Perspektif saya tentang pengemis pun berubah sejak sa'at itu, bukan karena merasa rugi atas sedikit uang yang telah saya berikan, namun kepada pertanyaan yang terbesit dalam benak "Kenapa harus mengemis jika masih bisa hidup dengan layak ?".
Beberapa tahun semenjak kejadian itu, hingga sampai sa'at ini saya senantiasa mengamati ruang lingkup para pengemis, pernah ada berita di Jakarta bahwa para peminta-minta menggunakan balita sebagai alat untuk mendapatkan rasa iba dan empati orang-orang, yang tak habis pikir adalah balita yang di bawa untuk mengemis sampai di bius atau di beri obat penenang, sebuah ironi yang memprihatinkan, ada pula beberapa pengemis yang berhasil di tertibkan oleh pihak kepolisian atau pun Satpol PP, dan ketika di antarkan pulang ke kampung asal nya, ternyata dia memiliki rumah yang cukup mewah di atas kata sederhana dan bisa hidup dengan sangat layak.
Berpikir lebih dalam lagi dari sebelum nya, saya melihat banyak para pengemis yang secara fisik masih sangat bugar dan secara usia masih bisa di katakan produktif, di Compare dengan sisi yang lain, masih banyak pula yang hidup di bawah garis kemiskinan, dk usia renta, pun yang cacat fisik nya, dengan gigih masih mau bekerja dan berusaha.
Melihat kakek tua renta yang masih semangat mendorong gerobak dagangan dengan sisa tenaga nya, para ibu yang tak malu menjadi buruh cuci, atau orang-orang yang lebih memilih untuk memulung rongsokan di bandingkan untuk meminta-minta, dari aspek itu lah saya yakin, masih banyak jalan dan cara untuk mencari rejeki yang halal dan berkah jika kita mau berusaha.
Himpitan ekonomi tak lagi relevan untuk di jadikan alasan seseorang untuk mengemis, selain menanggalkan harga diri nya, yang menjadi faktor terbesar seseorang mengemis adalah rasa malas, nyata nya di bandingkan bekerja yang jauh lebih capek dan menguras tenaga, mengemis bisa mendapatkan hasil lebih besar, dan justru di situ lah sisi yang ingin saya kritisi, fakta bahwa mengemis bukan untuk sekedar makan dan menyambung hidup tapi mengemis di jadikan sebuah mata pencaharian dengan hasil yang cukup menjanjikan.
Dalam ajaran Islam sangat melarang dengan tegas perilaku mengemis, dalam riwayat beberapa hadist menyatakan bahwa "Barangsiapa meminta-minta padahal diri nya tidak lah fakir, maka ia seakan-akan memakan "Bara Api" ". Bahkan saking hina nya meminta-minta, di riwayatkan "Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajah nya".
Mengemis sama dengan menghina Tuhan, karena seakan-akan Tuhan tidak memberi rejeki kepada hamba nya, sedangkan setiap manusia yang terlahir di dunia sudah di jamin rejeki nya oleh Allah SWT, dan kita di wajibkan mencari rejeki yang halal dengan berjuang dan berusaha di jalan Allah SWT, adapun para pengemis dan peminta-minta, mereka menanggalkan harga diri nya karena MALAS dan tak mau berusaha lebih keras dalam mencari rejeki yang berkah di jalan Allah SWT.
Lewat tulisan ini saya sangat berharap sekali bahwa pihak-pihak terkait yang memiliki wewenang agar bisa menertibkan para pengemis yang bersebaran di jalan-jalan, jangan sampai masalah ini di anggap sepele dan di biarkan begitu saja, karena hingga sa'at ini mengemis dan meminta-minta sudah menjadi industri mata pencaharian.
Sa'at ini saya sedang membangun Komunitas membaca "Literasi Pusaka Subang", jika ada yang ingin mendonasikan buku-buku nya bisa DM saya di Instagram @nino_triplesixx, Terimakasih.