Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Misteri Reuni

29 Mei 2024   06:38 Diperbarui: 14 Juni 2024   10:49 870 38

Oleh: Tri Handoyo

Selepas maghrib. Sebuah mobil berhenti di depan rumah, terdengar seseorang turun dan melangkahkan kaki menuju pagar.

Aku amati dari jendela ruang tamu. Sedikit penasaran. Lelaki tegap itu tampak tiada sedikit pun keraguan membuka pagar dan melangkah masuk. Sepertinya dia tidak asing dengan rumahku. Aku keluar dan hendak bertanya.

Tiba-tiba orang itu mendahului menegur. "Han! Lupa sama aku?"

Terkejut. Ingatanku segera berkelana, membongkar gudang memori dengan kecepatan tinggi. Jangan sampai ia menangkap kesan bahwa aku melupakan seorang teman. "Coko, kan?"

"Ha..ha.., masih ingat. Bagaimana kabarmu?" tawa ceria mengembang dan mulai terasa tidak asing lagi. Sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman, ia terus menyemburkan celotehan. Ciri yang sangat khas. "Ini tadi aku nekad saja, kebetulan pulang ke Jombang. Soalnya aku pikir kamu masih di luar Jawa. Alhamdulillah bisa ketemu. Sudah lamakah pulang ke Jawa?"

"Syukur alhamdulillah baik! Kabarmu sendiri bagaimana?" tanyaku balik. Ia salah seorang teman SMA yang sudah puluhan tahun tidak pernah ketemu. Terakhir dengar kabar ia menjadi polisi dan berdinas di polda Surabaya.

"Kamu kok kelihatan masih tetap muda saja! Anakmu berapa?" serbunya lagi.

"Wah hebat ini pak polisi! Masih dinas di Surabaya?" tanyaku balik.

"Oh iya, aku minta nomormu yang baru!"

Ya, maklum lama tidak ketemu, jadi terlalu berlimpah pertanyaan lalu-lalang di kepala, sehingga terjadi dialog yang sama sekali tidak nyambung.

"Sudah tahu akan ada reuni sekolah?" Ia merebahkan tubuh di kursi dan seolah pertanyaan yang tadi dilontarkannya tak lagi butuh jawaban.

Intinya dia datang untuk mengabarkan bahwa akan ada rencana reuni sekolah satu angkatan. Ternyata sudah dua puluh lima tahun kami lulus SMA. Tak terasa begitu cepatnya waktu berlalu. Kami lantas asyik bernostalgia, mengenang masa-masa SMA yang penuh kenakalan.

"Kamu adalah teman pertama yang ingin aku temui!" celotehnya. "Kita reuni duluan!"

Ia lalu cerita ketika dulu sering menginap di rumahku. Rumahnya jauh di luar kecamatan Jombang, jadi saat menjelang ujian ia menginap di rumahku. Alasannya biar bisa belajar bersama dan tidak sampai telat ke sekolah.

Aku juga ingat dulu sering memarahinya. Lalu ia menampakan wajah memelas. Tapi ia teman yang tidak pernah menaruh sakit hati, apalagi dendam. Setelah terjadi perselisihan dengan cepat kami segera akur kembali.

"Hei, kamu ingat Yono?" tanyaku di sela-sela cerita yang berhamburan tentang masa sekolah dulu.

Ia mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. "Yono.., yang mana ya?"

"Iya. Yono yang pendiam. Namanya masih pakai tulisan ejaan lama, Sujono? Panggilannya Yono. Anaknya biasa duduk di kursi paling belakang!"

"Aku kok gak ingat sama sekali!" timpalnya yakin.

Sejak itu aku semakin penasaran dengan teman yang bernama Yono. sudah dua orang teman sekelas yang mengatakan tidak mengenalnya. Sebelumnya ada Yudha, yang saat main ke rumah juga bilang demikian.

Aku sebelumnya maklum, karena Yudha murid yang suka bolos sekolah. Jadi kalau lupa sama teman sekelas wajar.

Setelah lulus, dan sempat menjadi buronan beberapa teman sekolah, kini muncul dan mengaku bekerja di sebuah pabrik gula di Kediri. Terus terang bangga melihatnya bisa menjadi orang sukses. He..he.., mohon maaf dan semoga kamu bahagia di alam sana, Yudha.

