Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Semangat Sampai Sekarat

29 April 2024   16:57 Diperbarui: 18 Juni 2024   07:57 501 34

Oleh: Tri Handoyo

Pada masa Dinasti Abbasiyah, terdapat dua pusat peradaban Islam, yakni di Baghdad dan di Andalusia. Kedua tempat tersebut menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan Islam menjadi penerang dunia.

Bahdad dan Andalusia bagaikan kiblatnya ilmu, sehingga banyak pelajar bangsa lain hijrah ke sana untuk menggali pengetahuan, agar kelak ketika pulang bisa mengembangkannya di negeri mereka.

Abbasiyah, adalah kekhalifahan ketiga. Khalifah yang paling terkenal pada dinasti tersebut adalah Harun ar-Rasyid. Ia berjasa besar dalam membawa masa puncak keemasan Islam.

Cendikiawan muslim kaliber internasional bermunculan. Beberapa tokoh yang cukup menonjol antara lain Al Farabi yang mendapat julukan 'Guru Kedua' setelah Aristoteles, Al Kwarizmi, dan tentu saja yang paling menonjol adalah Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Menariknya, kedua tokoh ilmuwan itu berasal dari Persia.

Al-Ghazali yang dianggap sebagai 'mujaddid', seorang pembaharu Islam, memiliki banyak pengagum di negeri-negeri timur. Sedangkan Ibnu Sina memiliki banyak pengikut di negeri-negeri barat.
 
Ghazali dikenal dengan pemikiran sufistik dan mistisnya. Di antara karya fenomenalnya adalah Ihya' Ulumuddin, Misykatul Anwar, dan Tahafut al-Falasifah. Dari karya-karyanya itu ia mendapat gelar kehormatan yaitu 'Hujjat al-Islam'. Sedangkan Ibnu Sina dikagumi sebagai ulama yang saintifik. Ratusan karyanya di bidang kedokteran, filsafat, matematika, ilmu alam, astronomi dan seni. Di antaranya Qanun fith-Thib, Asy Syifa', dan Mantiq al-Masyriqin.

Perbedaan pemikiran kedua ulama itu kemudian melahirkan perdebatan. Perdebatan imajiner, sebab sesungguhnya Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern itu, sudah wafat ketika pemikirannya dikritisi oleh Ghazali. Ibnu Sina (980 -- 1037 M) hidup di abad 10. Sedangkan Al Ghazali (1058 -- 1111 M) hidup di abad 11. Debat pemikiran itu terabadikan dalam karya Ghazali yang berjudul "Tahafut al-Falasifah", yang diterjemahkan "Kerancuan atau Inkohorensi Para Filsuf".

"Masyarakat begitu terpesona dengan kehebatan filsafat Yunani," demikian kritik Ghazali di halaman awal Tahafutul Falasifah, "Mereka lebih cenderung mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filusuf tersebut."

Ibnu Sina memang ilmuwan yang pemikirannya berbasis pada rasionalitas dan empirisme. Termasuk ketika dia memahami keislaman. Pendekatannya adalah saintifik. Pemikiran filsafat Ibnu Sina menjadi tren yang diikuti oleh banyak pelajar generasi berikutnya, dan memiliki pengaruh luas bagi kebangkitan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Tentu saja, Ibnu Sina tidak bisa mengklarifikasi kritik Al Ghazali, sebab dia sudah wafat. Baru pada abad berikutnya, seorang cendikiawan kenamaan Andalusia, Ibnu Rusyd (1126 -- 1198 M) muncul dengan karya tulisnya yang menjawab kritik Al Ghazali.  

Ibnu Rusyd yang juga menjadi inspirasi bagi kebangkitan Eropa melalui pengetahuan sains dan teknologinya, melahirkan aliran yang disebut sebagai Averroisme. Aliran yang bahkan sampai mengguncang pemikiran gereja yang dogmanya bertabrakan dengan para ilmuwan.

