Oleh: Tri Handoyo
Gerimis yang mengguyur sejak semalam, yang seolah-olah akan berlangsung sepanjang hari, akhirnya reda. Alhamdulillah. Aku tadinya sudah mengurungkan niat untuk bersepeda, kini bergegas ganti kaos olah raga. Mumpung masih pagi.
Yang menjadi tujuanku kali itu adalah sebuah lokasi yang tidak pernah terlintas dalam pikiran. Gara-gara malamnya mendapat pesan, yang yakin itu salah kirim, yakni informasi titik koordinat sebuah lokasi yang tak bernama. Lokasi di dekat sebuah tempat wisata Dung Cinet.
Setiap ada pesan masuk dari nomor asing, aku akan memeriksa grup Whasapp. Jika tidak menemukan nama, akan aku beri identitas 'penggemar', sementara saja, sampai aku dapat menemukan nama pemilik nomor tersebut. Akan tetapi, jika pesan berbau fitnah atau penipuan, langsung aku blokir. Cari aman.
Nomor asing yang masuk semalam aku beri nama 'penggemar 13'. Kendati baru punya penggemar cuma tiga belas orang, itu sudah alhamdulillah. He..hehe..!
Rasa penasaran membuatku memutuskan untuk mengunjungi lokasi itu. Kulihat mendung masih menggantung di langit bagian utara, di mana barangkali saja tepat di atas lokasi itu berada.
'Sekalian pergi ke Dung Cinet,' pikirku. Dung Cinet yang dijuluki Grand Canyonnya Jombang, sejauh ini sepi dari pengunjung. Akses jalan yang masih sulit, yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki atau sepeda motor, disinyalir sebagai penyebab utamanya.
Syukurlah aku bisa mencapai lokasi Dung Cinet lebih cepat dari perkiraan. Pastinya akan banyak waktu untuk melepas lelah dan bersantai menikmati pemandangan hingga nanti menjelang dhuhur.
Bebatuan di sepanjang sisi sungai yang eksotis, gemericik air yang mengalir ditimpah riuhnya kicau burung, pasti akan memesona hati para pengunjung. Suasana alam pedesaan yang sejuk dan masih perawan.
Banyak obyek yang menjadi sasaran kamera ponselku. Sayang, gak ada orang yang bisa dimintai tolong untuk mengambil foto. Jadi harus selfie.
Setelah cukup membuat keringat kering, aku melanjutkan bersepeda, mencoba menjelajahi pemandangan sekitar. Siapa tahu bisa menemukan lokasi aneh dalam pesan semalam.
Beberapa menit kemudian, aku menemukan sebuah jalan setapak. Anehnya jalan yang sedikit menanjak itu dipaving rapi, dan hanya sampai pada sebuah pohon besar. Unik dan menarik.
'Jalan buntu, atau pengerjaannya yang belum selesai?' batinku sambil membelokan arah menuju ke pohon besar.
Sepedaku tiba-tiba rasanya berat saat dikayuh, seperti dalam posisi direm. Aku turun untuk memeriksa rem. Tidak menemukan ada masalah. Aku coba putar roda, dan berputar normal saja. Mengherankan.
Akhirnya aku sandarkan sepeda kesayanganku dan berjalan menghampiri pohon besar. Sinar matahari yang tadinya susah payah menembus awan, kini semakin terhalang oleh rimbunnya pepohonan di kiri-kanan jalan. Terasa lebih sunyi dan lumayan dingin.
Aku lihat ada seorang gadis duduk di sebuah batu di bawah pohon. Rupanya ia sedang berjualan. Tampak beberapa bungkus plastik berisi kerupuk dalam keranjang jinjing. Aku mencoba mencari-cari apa alasan yang membuat gadis itu memilih berjualan di tempat terpencil seperti itu. Gagal menemukan jawaban yang masuk akal.
Si penjual berpenampilan khas gadis desa, menatapku sambil tersenyum ramah. "Mari istirahat dulu, Mas!"
"Kok sepi ya mbak? Apa setiap hari memang seperti ini?" Aku mencari tempat duduk di sebuah batu tidak jauh darinya.
"Biasanya ya lumayan, ada saja anak-anak muda yang berkunjung ke sini, tapi mungkin karena tadi pagi hujan, jadi sepi!" Nada suaranya terkesan sangat tenang. "Saya jualan cuma pas hari minggu, soalnya kalau tidak hari minggu tambah sepi lagi!"
'Bagaimana bisa lebih sepi lagi, padahal saat itu pun hanya ada aku, satu-satunya pengunjung?' "Lha Mbak kok jualan di tempat seperti ini?"
"Rejeki kan sudah ada yang ngatur, Mas?" ujar gadis manis itu sabar.
Benar juga. Itu hal yang selama ini tak kunjung selesai bertempur dalam batinku. 'Rejeki sudah ada yang mengatur! Tidak terlalu salah, tapi menurutku juga kurang tepat! Karena diatur dengan melibatkan hukum sebab akibat.'
"Ini tempat apa, Mbak? Kok aneh, jalannya dipaving sampai pohon? Apa nanti pohonnya mau ditebang?"
"Ini menurut orang-orang 'punden'! Rencana memang mau dibangun semacam joglo sederhana di bawah pohon besar ini!"
Sepanjang yang aku tahu, punden adalah tempat yang dikeramatkan, yang jika ditelisik dari segi historis, merupakan kuburan seseorang yang dianggap sebagai cikal bakal sebuah wilayah, yang 'babat alas' (membuka lahan).
Aku teringat lagi dengan pesan salah kirim. Mungkinkah tempat itu adalah titik koordinat yang dimaksud. Aku bergegas buka ponsel, periksa google map. Sialnya, tidak ada sinyal sama sekali.
"Oh iya, bisa minta tolong, Mbak?" Aku kemudian minta diambilkan foto. Sempat terpikir barangkali gadis penjual itu tidak tahu caranya, jadi aku beri petunjuk sejelas mungkin.
Pada saat aku lihat hasil foto, gambarnya tidak fokus. Foto pertama hanya kelihatan separuh, karena tertutup jari. Benar juga. Ia tampak belum pernah mengambil foto dari ponsel, atau bahkan belum pernah memegangnya.
Sebelum selesai memeriksa semua foto, ponsel tiba-tiba mati kehabisan baterei. Mudah-mudahan ada foto yang bagus, walaupun cuma sebuah. Buat kenang-kenangan bahwa aku pernah ke lokasi terpencil itu.
"Terima kasih ya Mbak!" kataku sambil meyimpan ponsel dalam saku. Menyembunyikan sekelebat rasa kecewa.
"Mas mau kerupuk? Monggo, ini buatanku sendiri lho!"
"Maaf, terima kasih, Mbak!"
"Gratis kok! Sungguh! Nanti kalau mas suka baru boleh bayar!"
"Maaf, saya mengurangi gorengan, Mbak. Soalnya lagi batuk!" alasanku sekenanya, "Maaf, aku mau melanjutkan perjalanan, Mbak!"
Firasatku tidak enak. Kecurigaanku bertambah kuat, jadi kuputuskan untuk segera menyingkir dari tempat sakral itu. Aku juga tidak berani menerima pemberian apa pun darinya.
"Hati-hati di jalan, Mas!" pesannya lembut dan tetap sambil tersenyum.
"Trima kasih banyak! Semoga jualannya laris, Mbak. Mari!"
Dalam perjalan keluar dari wilayah Dung Cinet, sekitar satu kilometer, hujan turun. Kebetulan aku melihat ada warung tidak jauh di depan. Aku mampir berteduh.
Si pemilik warung seorang ibu, mungkin di atas usia lima puluhan. Tapi masih berdandan layaknya gadis remaja. Rambutnya disemir warna merah tembaga, beberapa helai menjuntai keluar dari kerudung merah.
"Mas dari Dung Cinet ya?"
"Iya, Bu. Tapi sepi sekali!"
"Iya. Sebelum ada Covid masih lumayan, ya ada saja pengunjung yang datang!"
"Bu, saya minta kopi, gulanya sedikit saja ya!" pesanku, "Covid benar-benar membuat semua menderita!"
"Iya benar! Masih enak jaman dulu!" Ia lalu dengan fasihnya memaparkan betapa berbagai penderitaan hidup belakangan kerap menderanya. "Harga kebutuhan pokok naik semua, apa-apa mahal, warung juga sepi. Orang-orang di atas enak-anakan korupsi, rakyat di bawah mati kelaparan!"
Di pergelangan tangan ibu itu tampak melingkar bentuk rantai emas. Warungnya juga terbuat dari bangunan permanen. Lantainya keramik. Di sebuah dinding terpampang foto dengan latar belakang Ka'bah.
"Wah sudah pergi ke Mekah, Bu?"
Dia memalingkan wajah mengikuti pandangan mataku. "Oh, itu naik haji dua tahun yang lalu! Untung sebelum ada pandemi!"
"Wah beruntung sekali ibu dan suami sudah bisa pergi haji! Jumlah orang naik haji terus bertambah dan daftar antrian semakin panjang, jadi..!" 'Bagaimana kamu bisa menyatakan kehidupan semakin sulit?' batinku.
"Saya selama ini tidak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah!"
'Kok..?' "Ya mungkin masih banyak yang lebih membutuhkan, Bu Hajah!" Sengaja kupanggil dengan itu untuk menyadarkannya, bahwa tidak pantas ia menuntut bantuan.
"Nggak, Mas. Tapi yang diberi bantuan itu memang orang-orang dekat pak lurah. Pilih kasih. Saya dulu bukan pendukung pak lurah, makanya dia sentimen sama keluarga saya!"
Alhamdulillah! Hujan reda. Aku habiskan kopi dengan cepat dan ingin bergegas pergi dari tempat negatif itu. Tempat beracun. Selama ini aku memang berusaha keras menjauhkan hati dari virus kebencian. "Mumpung sudah terang, Bu Hajah! Saya harus ngejar waktu. Permisi!"
"Tapi masih gerimis, Mas!"
"Gak apa-apa, Bu!"
Sepanjang dalam perjalanan pulang, benakku dipenuhi peristiwa unik tentang manusia, ibu pemilik warung dan gadis penjual kerupuk, dua perbedaan tipe manusia yang sangat bertolak belakang.
Pertama, perempuan beragama cukup baik, karena sudah mampu melaksanakan rukun Islam secara sempurna. Yang semestinya harus bisa bersikap lebih arif bijaksana, toleran dan lebih adil terhadap orang lain, serta tidak sepatutnya mengedepankan prasangka buruk. Lahiriahnya menunjukkan seorang Islam tulen, tapi ruhaninya miskin dari nilai-nilai Islam.
Sementara yang kedua, gadis sederhana yang sangat toleran. Tidak banyak mengeluh, apalagi menuntut. Aku yakin dia bahkan tak segan mengulurkan bantuan bagi orang yang membutuhkan. Buktinya dia suka rela menawarkan krupuk gratis buatku.
Malam harinya, aku hidupkan ponsel setelah tadi mati beberapa jam. Aku biarkan kabel masih tersambung listrik, sampai baterei terisi seratus persen, karena aku hanya berniat melihat sekilas hasil foto-foto.
Ternyata si gadis penjual kerupuk baik hati itu berhasil mengambil beberapa gambar, selain yang separuh tertutup jari. 'Maaf, aku tadi sudah berprasangka buruk!' keluhku. Sayang sekali, itu pertemuan singkat.
Namun anehnya, foto-foto itu seperti portrait jaman dulu, mendekati hitam putih. Mungkin karena saat itu suasana mendung. Aku hendak meletakan ponsel saat merasakan bulu kudukku tiba-tiba meremang.
Astaga! Dalam setiap foto, setelah aku cermati, selalu tampak sosok gadis penjual kerupuk sedang berdiri jauh di sisi belakang, memandang lurus ke arah kamera.