Teman bernama Yono ini semakin menimbulkan ganjalan dalam pikiran. Dulu pernah ada pengalaman yang cukup berkesan. Suatu ketika liburan sekolah, tahun 1990, aku, Anto dan Yono pernah pergi berkemah di Cangar, Malang.

Acara berkemah itu tidak pernah terencana. Muncul begitu saja di siang hari, dan kami langsung mempersiapkan segala sesuatunya, dan cepat berangkat untuk mengejar waktu saat itu juga. Lami sama-sama belum punya pacar. Belum terpikirkan mengenai itu. Jadi bisa pergi berkemah saja sudah merupakan hal yang paling membahagiakan.

Sudah terlalu sore, jadi sudah tidak ada kendaraan umum yang bisa membawa kami ke lokasi wisata. Untungnya kami bertemu dengan supir truk yang akan berangkat menjemput para petani di perkebunan dekat lokasi wisata itu. Kami diijinkan ikut naik truk.

Kami tiba di area perkebunan sudah menjelang maghrib. Terdengar sayup-sayup suara adzan di kejauhan. Bapak supir bilang kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, yang menurutnya jika lewat jalan pintas di perbukitan paling cuma sekitar tiga kilometer. Berarti sudah dekat.

Puncak Brakseng yang terletak di ketinggian 1700 mdpl itu memiliki keindahan yang begitu memesona. Sebuah wilayah perkebunan yang estetik dan eksotik bagi banyak wisatawan untuk berfoto. Indahnya pemandangan dari atas yang membuat lelah perjalanan terbayar setimpal.

Gelap menghampiri diiringi turunnya gerimis. Pemandangan asri ketika pagi dan siang hari itu berubah menjadi menyeramkan. Kebetulan kami melihat sebuah rumah. Kami segera menuju ke sana untuk berteduh.

"Permisi!" ucap kami bergantian. "Permisi! Ijin numpang berteduh!" Tidak ada orang sama sekali. Kami berpencar.

Aku berjalan memutar, mencoba mengintip dari cela-cela lubang dinding. Dalam keadaan remang-remang, aku melihat Yono sudah ada di dalam. Berarti ada pintu masuk. Aku berjalan mencari pintu. Ternyata pintu itu tertutup dan digembok dari luar.

Aku kembali mencari cela untuk melihat ke dalam. Kini yang kulihat adalah sebuah kuburan kuno. Dengan sedikit gemetar, aku berjalan memutar dan mendapati Anto dan Yono meringkuk kedinginan, di bawah atap genting yang bocor di sana-sini.

"Ayo kita jalan lagi!" ajakku. Aku menyimpan rapat-rapat apa yang tadi kulihat. Memang, pemandangan kuburan horor itu tidak baik jika diceritakan dalam suasana seperti itu. "Semakin lama istirahat semakin malam kita sampai di tujuan!" alasanku agar mereka segera beranjak.

Kami sampai di wilayah padang ilalang. Siapa sangka bahwa padang ilalang yang luas itu berlatar belakang pemandangan lampu-lampu di perkotaan. Sangat menakjubkan. Hujan telah redah, meskipun langit masih tampak berselimut kabut.

Kami baru sadar bahwa saat itu adalah malam tahun baru. Seolah-olah kami mendengar suara bising mesin kendaraan, terompet yang ditiupkan, kembang api dan berbagai kemeriahan menyambut pergantian tahun. Sementara kami sedang tersesat di puncak perbukitan, bergelut menemukan jalan. Kami hanya bisa diam membisu menatap semua itu. Hening dalam hati.

Keindahan lampu-lampu kota dilihat dari puncak mestinya jadi momen wajib untuk didokumentasikan. Tapi bagi kami para petualang sejati, selain tidak pernah memikirkan hal seperti itu, juga karena waktu itu belum ada handphone. Kamera pun harganya masih mahal.

Setelah cukup mengusir lelah, tanpa dikomado kami bergegas melanjutkan perjalanan. Untungnya kemudian kami menemukan jalan beraspal. Tidak lama berselang terdengar suara orang banyak sedang berbincang-bincang. Mereka tampaknya berjalan menuju ke arah kami.

Kami menanti. Muncul di tikungan rombongan orang, laki-laki, muda, tua, perempuan dan anak-anak, berjalan beriringan seperti karnaval.