Ibnu Rusyd menulis buku "Tahafut At-Tahafut". Yang bermakna "Kerancuan dari Kerancuan". Ia mengkritik pemikiran Ghazali yang dianggap mengalami kerancuan dalam memahami pemikiran Ibnu Sina, sampai paragraf demi paragraf. Khususnya, terkait dengan eksistensi Allah, eksistensi alam semesta, dan tentang Jiwa dan Ruh. Bagi Ibnu Rusyd, pemikiran Ibnu Sina sama sekali tidak sesat. Karena sesungguhnya Ibnu Sina juga bersandar pada ayat-ayat Al Qur'an sebagaimana Ghazali.  

Ibnu Rusyd meyakini bahwa orang tetap bisa menjadi Muslim dan sekaligus menjadi rasional. Baginya, wahyu dan akal itu seperti saudara kandung (ukht al-rada'ah), yang berasal dari sumber yang sama. Seperti umumnya hubungan saudara, wahyu dan akal ini kadang serasi, dan di lain waktu kontradiksi.  

Menurut Ibnu Rusyd, "Jika akal dan wahyu berbenturan, maka dahulukan akal. Caranya, dengan menafsirkan wahyu. Kenapa wahyu harus ditafsirkan? Karena wahyu sudah berhenti sementara akal masih terus hidup. Yang hidup harus memberikan nafas pada yang sudah berhenti, agar tetap hidup!"

Dengan keyakinan semacam itu, para filsuf Muslim berkarya, menulis buku, mengkaji, meneliti, dan mengajar, serta mengembangkannya. Mereka tak menghiraukan para pengikut Imam Ghazali yang menghujat mereka tiga kali sehari. Tuduhan sekuler, liberal, sesat, kafir bagaikan kidung pengantar tidur. Bagi mereka, akal adalah karunia Allah dan menghargai serta memanfaatkan karunia tersebut adalah jauh lebih mulia.

Kritikan Ibnu Rusyd pun tidak bisa ditanggapi oleh Imam Ghazali, sebab Imam Ghazali sudah wafat. kritikan itu lantas direspon oleh para pelajar pendukung Imam Ghazali dengan menyerang balik dan mengatakan bahwa Ibnu Rusyd sesat dan telah kafir. Di kalangan para pendukung Ibnu Rusyd pun akhirnya membalas dengan memberikan pembelaan cukup sengit. Mereka balik menuduh pendukung Imam Ghazali lah yang sesat. Aksi saling sesat-menyesatkan terus berlangsung dari kedua kubu. Mistisisme vs sains.

Sebuah perdebatan yang seru dan sampai akhirnya memicu munculnya arogansi kelompok. Di mana masing-masing pihak menganggap dirinya paling benar dan menuding pihak lain sesat dan kafir. Kafir halal darahnya. Tidak berhenti sampai di situ, melainkan juga saling membakar karya-karya dari kedua tokoh hebat tersebut.

Lambat laun cahaya Islam pudar. Peradaban Islam terjun bebas menuju kemunduran. Andalusia jatuh. Baghdad runtuh. Islam terlelap pulas dalam tidur panjangnya.

Di jaman modern sekarang pun masih banyak umat yang belum menyadari kesalahan masa lalu itu. Warisan semangat untuk saling menghujat pun masih terus berlanjut. Hal tersebut misalnya menimpa tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Cak Nurkholis Majid, Bapak Quraish Shihab, Buya Syakur dan lain-lain. Tuduhan sekuler, liberal, sesat, murtad disematkan kepada beliau-beliau. Bahkan Kyai Said Aqil Siradj, tokoh muslim yang menempati urutan ke sembilan belas dari lima ratus tokoh muslim yang berpengaruh di dunia itu, juga mengalami nasib yang sama.

Padahal agama mengajarkan, semakin tinggi iman seseorang, semakin rendah dia tundukkan hatinya. Semakin luas spiritual seseorang, semakin dalam rasa kemanusiannya, hingga dia lupa dengan identitas yang beda. Semakin dekat dengan Tuhan, semakin dia merasa hina di hadapanNya, hingga tidak sempat memandang hina insan lainnya. Lantas mengapa semangat menghujat sampai sekarat terus digenggam erat dan kuat?

"Sesungguhnya Dialah (Allah) yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS. An Nahl: 125)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun