Oleh: Tri Handoyo
Kolonialisme kontemporer adalah pengendalian oleh satu kekuatan besar atas sebuah bangsa, untuk menaklukkan, menguasai dan mengeksploitasinya, tanpa melalui jalan peperangan.
Perang secara konvesional, misalnya seperti perang yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina, tentu membutuhkan biaya mahal dan memakan banyak korban jiwa. Itulah kenapa para kolonialis kontemporer sejak lama merancang strategi model baru, yakni 'Proxy War' dan 'Asimetris War'.
Proxy War adalah sebuah konfrontasi antar dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain lain. Bukan pemain cadangan, apalagi pemain inti, cukup pemain pengganti. Misal menyusupkan agen intelijen kepada kelompok pemberontak, kelompok LSM, atau bahkan ke partai, di sebuah negara yang disasar agar memusuhi pemerintah yang sah.
Tujuan strategi tersebut di samping untuk mengurangi risiko kehancuran fatal juga untuk menghindari tuduhan sebagai penjahat perang bagi pihak Penjajah Kontemporer.
Sementara perang asimetris adalah bentuk perang tak teratur di mana para pihak yang diperangi kadang tak menyadari akan berbagai serangan yang tengah dilancarkan. Ini adalah 'Soft War'.
Perang asimetris sebetulnya justru memiliki daya rusak yang jauh lebih dahsyat dibanding perang konvesional. Kenapa demikian? Sebab perang jenis ini memiliki medan tempur jauh lebih luas, kurun waktu lebih panjang, dan meliputi segala aspek kehidupan.
Ada dua bentuk dalam perang asimetris. Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran. Kedua, melalui meja para elite politik agar setiap kebijakan yang diambil bisa sejalan dengan sang juragan.
Tidak aneh jika kemudian muncul ungkapan bahwa di dalam politik itu "Everything is by design", yakni segalanya telah didisain. Semua peristiwa politik tidak terjadi secara acak, melainkan telah dirancang dengan penuh tujuan dan penuh kontrol.
Sasaran perang asimetris, yaitu membelokkan sistem sebuah negara, melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, menghancurkan ketahanan pangan dan energi, selanjutnya, menciptakan ketergantungan negara tersebut kepada negara juragan, yaitu si penjajah kontemporer.
Sebetulnya antara perang konvensional dan perang asimetris memiliki pola yang sama. Pola perang konvesional adalah membombardir wilayah musuh melalui pesawat tempur, kemudian masuknya pasukan kavaleri berupa tank atau kendaraan lapis baja lain, terakhir pendudukan oleh pasukan infanteri.
Dalam perang asimetris, pertama juga diawali dengan bombardir berupa isu-isu sesat yang disebarkan untuk menghasut masyarakat. Kemudian disusul masuknya kavaleri yang disebut agenda. Misalnya agenda gerakan kampus atau akademisi untuk menurunkan rezim penguasa. Tahap akhir masuknya infanteri, yaitu kendali sistem ekonomi dan sumber daya alam.
Perang asimetris adalah perang secara ideologi, budaya, teknologi, ekonomi, dan strategi intelijen, demi bisa menguasai negara sasaran.
Gerakan politik Arab Spring adalah contoh perang asimetris yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka menggunakan agen-agen proxy gerakan massa untuk menurunkan pemerintah yang berkuasa secara sah.
Sebagai hasilnya, Presiden Ben Ali di Tunisia terguling, Hosni Mubarak di Mesir tumbang, Muammar Gaddafi di Libya tersungkur dan diadili oleh rakyatnya sendiri, serta Suriah yang pecah perang saudara tak berkesudahan. Selanjutnya, Amerika Serikat dan sekutu bisa mendominasi politik dan ekonomi di kawasan Arab.
Indonesia pun tak akan luput dari target perang asimetris. Presiden Sukarno pernah mengatakan semua negara akan iri dengan sumber kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Nusantara bak perawan cantik yang mengundang air liur negara hidung belang dan mata keranjang.
Di masa sekarang, kebijakan pemerintah seperti hilirisasi misalnya, membuat Indonesia semakin menjadi sasaran akan timbulnya perang asimetris. Dengan menggunakan 'Invisible Hand', penjajah kontemporer akan terus mencoba merongrong dan menggerogoti kedaulatan bangsa dan negara kita.
Demi menjaga kedaulatan negeri tercinta ini, tugas kita adalah mengenali siapa-siapa saja para invisible hand tersebut. Mereka bisa saja politisi berkedok akademisi, merangkap oligarki berkedok pejuang demokrasi, dan sekaligus bos mafia berkedok pembela agama. Kemasannya indah seolah-olah berbuat demi negara, padahal demi kelompok istimewa dan juragannya saja.
Mereka cukup kuat memegang komitmen gotong-royong, yakni dalam hal menggarong uang rakyat hingga kantongnya kosong melompong. Setelah itu, maka harga diri dan nurani menjadi ompong.
Indonesia, sebagai negara yang paling beragam dengan lebih dari 300 kelompok etnis dan sekitar 733 bahasa daerah, memang memiliki potensi besar akan timbulnya perselisihan. Itu menarik untuk dibidik. Lalu ujung targetnya adalah benturan yang berakibat keterbelaan dan perpecahan.
Oleh karena itu, rajutan ragam budaya yang merangkai harmoni hendak dibuat kusut masai. Jalinan toleransi yang kokoh berlandaskan semboyan 'Bhineka Tunggal Ika' hendak ditabrak biar rusak.
Caranya dengan mempertentangkan tradisi, memperuncing debat adat istiadat, dan memaksakan budaya berlandaskan kehendak perompak. Setelah semua itu, malapetaka dasyat yang tak terelakan, yakni perpecahan dan perang saudara, akan melenggang dengan tenang.
Kita pasti tidak akan pernah rela untuk menyerah kepada segala upaya kolonialisme kontemporer. Sebesar apapun ancaman dan tantangan yang akan kita hadapi, semangat kuadrat untuk membabat para pengkhianat negara akan tetap dasyat. Itu wajib diingat.