Kami bertanya kepada salah seorang dari mereka, "Permisi, mau tanya!"

"Iya!" jawab seorang kakek dengan menampakan wajah heran, karena bertemu orang asing di tempat terpencil. Rombongan itu berhenti dan ikut nimbrung.

"Kalau mau ke Cangar lewat mana ya, Mbah?"

"Oh, jalan ini menuju ke arah Cangar. Bareng sama kita saja! Mas dari mana?"

Wah lega rasanya. Alhamdulillah. "Kami dari Jombang. Tadi tersesat. Cangar masih jauh, Mbah?"

"Tidak jauh, paling sekitar dua kilometer!"

Asem. Dua kilometer dibilang tidak jauh. Padahal kaki kami rasanya sudah nyaris lumpuh. "Mbah sama orang-orang ini dari mana?"

"Kami baru nonton orkes di desa tetangga!"

"Kalau dari desa bapak ke tempat orkes berapa jauh?"

"Ya sekitar lima kilometer!"

Ya ampun, nonton orkes saja harus menempuh jarak lima kilometer dengan jalan kaki. Terbayang betapa hausnya masyarakat desa terhadap hiburan.

Setelah beberapa menit, kami berpisah dengan rombongan dan melanjutkan ke arah sesuai petunjuk mbah tadi.

Tepat jam dua belas malam. Akhirnya bisa juga sampai tujuan, sumber air panas alami yang berasal dari kaki Gunung Welirang. Terbayang nikmatnya berendam air hangat, di tengah suasana hijaunya kawasan hutan lindung. Berendam air panas akan membuat tubuh rileks, mengusir penat setelah berjalan sejauh belasan kilometer.

Waktu berendam, aku baru berani cerita mengenai rumah di tengah bukit tadi. "Waktu berteduh di rumah terpencil tadi, kalian tahu apa di dalamnya?"

"Kuburan!" sahut Yono singkat.

Aku pun merasa ada yang aneh. Perasaanku tadi memang melihat seseorang seperti Yono ada di dalam, tapi nyatanya dia duduk di teras bersama Anto. Tapi kini dia tahu kalau di dalam rumah itu adalah kuburan.

Kembali ke hari menjelang reuni yang semakin dekat, suatu hari Anto main ke rumah. Di tengah asyik ngobrol, aku menyinggung soal Yono. Aku juga mengutarakan niat ingin berkunjung ke rumah Yono, seorang teman yang benar-benar menghilang dari peredaran bumi.

"Ayo, aku juga pingin ketemu anak itu!" timpal Anto.

"Oke, sekaligus mengabarkan rencana reuni! Kapan kamu ada waktu?"

"Ayo sekarang? Mumpung waktuku longgar!" seru Anto antusias.

"Oke. Kamu masih ingat tempatnya?"

"Ingat-ingat lupa. Ya gampang, nanti kita tanya-tanya! Orang desa itu sampai tetangga desa jauh pun biasanya kenal!"

Kami berdua memang pernah mengunjungi rumah Yono. Sekali, dan itu berarti sudah dua puluh lima tahun yang lalu.

Tidak berselang lama kami sampai di desa tempat Yono tinggal. Aku membayangkan betapa kasihan Yono waktu sekolah dulu, karena harus bersepeda menempuh jarak sekitar dua puluh kilometer pulang pergi. Setiap hari.

Setelah nyaris keliling kampung tanya ke sana ke mari kepada warga, akhirnya kami menemukan rumah Suyono. Tidak jauh berbeda. Rerimbunan bambu di samping rumah masih tetap ada seperti dulu. Di pinggir persawahan.

"Ya, aku ingat sekarang!" seru Anto begitu melihat rumah dan pohon bambu.

Rumah itu sepi. Kami mengetuk pintu yang tertutup. Tidak lama kemudian ada seorang perempuan muncul dari samping rumah.

"Permisi, Bu, apa benar ini rumahnya Suyono?" tanya Anto.

"Iya benar!" jawab perempuan itu cepat.

"Kami temannya sekolah dulu!"

"Tapi Mas Yono masih kerja?"

Lho inikan hari minggu? pikirku. "Mbak istrinya Yono?"

"Iya!" jawabnya agak malu, "Bapak siapa namanya? Nanti saya tilpunkan!"

"Beritahu saja kami teman SMA. Pulangnya jam berapa, Mbak?"

