Kesan pertama saat menontonnya, flat dalam alur cerita. Mungkin memang begitulah film dokumenter... banyak menceritakan data-data dan keterangan, disampaikan melalui reporter maupun siaran radio, melalui obrolan saat menyusun strategi dan rencana, melalui tulisan tinta hitam yg khas-gaya tulisan org jaman doeloe (suka!).
Keindahan cara pengambilan gambar, warna, lighting, dibuat apik dan manis. Ada nuansa pagi, nuansa matahari terbenam, siluet rakyat indonesia berbambu runcing, siluet ibu-ibu sederhana membawa makanan untuk para gerilyawan... Suasana dan keadaan th 1940an itu bisa diciptakan di era 2012 ini, keren.
Saya suka dengan pemandangan kepulan asap saat orang mengaduk masakan, kepulan asap rokok tentara Belanda, asap kereta api jadul di Stasiun Djogja...
Framing-nya, angle-nya, juga kata-katanya. Ada beberapa dialog yang kuat, yang waktu mendengarnya serasa ingin update status wkwkkw..
Akting Mariyem yg dimainkan oleh Annisa Hertami, seorg pendatang baru di film Indonesia, sangat BAGUS! Asik banget melihatnya. Dia bisa menyampaikan rasa sakit, takut, Â sedih, sekaligus kuat dan tegar dalam mimik dan bahasa tubuhnya.
Saya juga menikmati pemandangan rakyat sederhana dan renta, keriput para manula, yang bisa diarahkan dengan begitu natural, blocking-nya rapi tertata.
Belum lagi lagu-lagunya, dijahit dari scene satu ke scene lain dengan halus. Saya terkesan dengan adegan ibu pemilik hotel yang menyanyi lagu keroncong dengan ukulelenya, bersahut-sahutan dengan Hendrich, wartawan bule. Mereka berduet dengan bahasa masing-masing. Melukiskan perbedaan yang menyatu dalam satu lagu.
Ada kesan lebay yang tertangkap waktu para pemain musik sedang latihan di alam terbuka dan mendapat serangan bom. "Kita harus terus memainkan musik! Tidak ada yang dapat menghentikan kita!" Olala... katanya sayang anak istri, tapi di tengah hujan bom tetap main musik. Itu aneh Mas! :D
Lewat film Soegiya, yang digarap selama 1,5 th oleh seorang Garin Nugroho, saya jadi bisa merasakan Indonesia di jaman perang Jepang n Belanda, menjelang kemerdekaan.
Sulitnya hidup di masa itu, kegotongroyongan, kebersamaan dalam kekurangan dan kepemimpinan para pelopor kemerdekaan.
"Film ini menggambarkan seseorang yang berjiwa pemimpin. Pada masa-masa sekarang, masyarakat membutuhkan inspirasi tentang kepemimpinan," kata Garin
Memang ada beberapa sentilan sindiran yg dilemparkan Garin, tentang pemimpin bangsa. Yang saya ingat dialog Romo dengan Lingling d pantai,"Kita bisa memilih pemimpin yang bisa melindungi kita."
Dalam hati saya membatin, "Ah, sulit!"
Ada juga sentilan lewat rakyat sederhana yang 'ngasal' ngomong wkt jedar jeder baku tembak rakyat dan tentara asing.. Itu scene aneh tapi kreatif. Hahaha
Garin mengungkapkan sisi kemanusiaan, kisah hidup dari beberapa perspektif. Saya melihat, sebagai orang Belanda, mereka bisa punya hati di Indonesia. Menyanyi lagu-lagu Indonesia, berinteraksi , bersahabat dan jatuh cinta dengan orang-orang Indonesia,  juga ϑi'bully' oleh anak-anak Indonesia, "si Bule jahat, Bule asu" :)
Sebagai orang Jepang, yang harus menjalankan tugas sebagai tokoh 'jahat' di Indonesia. Dia juga ingin menghindarkan pertumpahan darah karena mengingat keluarga anak istri mereka. Tapi realita itu kejam.
Sebagai orang Tionghoa di Indonesia, yang selalu kena jarah, padahal sama menderitanya dengan pribumi. Waktu disandera ya kena sandera juga... Apakah memang benar, orang Tionghoa harus jadi Sarjana Hukum supaya bisa membela dirinya?
Sebagai orang Indonesia yang buta huruf, anak-anak yg saling mengajarkan baca dengan cara mereka sendiri.. Dan bangga karena bisa menulis dan membaca: MERDEKA.
Wanita Indonesia yang merasa dilecehkan, rakyat Indonesia yang ketakutan, bayi Indonesia yang harus kehilangan orang tuanya karena ditembak dengan semena-mena, potret-potret merekalah yang diabadikan oleh Garin dalam film Soegija.
Dan terakhir, potret dari umat beragama, yang mau peduli dan turun tangan, ikut melayani bukan minta dilayani...
"Kadang ada saatnya, ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa..." Itu kata Romo Soegijapranata. Tapi dia tidak berhenti di situ saja. Dia terus memberi apa yang bisa dia beri.