumsi manusia. Sepertinya entah Anda itu tinggal di San Francisco, atau di Singapura, atau di kota Tegal, makanan yang Anda santap sama. Maka unsur-unsur dalam taik Anda pun sama!
Menarik, kan, bahwa dari soal taik kita bisa mencermati perubahan yang sudah lama membuat banyak aktivis anti-globalisasi khawatir: bahwa multikulturalitas makin lama makin tergerus oleh homogenitas? Itu bisa tercermin dalam soal pola dan jenis makanan yang kita santap.
Namun yang lebih menarik adalah penelitian taik dan air kencing di London, negara yang mulai memperkenalkan sistem "flush and forget" lewat toilet modern. Di sana, ada bangunan khusus yang didirikan untuk mengatur sistem pembuangan dari toilet-toilet di kota London. Sistem itu dibuat, konon, karena dulu orang membuang taik dan kencing dan segala hal di Sungai Thames. Ya mirip kelakuan di Indonesia juga, sih.
Nah, pada 1858, terjadilah bencana besar sehingga disebut "The Year of Great Stink". Sungai Thames jadi sangat kotor, lalu membuat penduduk London terkena wabah Kolera yang merenggut ribuan nyawa. Itu sebabnya sistem pembuangan "flush and forget" ditemukan. Lewat sistem pembuangan tersebut, baik taik dan kencing dari Istana Buchkingham tempat sang Ratu bertakhta sampai milik rakyat jelata, jadi bercampur. Sebentuk "demokratisasi taik", istilahnya.
Tentu saja, masih banyak juga orang yang membuang taik dan kencing ke Sungai Thames. Di sini ada penelitian yang luar biasa menarik. Para ilmuwan dan peneliti dari Inggris mengambil sampel secara teratur dari air Sungai Thames yang membelah London, lalu menganalisanya di laboratorium. Hasilnya sungguh menarik: ada pola yang memperlihatkan penggunaan obat-obat terlarang secara teratur.
Misalnya, penggunaan Kokain ternyata bersifat konstan, sehingga kandungan Kokain dapat ditemukan setiap hari. Dan, setelah peristiwa Brexit yang menghebohkan, ditemukan begitu banyak kandungan sisa obat anti-depresi. Artinya, Brexit itu sungguh membuat banyak penduduk London mengalami depresi berat!
Muncul soal yang jauh lebih kompleks: bagaimana pengaruh sisa-sisa obat-obatan itu pada lingkungan, terutama makhluk hidup lain selain manusia? Penelitian di Swedia memberi hasil yang sungguh mengejutkan. Pakar di sana membuat eksperimen antara ikan yang tinggal di danau dengan air tercemar sisa obat-obatan yang datang dari laut, dengan yang tidak.
Rupanya, pengaruh obat-obatan itu pada ikan berbanding terbalik dengan reaksi manusia. Jika si ikan terkena air yang mengandung obat tidur sejenis valium, sikapnya malah menjadi agresif dan berani. Mereka tidak lagi ketakutan dan hidup berkelompok guna menghindari pemangsa. Jadi diam-diam, mungkin tanpa kita sadari, taik dan kencing yang kita buang itu sudah mengubah lingkungan sekitar, termasuk ekosistem penunjang kehidupan di bumi ini.
Di sini, taik dan kencing bisa melukiskan dengan baik apa yang sekarang mahsyur disebut sebagai konsep Anthroposcene. Kehadiran kita, manusia, sebagai Homo Sapiens, sudah mengubah secara mendasar keseimbangan ekologis yang menopang kehidupan seluruh makhluk di muka bumi ini. Semua konsep itu bisa ditelusuri jika kita mau merenungkan soal taik dan kencing.
Sayangnya, sampai sekarang, para ilmuwan di Indoneia tidak punya kemampuan maupun imajinasi untuk menyelidiki soal taik dan kencing. Padahal jelas, sungai-sungai kita masih selalu tercemar dengan taik dan kencing yang diproduksi setiap hari.
Juga, kadang-kadang, ada kasur yang mengambang, kertas koran, mebel dan pakaian, sampai kondom pun ikut menghiasi sungai-sungai itu. Sebenarnya sungai-sungai itu bisa bercerita banyak tentang hidup kita sehari-hari, kan? Saya kira, para ilmuwan dan peneliti yang sekarang berkumpul di BRIN itu sudah saatnya menaruh perhatian pada taik dan kencing!
Tapi juga Anda. Saya ingin menasihati, lain kali saat Anda sedang di toilet, cobalah merenungkan nasib taik dan kencing yang Anda produksi, serta apa akibatnya bagi lingkungan sekitar. Selamat merenung, dan tuliskan hasilnya, ya.