"Saya tilpunkan biar pulang, Pak. Mari silakan masuk!" katanya sambil membuka pintu.

Kami duduk di ruang tamu yang cukup luas. Di bawah meja tampak ada album foto. Sambil menunggu, aku meraih album dan melihat-lihat isinya.

Di halaman pertama ada foto Yono berdiri sendirian. "Yono masih seperti dulu!" seruku, dan Anto lalu pindah duduk mendekat untuk ikut melihat foto.

"Iya, rambut kriwulnya masih sama!" imbuh Anto dan kami berdua tertawa.

Rambut yang dipanjangkan hanya di bagian belakang. Rambut itu mengingatkan kami dengan kebiasaan Yono yang selalu menyelipkan sisir di saku belakang celana. Hobinya membasahi rambut ikalnya dan kemudian menyisir ke belakang dengan sisir andalannya itu. Seorang teman tipe plegmatis sempurna, penurut dan pengikut setia.

Terdengar istri Suyono berbicara agak keras di telepon, "Ada teman SMA sampean!" berhenti agak lama. Kemudian perempuan itu muncul di ruang tamu dan bertanya, "Maaf, nama bapak siapa?"

"Han dan Anto!" jawabku dan yakin sekali begitu mendengar nama itu dia pasti akan bergegas pulang. "Dulu kami pernah kemah di Cangar!"

Setelah berbicara di telepon, wajah istrinya tampak sedikit bingung, ia lalu berkata ragu-ragu, "Maaf, kata Mas Yono tidak kenal sama bapak-bapak!"

"Oh jiangkrik..! minta dijitaki anak ini!" seru Anto gemas.

"Awas nanti!" imbuhku, sambil tertawa membayangkan serunya menjitak kepala Yono.

Aku berharap Yono sedang bercanda. "Apa dia bisa pulang, Mbak?"

"Iya, ini dalam perjalanan!"

Tidak lama berselang, terdengar suara motor berhenti di pekarangan. Itu pasti Yono. Aku dan Anto sudah tidak sabar lagi. Seorang lelaki muncul di ruang tamu, tapi ternyata bukan Yono. Kami lama saling berpandangan.

"Sampean Suyono?" tanyaku.

"Iya, saya Suyono. sampean siapa ya?" ia balik bertanya dengan sopan.

"Kami mencari teman yang bernama Suyono. Setelah bertanya berkali-kali, akhirnya ada warga yang tahu, Suyono yang memiliki ciri-ciri seperti yang kami utarakan. Juga dulu pernah sekolah di Jombang dan berusia sama dengan kami. Kemudian dia menunjukan rumah ini! Maaf, ternyata kami salah!" Aku dan Anto jelas kebingungan. Salah tingkah.

"Sampean dulu sekolah di SMA mana?" tanya Anto.

"Saya sekolah di STM!"

Semakin jelas. Dia bukan Suyono yang kami cari. "Maaf, apa kira-kira ada orang lain yang bernama Suyono di desa ini?"

"Kalau Suyono yang sekolah di Jombang ya memang cuma saya! Tidak ada lagi!"

Aneh. Padahal dulu rasanya pernah datang ke rumah itu. pohon bambunya juga masih sama. Tapi kenapa sekarang yang ada Suyono lain, yang sama sekali tidak kami kenal.

Kami sekali lagi minta maaf dan berpamitan pulang. Sepanjang perjalanan aku dan Anto tidak berhenti membahas keanehan itu.

Malam harinya, Ketika hendak tidur, handphoneku berbunyi. Muncul nomor asing. Sedikit malas kuangkat. "Halo!"

"Halo, Han! Aku Yono! Ayo reuni?" Suara lelaki yang mengaku bernama Yono, terdengar pelan seperti dari kejauhan.

"Hai Yon! Jiangkrik kamu!" Tiba-tiba sinyal hilang. "Halo! Halo" panggilku berkali-kali. Terpikir olehku dari mana Yono bisa tahu nomorku, juga tahu kalau akan ada reuni. Pasti ada teman lain yang sudah berhasil menghubunginya.

Aku cukup merasa senang karena akhirnya ada harapan bisa ketemu teman lama unik itu. Aku coba tilpun balik. Tapi tidak berhasil menemukan nomor yang baru saja menelepon tadi. Nomor panggilan itu tidak tersimpan di memori.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun