Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Aliran Sesat Penuh Rahmat

28 April 2024   08:01 Diperbarui: 19 Juni 2024   07:21 608 45

Oleh: Tri Handoyo

Dulu dia seorang penjahat terkenal yang dijuluki Cak Sesat. Kendati dia telah bertaubat, masyarakat tetap memanggilnya Cak Sesat, karena julukan itu terlanjur melekat.

Cak Sesat benar-benar telah hijrah, dalam arti sampai pada tingkat perbuatannya. Sementara belakangan ini timbul tren orang yang mengaku telah hijrah, tapi baru sebatas pada tataran busana saja.

Cak Sesat sama sekali tidak peduli dengan julukan itu, bahkan kemudian dia mendirikan pondok pesantren yang juga dijuluki oleh masyarakat luas sebagai pondok aliran sesat, karena pengajarnya bernama Sesat.

"Wahai Allah, aku bukanlah ahli surga. Tapi aku pun tak sanggup di neraka. Oleh karena itu, bukalah pintu anpunanMu. Sungguh Engkau ialah Zat yang maha pengampun."

Doa yang senantiasa didendangkan secara rutin sebelum pengajian dimulai. Doa sederhana dalam hal pengakuan dosa dan pertaubatan sayup-sayup terdengar keluar dari ratusan mulut para santri.

"Tangisan taubat pelaku maksiat lebih dicintai Allah ketimbang tasbih ahli ibadah yang membusungkan dada!" ucap Cak Sesat di tengah ceramahnya. "Siapa yang ingin menjadi pemenang kehidupan, maka harus menaklukan musuh dalam diri terlebih dahulu. Menaklukan ketakutan, menaklukan kemalasan, menaklukan kebodohan, dan semua itu harus diawali dengan menaklukan keakuan. Keakuan adalah wujud lain dari egoisme. Keakuan adalah pondasi kesombongan!"

"Hai orang-orang sesat!" Itu panggilan unik kepada para santrinya.

"Ya saya, Cak!" jawab para santri.

"Pengajian ini cocok untuk orang-orang musyrik, orang-orang munafik, orang-orang kafir," ujar Cak Sesat santai sambil merapikan anak-anak rambut gondrongnya yang menjuntai, "Tapi orang kafir yang menyadari kekafirannya dan lalu mau serius berproses untuk berbenah demi menemukan kesejatian hidup. Jadi yang mengaku sudah alim, sudah beriman dengan lurus, sudah benar, sudah ahli ibadah, silakan minggir dulu! Ini bukan tempat yang tepat."

Saat itu angin bertiup kencang, menerbangkan dedaunan kering yang menderita karena kemarau panjang. Pepohonan seolah merana hadapi kematian.

"Dalam pengajian ini jangan berharap kalian akan mendengar banyak dalil-dalil," sambung Cak Sesat memecah keheningan, suara bass baritonnya menggerayangi tiap dinding bangunan masjid.
Karakter suara sangat rendah, besar, dan dalam, yang dapat menimbulkan kewibawaan. "Sebab agama itu adalah praktek, bukan sekadar teori! Agama harus dipraktekan, bukan dijadikan bahan seminar, lokakarya, simposium, dan akhirnya hanya memantik perdebatan seru tanpa penerapan!"

Pondok Pesantren pimpinan Cak Sesat itu memang cukup unik. Jika di tempat lain orang berebut sebagai pemilik kebenaran, berebut mengaku paling lurus, paling baik, paling benar, bahkan paling suci, maka di tempat itu mental mereka terlatih untuk menerima sebaliknya.

"Wahai orang-orang kafir!" seru Cak Sesat seperti biasanya.

"Ya saya, Cak!" jawab para santri serentak.

Keunikan lainnya, pimpinan pondok itu tidak dipanggil dengan sebutan kyai, ustadz, gus,  atau syech, melainkan cukup dipanggil 'Cak'.

"Hei manusia musyrik!"

"Ya saya, Cak!"

Di era serba instan ini, di mana tingkat kompetisi begitu tinggi dan canggih,
semua orang pasti berlomba-lomba untuk jadi pemenang. Semua ingin jadi yang paling unggul dan merasa paling layak jadi juara.

Jarang ada yang ingat bahwa mengakui kelemahan merupakan salah satu kualitas kepribadian yang utama. Dengan kemampuan menyadarinya, maka orang akan berusaha untuk selalu memperbaiki diri. Jadi, proses tumbuh kembangnya potensi diri berawal dari kesadaran dan pengakuan akan segala kelemahan dan kekurangan.

Adanya motivasi besar untuk tampil sempurna di mata orang lain seringkali justru akan membuat pelakunya mati-matian menyembunyikan kelemahan diri dengan cara berpura-pura. Sementara sikap mengakui kelemahan adalah cara menghindari
kegemaran menghakimi dan mencegah merasa lebih baik dibanding orang lain. Kesadaran itu juga akan mendorong untuk senantiasa bersikap jujur dan rendah hati.

"Hai fir..kafir..!"

"Ya saya, Cak!"

"Belakangan ini menjamur bisnis umroh dan haji, dan mereka berhasil menghimpun banyak calon jamaah, bukan hanya karena sekedar imin-iming surga, tapi karena adanya penekanan bahwa harta yang mereka keluarkan untuk itu akan dibalas oleh Allah dengan yang jauh lebih banyak. Akan dibalas berlipat ganda. Ini menarik, sehingga apapun caranya mereka tempuh agar bisa melaksanakan ibadah keren ini! Toh nanti uang mereka akan dikembalikan oleh Allah. Maka kemudian muncul istilah mencari pesugihan lewat umroh atau haji! Banyak di antara mereka kemudian tidak hanya ditipu oleh setan, tapi juga ditipu oleh pemilik travelnya! He..he..he..! Hei fir.. kafir..!"

"Ya saya, Cak!"

"Sama seperti maraknya bisnis sedekah belakangan ini. Apabila kalian juga mengharapkan balasan harta berlipat ganda dari sedekah, itu bukan sedekah namanya, tapi lebih cocok disebut beli lotere! Ini sebetulnya mental para pejudi!" Cak Sesat tidak menghakimi orang-orang seperti itu karena menyadari betul bahwa taraf iman orang memang berbeda-beda.

"Banyak orang yang salah niat dalam beribadah karena mengikuti anjuran ustadz motivator. Perbanyak sholat Duha biar rejekinya mengalir deras. Perbanyak tahajud biar jabatannya terus meningkat. Perbanyak puasa biar dagangannya lebih laris. Naik haji dan umroh biar hartanya semakin berlimpah dan kaya raya,!" Cak Sesat meraih gelas berisi air putih di depannya dan meminumnya seteguk. "Fir.. kafir...!"

"Ya saya, Cak!"

"Kalau bisa, beribadah itu jangan sampai kelihatan orang. Jangan sampai orang berpikir dan mengira kalau kalian itu rajin ibadah. Itu jika ibadah kalian benar-benar demi Allah. Semata-mata hanya mencari ridah Allah. Itulah bentuk keikhlasan. Nggak peduli dengan iming-iming pahala, iming-iming surga, yang penting Tuhan ridha! Titik! Ridha itulah balasan yang tertinggi! Sementara pahala itu masih rendah!"

Di luar jalanan semakin panas, tapi panas itu tidak mampu menjangkau ruang masjid di pondok sesat itu. Masjid itu tetap sejuk oleh guyuran keikhlasan yang melimpah, menyelimuti jiwa-jiwa pecinta Allah sejati.

"Fik.. munafik...!"

"Ya saya, Cak!"

"Kalian harus menyadari satu hal wahai orang berakal! Manusia tidak tercipta dari bahan logam mulia, atau bahkan yang terkait dengan batu mulia, juga bukan, melainkan dari tanah liat hina! Tanpa akal yang berfungsi baik, manusia berada di tengah-tengah alam semesta hanya sebagai makhluk rendah dan tercela. Lantas mengapa akal yang membuat manusia itu mulia lantas ditanggalkan  dan ditinggal?"

Para santri yang kebanyakan berpenampilan sangar, gondrong, tidak jarang yang bertindik dan bertato, menyimak serius. Ada pula yang nongkrong di teras halaman luar, di antara kepulan asap rokok yang tak terputus.

"Hei fik..munafik...!"

"Ya saya, Cak!" jawab para santri tetap kompak.

"Apa yang kamu cari dari semua amalan-amalan mu?"

"Ridha Allah, Cak!"

"...Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang paling agung." (Al Taubah: 72)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun